KOMPAS.com – Seorang petani di Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, bernama Muhriyono ditangkap polisi pada Minggu (09/06) di tengah konflik agraria antara warga dengan perusahaan perkebunan, PT Bumisari Maju Sukses.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan kasus Muhriyono menambah daftar panjang “kriminalisasi” terhadap warga yang mempertahankan hak atas tanah mereka setelah puluhan tahun berkonflik.
Polresta Banyuwangi membantah tudingan itu dan mengeklaim bahwa kasus Muhriyono —yang diduga mengeroyok petugas keamanan PT Bumisari— adalah “kasus pidana umum, bukan kasus tanah, bukan masalah perjuangan hidup”.
Baca juga: Massa Geruduk Mapolresta Banyuwangi Pertanyakan soal Penjemputan Paksa Warga Pakel
Akan tetapi, menurut Walhi, apa yang terjadi pada Muhriyono lagi-lagi menggambarkan pola berulang dalam konflik agraria lainnya di Indonesia.
Sebanyak 2.442 orang telah dikriminalisasi sepanjang dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA).
Di Desa Pakel saja, setidaknya puluhan warga pernah berurusan dengan polisi sebagai tersangka maupun saksi sejak 2018, ketika eskalasi konflik antara warga dan perusahaan meningkat.
Ketua Rukun Tani Pakel, Harun, mengatakan bahwa kasus-kasus yang menjerat warga itu berakar pada konflik lahan berkepanjangan yang tak kunjung selesai.
Baru pada pertengahan Mei 2024, tiga warga Desa Pakel yang sempat divonis 5,5 tahun penjara dalam kasus penyebaran berita hoaks dibebaskan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui kasasi.
Baca juga: Wadireskrimum Polda Jatim dkk Diadukan ke Propam Polri Buntut Penetapan Tersangka 3 Petani Pakel
Warga, yang mayoritas adalah petani gurem, juga sudah berulang kali menggelar aksi dan beraudiensi dengan pemerintah perihal konflik ini. Namun belum ada hasilnya.
“Kadang-kadang hati ini rasanya sakit dan perih, negara kok seperti ini ke masyarakat… Sedih sekali,” kata Harun kepada BBC News Indonesia.
“Ini sudah keterlaluan. Tidak terhitung kami aksi dan audiensi, tapi sampai sekarang tidak ada tanggapannya,” sambungnya.
Kepala Divisi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Nasional, Huslaini, mengatakan masih terulangnya “kriminalisasi” semacam ini menggambarkan kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria.
“Ini bentuk kelalaian negara dalam menyelesaikan konflik agraria, [kasus Pakel] ini konflik warisan Orde Baru. Sudah puluhan tahun. Upaya penyelesaiannya pun tidak berdasarkan akar persoalan,” kata Huslaini dalam konferensi pers pada Selasa (11/06).
Baca juga: Konflik Lahan di Desa Pakel Banyuwangi, BPN Pertimbangkan Riwayat HGU
BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi PT Bumisari Maju Sukses, namun belum mendapatkan tanggapan hingga artikel ini diterbitkan.
Mengapa Muhriyono ditangkap?

Muhriyono adalah satu dari sekitar 800 warga Desa Pakel yang tergabung dalam rukun tani. Kasus yang menjerat Muhriyono bermula pada 10 Maret 2024.
Ketika itu, Harun mengatakan sekelompok pekerja perkebunan dan petugas keamanan menebangi tanaman-tanaman warga.
“Karena warga takut tanamannya habis, sekitar tiga sampai empat hektare tanaman warga ditebang, warga mencoba untuk menghadang supaya tidak meluas, tidak habis,” terang Harun.
Saat itulah terjadi insiden antara kedua belah pihak.
Lahan tempat insiden itu terjadi termasuk yang disengketakan warga. Dulunya lahan itu sempat dikelola oleh perkebunan. Namun beberapa tahun belakangan, lahan itu kosong sehingga warga kembali menanaminya.
Baca juga: Ribuan Petani Lampung Korban Konflik Agraria, LBH Tuding Mafia Tanah
PT Bumisari kemudian melaporkan Muhriyono ke polisi karena dituduh ikut serta mengeroyok dan memukul petugas keamanan.
Harun membantah tuduhan terhadap Muhriyono itu.
“Muhriyono tidak melakukan itu. Memang kebetulan, petugas keamanan ini kenal dengan Pak Muhriyono karena Pak Muhriyono dulunya juga security perkebunan. Kebetulan dia ada di situ, jadi Pak Muhriyono lah yang disebut oleh security itu,” klaim Harun.
Pada Minggu (09/06), warga pun dikagetkan dengan kabar bahwa polisi menjemput Muhriyono.
Muhriyono sedang makan malam ketika sejumlah anggota polisi datang ke rumahnya tanpa menjelaskan mereka dari kepolisian mana.
“Warga kebingungan, panik, langsung mendatangi Polresta Banyuwangi. Tapi saat itu, Polresta tidak menerima kami dengan baik, kami tidak mendapatkan informasi apa-apa,” kata Harun.
Baca juga: Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi Dibanding Enam Negara Asia
“Karena kami sudah kelelahan dan banyak anak kecil yang ikut, akhirnya kami pulang. Tapi kami tetap berupaya mencari keberadaan teman kami yang waktu itu kami anggap hilang,” sambungnya.
Warga baru tahu esok harinya bahwa Muhriyono ditangkap oleh Polresta Banyuwangi karena dianggap mangkir dari dua panggilan pemeriksaan dalam kasus dugaan pengeroyokan yang terjadi pada Maret lalu.
Namun, menurut keluarga, Muhriyono baru mendapat satu kali surat panggilan. Sedangkan surat panggilan kedua tidak pernah sampai kepadanya.
Muhriyono kini ditahan di rumah tahanan Polresta Banyuwangi. Warga pun mendesak agar Muhriyono dibebaskan.
Page 2
Ketika dimintai tanggapan secara terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyuwangi, Komisaris Polisi Andrew Vega, mengatakan proses hukum terhadap Muhriyono akan tetap berjalan.
Baca juga: Mahfud MD Bakal Bikin Badan Khusus untuk Tangani Konflik Agraria
Andrew mengeklaim polisi telah memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Muhriyono sebagai tersangka, antara lain hasil visum korban dan keterangan para saksi.
“Korban ini tidak sendirian, banyak saksi-saksi lainnya, yang memang pada saat itu kejadiannya siang hari,” kata Andrew.
“Jelas bahwa dari hasil keterangan dan saksi, para saksi semuanya yang ada di TKP melihatnya dan mengarah kepada Pak Muhriyono,” sambungnya.
Muhriyono disangkakan dengan pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengeroyokan.
Sebaliknya, warga juga sempat melaporkan PT Bumisari atas kasus dugaan penganiayaan terhadap warga. Andrew mengaku kasus tersebut juga masih berproses pada tahap pemeriksaan saksi.
Baca juga: CEK FAKTA: Muhaimin Sebut Food Estate Hasilkan Konflik Agraria dan Merusak Lingkungan
“Penangkapan tidak sesuai prosedur”
Edy Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menuding penangkapan Muhriyono “cacat prosedural”.
Itu karena, menurut Edy, Muhriyono dijemput paksa oleh Polresta Banyuwangi pada 9 Juni 2024. Sedangkan surat perintah penetapan tersangka, surat perintah penangkapan, dan surat perintah penahanan terhadapnya baru terbit pada 10 Juni 2024.
“Ini mengarah pada praktik penegakan hukum yang tidak adil dan semena-mena,” kata Edy.
Mengingat ini bukan kali pertama warga Desa Pakel berurusan dengan hukum, YLBHI menduga penangkapan ini sebagai “upaya menakut-nakuti warga agar tidak memperjuangkan hak atas tanah mereka”.
Menanggapi tuduhan itu, Kasatreskrim Polresta Banyuwangi, Kompol Andrew Vega, membantahnya.
Baca juga: Jika Terpilih sebagai Presiden, Anies Berjanji Akan Fokus Selesaikan Konflik Agraria
Andrew mengatakan prosedur yang dijalankan polisi pada tanggal 9 Juni adalah “membawa paksa” Muhriyono karena sudah dua kali mangkir panggilan pemeriksaan.
Baru pada tanggal 10 Juni, penyidik menetapkan Muhriyono sebagai tersangka dan memerintahkan penangkapan dan penahanan.
Dihubungi terpisah, Kapolres Banyuwangi, Komisaris Besar Nanang Haryono, mengatakan: “Kalau ada yang tidak benar, ya laporkan saja ke Paminal”.
Bagaimana riwayat konflik tanah di Desa Pakel Banyuwangi?
Menurut catatan Walhi, riwayat klaim warga atas tanah di Desa Pakel bermula sejak masa penjajahan Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda, melalui Bupati Banyuwangi R.A.A.M. Notohadi Suryo pernah memberi hak untuk membuka hutan yang berlokasi di Desa Pakel pada 11 Januari 1929.
Namun, akta tersebut tidak pernah sampai ke tangan tujuh orang yang mengajukannya. Setelahnya, pembukaan lahan yang dilakukan oleh ketujuh orang tersebut diwarnai oleh sengketa hingga penangkapan.
Pada 1965, keturunan dari tujuh orang tersebut mengajukan permohonan bercocok tanam di wilayah tersebut. Pemerintah tidak merespons permohonan tersebut.
Baca juga: Buka Lahan dengan Cara Dibakar, 2 Petani Ditangkap Polisi di Rokan Hilir Riau
Demi menyambung hidup, sebagian kecil warga bercocok tanam di wilayah yang bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif bernama Taman Glugoh.
Ketika peristiwa 1965 meletus, warga tidak berani menduduki kawasan hutan karena khawatir dicap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tetapi lahan yang mereka kelola kemudian diklaim sebagai milik PT Bumi Sari. Pada 13 Desember 1985, PT Bumi Sari mendapat HGU atas tanah seluas 1.189,89 hektare di Desa Bayu, Kecamatan Songgon.
Namun Walhi menyebut bahwa pada praktiknya, PT Bumi Sari mengeklaim izin pengelolaan kawasan hingga ke Desa Pakel.
Pada 14 Februari 2018, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi menerbitkan surat yang menegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk ke dalam HGU PT Bumi Sari.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap di Bengkulu, Pengacara Siapkan Praperadilan
Warga kemudian menanami pohon pisang di lahan tersebut. Aksi warga kemudian dilaporkan ke polisi oleh perusahaan, sehingga belasan orang dimintai keterangan.
“Tanah kami tak bisa ditebus dengan uang”

Di tengah kasus hukum yang berulang kali menjerat warga, Harun mengatakan bahwa mereka tidak akan takut dan berhenti memperjuangkan hak atas tanah itu.
Pasalnya bagi warga Pakel, tanah ini adalah sumber penghidupan mereka. Dari tanah itu mereka menghasilkan pisang, jagung, petai, kopi, kacang, singkong hingga durian.
“Meskipun kami cuma mengelola beberapa hektare, tapi tanah kami tidak bisa ditebus dengan uang. Ini untuk keberlanjutan hidup kami, tempat tinggal kami. Warga Pakel tidak ada lagi harapannya. Tanah inilah harapannya,” kata Harun.
“Saya daripada mati kelaparan, lebih baik saya mati dibunuh oleh polisi-polisi itu,” sambungnya.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, mengatakan proses hukum terhadap warga adalah tindakan yang “gegabah”.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Polda Bengkulu Bantah Ada Pemukulan
Page 3
Itu karena polisi dinilai tidak melihat insiden itu sebagai implikasi dari konflik agraria yang semestinya bisa diselesaikan oleh pemerintah. Sebaliknya, polisi dia tuding justru lebih berpihak pada kepentingan perusahaan. Tuduhan itu juga dibantah oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyuwangi, Komisaris Polisi Andrew Vega.
Menurut Wahyu, cara-cara seperti ini tidak akan menyelesaikan akar persoalan dan hanya akan mengulang pola “perampasan” hak warga atas tanah.
“Masalah di Pakel ini adalah masalah ketimpangan penguasaan lahan, di mana hampir seluruh wilayah desa yang dikuasai masyarakat itu terhitung kecil,” kata Wahyu.
Dari 1.309 hektare lahan di Desa Pakel, warga hanya mengelola 271,6 hektare. Sementara sisanya dikelola oleh PT Bumi Sari dan Perhutani KPH Banyuwangi Barat.
“Meskipun PT Bumisari mendapat HGU, tetapi proses penerbitan HGU itu bagi kami ganjil karena tidak pernah melibatkan warga desa sana dan juga tidak pernah melihat konteks ketimpangan yang terjadi di Pakel,” tutur Wahyu.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Polda Bengkulu Bantah Ada Pemukulan
Dia juga mengatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pernah berjanji untuk meninjau HGU dalam konflik ini karena ada dugaan malprosedur.
“Kami sudah bosan meminta ATR/BPN menyelesaikan masalah ini karena tidak ada tindakan yang bermakna,” kata Wahyu.
“Padahal kalau pemerintah mau memutus rantai kekerasan dan kemiskinan di Desa Pakel, maka selesaikan konflik agraria ini,” ujarnya.
BBC News Indonesia telah menghubungi juru bicara Kementerian ATR/BPN, namun belum mendapat respons sampai artikel ini diterbitkan.
Mengapa konflik agraria tak kunjung tuntas?
Menurut Walhi, apa yang terjadi di Desa Pakel menggambarkan pola berulang yang terjadi dalam konflik agraria di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Dia menilai pemerintah gagal menyelesaikan akar masalah dari konflik agraria yang salah satunya bermuara pada ketimpangan hak pengelolaan lahan antara masyarakat dengan perusahaan.
Dalam kasus di Pakel, misalnya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi justru membentuk tim penyelesaian sosial. Padahal, menurut Huslaini, yang bermasalah adalah urusan agrarianya.
Sementara itu, pemerintah dan aparat dinilai cenderung menggunakan pendekatan pemidanaan dan represif dalam mengatasi letupan konfliknya. Cara itu sering kali berujung pada “kriminalisasi” seperti yang terjadi pada Muhriyono.
Baca juga: Sri Mulyani Puji Kementerian ATR/BPN Jalankan Reforma Agraria
“Itu sangat merugikan masyarakat dan tidak menyelesaikan persoalan kalau melihat model pemidanaan dan model tindakan represif aparat yang semakin meningkat,” kata Huslaini.
Presiden Jokowi pernah menjanjikan reforma agraria. Namun setelah hampir dua periode menjabat, jumlah konflik agraria yang terjadi justru meningkat.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), telah terjadi sebanyak 2.939 insiden konflik agraria di lahan seluas 6,3 juta hektare selama era Presiden Jokowi menjabat. Mayoritas konflik terjadi pada sektor perkebunan.
Konflik-konflik agraria tersebut telah berdampak pada 1,75 juta keluarga.
KPA mencatat, sebanyak 2.442 orang yang mempertahankan hak atas tanahnya telah dikriminalisasi sepanjang era pemerintahan Jokowi. KPA juga mencatat ada 72 korban tewas di tengah pusaran konflik agraria.
Baca juga: BBT Pastikan Hak-hak Warga Penajam Paser Utara Terpenuhi Melalui Reforma Agraria
Beberapa contoh kasus lainnya antara lain penangkapan 45 petani yang berkonflik dengan PT Wirakarya Sakti di Batanghari, Jambi, dan penangkapan 21 orang masyarakat adat Tano Batak saat berunjuk rasa di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terjadi pada 2020.
Dalam laporan tahunan KPA itu, juga disebutkan bahwa aparat kepolisian menjadi pihak yang paling banyak terlibat dalam kasus kekerasan di wilayah konflik agraria.
Jumlah kasus kekerasan oleh aparat pun terus meningkat dari tahun ke tahun, yang mengindikasikan “tidak ada evaluasi serius terhadap institusi tersebut”.
Wahyu Eka Setiawan dari Walhi Surabaya mengatakan bahwa pemerintah sampai saat ini masih cenderung menyelesaikan konflik agraria yang berkaitan dengan sengketa tanah.
Padahal pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 untuk mempercepat reforma agraria yang semestinya menjadi acuan dan pedoman.
Baca juga: Komnas HAM: Konflik Agraria Meningkat, Pihak Teradu Paling Banyak dari Korporasi dan Pemerintah
“Tapi nampaknya perpres tersebut tidak menjadi acuan dan pedoman, sehingga penyelesaian konflik agraria jatuhnya seperti sengketa tanah,” kata Wahyu.
Ketika penyelesaian konflik agraria hanya fokus pada aspek legalitas, maka masyarakat dirugikan.
Pasalnya dalam konflik-konflik agraria di Indonesia, masyarakat yang menjadi korban tidak memiliki legalitas meski secara historis mereka telah mendiami dan mengelola area tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.