Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Kilas Balik Peristiwa 1998 di Banyuwangi yang Menewaskan Ratusan Orang

kilas-balik-peristiwa-1998-di-banyuwangi-yang-menewaskan-ratusan-orang
Kilas Balik Peristiwa 1998 di Banyuwangi yang Menewaskan Ratusan Orang

detik.com

Banyuwangi

Akhir tahun 1998 hingga sepanjang 1999, Kabupaten Banyuwangi menjadi sorotan nasional setelah terjadi gelombang kekerasan massal yang menewaskan ratusan orang. Para korban dituduh sebagai dukun santet, lalu diburu dan dieksekusi oleh massa tanpa melalui proses hukum.

Tragedi kemanusiaan ini tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga menjadi catatan kelam sejarah Indonesia tentang rapuhnya tatanan sosial ketika rumor, stigma, dan ketakutan kolektif berkembang tanpa kendali.

Peristiwa pembantaian dukun santet di Banyuwangi terjadi dalam situasi transisi nasional pasca-Reformasi 1998, ketika stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap negara berada pada titik terendah. Dalam kondisi tersebut, isu supranatural yang sebelumnya hanya beredar sebagai cerita lisan berubah menjadi ancaman nyata yang memicu kekerasan kolektif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Situasi krisis politik dan ekonomi pasca-Reformasi 1998 menciptakan ketidakpastian di berbagai daerah, termasuk Banyuwangi. Ketidakpastian ini diperparah melemahnya otoritas aparat keamanan dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

Dalam konteks tersebut, isu santet dan kekuatan supranatural yang sebelumnya hidup dalam budaya lokal berkembang menjadi stigma berbahaya. Ketegangan meningkat ketika muncul instruksi administratif untuk mendata orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan supranatural.

Alih-alih menjadi data internal pemerintah, daftar tersebut bocor ke publik dan menyebar luas. Massa kemudian menjadikan nama-nama dalam daftar itu sebagai “peta target”, memicu perburuan terhadap individu-individu yang dituduh sebagai dukun santet.

Dilansir dari jurnal berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Kerusuhan Massal Pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi karya Woro Winandi, faktor utama pemicu tragedi ini adalah lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum, tekanan sosial-ekonomi, serta kuatnya keyakinan akan bahaya ilmu hitam. Situasi tersebut diperparah oleh penyebaran rumor dari mulut ke mulut yang sulit dikendalikan.

Perkiraan Jumlah Korban

Jumlah korban dalam tragedi ini bervariasi menurut berbagai laporan. Dilansir dari detikSulsel, jumlah korban mencapai 194 orang. Namun, sejumlah sumber lain menyebut angka yang lebih tinggi. Yang pasti, ratusan nyawa melayang akibat kekerasan massal tersebut.

Korban tidak hanya mereka yang dituduh sebagai dukun santet. Banyak di antara korban justru merupakan guru ngaji, pengurus pesantren, hingga tokoh masyarakat yang selama ini dihormati dan berperan penting dalam kehidupan sosial desa.

Mereka tewas secara tragis-dibacok, dipukul, bahkan ada yang dibakar hidup-hidup bersama rumahnya. Banyak jenazah ditemukan dengan luka parah.

Sebagian besar eksekusi dilakukan pada malam hari oleh kelompok yang berpakaian serba hitam dan bergerak cepat. Kelompok ini populer disebut sebagai “ninja”, sebuah istilah yang menambah atmosfer ketakutan dan misteri di tengah masyarakat.

Kronologi Peristiwa Berdasarkan Waktu dan Lokasi

Dikutip dari jurnal Persekutuan Banser dan Aparat Negara dalam Peristiwa Ninja di Jawa 1998-1999 M yang ditulis Zakiyatul Khusna, berikut rangkaian peristiwa yang tercatat dalam berbagai penelitian dan sumber sejarah.

Februari 1998

Tragedi pertama tercatat di Desa Kaligondo, Banyuwangi. Seorang pria bernama Soemarno Adi dibunuh warga dengan tuduhan menggunakan santet. Kasus ini menjadi pemicu awal gelombang kekerasan.

6 Februari 1998

Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik, mengeluarkan radiogram yang memerintahkan camat dan kepala desa untuk mendata orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan supranatural. Radiogram ini kemudian bocor dan disebut-sebut menjadi salah satu pemicu utama terjadinya identifikasi target.

Mei-Juli 1998

Kekerasan menyebar ke berbagai kecamatan, seperti Rogojampi, Genteng, Kabat, Glagah, dan Giri. Dalam satu malam, setiap insiden dapat menelan dua hingga sembilan korban.

Agustus-September 1998 (Puncak Kekerasan)

Di Desa Pendarungan, Kecamatan Rogojampi, seorang pria bernama Sulaiman ditangkap sekitar pukul 22.00 WIB. Setelah sempat dibawa ke rumah perangkat desa, ia akhirnya dieksekusi oleh massa.
Di Desa Pondoknongko, seorang bocah bernama Untung Hadi harus menyaksikan ayahnya dibunuh dan rumah keluarganya dihancurkan oleh massa.

Oktober 1998

Gelombang kekerasan meluas. Di sejumlah desa, korban tidak hanya dianiaya, tetapi juga rumahnya dibakar. Pada periode ini pula muncul isu ninja di wilayah Malang dan sekitarnya, memperluas kepanikan masyarakat Jawa Timur.

Desember 1999

Gelombang lanjutan kembali terjadi di beberapa wilayah Jawa Timur. Kasus pembunuhan bergaya ninja kembali mencuat, menandakan bahwa trauma dan kecemasan sosial belum sepenuhnya pulih.

Adaptasi Film Pembantaian Dukun Santet (Mei 2025)

Tragedi kemanusiaan ini kembali menjadi perhatian publik setelah diadaptasi ke layar lebar. Berawal dari unggahan viral di media sosial X oleh akun @jeropoint pada Februari 2023, kisah pembantaian dukun santet di Banyuwangi akhirnya diangkat menjadi film.

Poster Film Pembantaian Dukun Santet.Poster Film Pembantaian Dukun Santet. Foto: TIX.ID

Film berjudul Pembantaian Dukun Santet mengisahkan kembali peristiwa kelam yang terjadi pada periode 1998-1999 di Banyuwangi, Jawa Timur. Proyek ini disutradarai oleh Azhar Kinoi dan diproduksi Pichouse Films bekerja sama dengan MD Pictures.

Naskah cerita dikembangkan oleh Baskoroadi Wuryanto dan Andri Cahyadi, dengan durasi film sekitar 90 menit. Film ini diharapkan tidak sekadar menjadi tontonan, tetapi juga ruang refleksi publik atas tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi.

Pembantaian dukun santet di Banyuwangi merupakan tragedi kemanusiaan yang memperlihatkan bagaimana ketakutan, rumor, dan stigma dapat menjelma menjadi kekerasan kolektif. Tragedi ini juga menjadi peringatan penting tentang bahaya hilangnya kepercayaan pada hukum dan negara.

Mengingat peristiwa ini bukan untuk membuka luka lama, melainkan sebagai bentuk penghormatan kepada para korban dan pembelajaran bersama agar tragedi serupa tidak pernah terulang di masa depan.

Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.

20D

(ihc/irb)