sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Sejak awal pembangunannya hingga resmi beroperasi, Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Kereta Whoosh terus menjadi sorotan publik.
Proyek transportasi berkecepatan tinggi ini digarap oleh konsorsium empat BUMN, termasuk PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Namun, di balik citra modern dan inovatifnya, Whoosh ternyata membawa beban keuangan yang tidak ringan.
Baca Juga: Heboh! Ilalang Dekat Pabrik INKA Banyuwangi Terbakar, Api Nyaris Lahap Gudang Kereta
Tekanan pada Keuangan KAI
Direktur Utama KAI periode 2020–2025, Didiek Hartantyo, mengungkapkan bahwa proyek Kereta Cepat Whoosh memberi dampak signifikan terhadap kondisi keuangan perusahaan.
Meski pendapatan KAI meningkat tajam dari Rp14,4 triliun pada 2016 menjadi Rp35,9 triliun di 2024, laba bersih tidak menunjukkan kenaikan yang sepadan.
Pada 2024, keuntungan hanya mencapai Rp2,2 triliun, menandakan adanya beban besar dari proyek ini.
Beban tersebut terutama berasal dari utang pembiayaan proyek kepada China Development Bank (CDB).
Menurut Didiek, risiko terbesar dalam keuangan KAI saat ini memang bersumber dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
Baca Juga: Pria Alami Luka Serius Usai Tersambar Kereta di Perlintasan Rel Wellsville Franklin County
Tantangan dan Harapan
Didiek menegaskan, meski tekanan keuangan terasa berat, KAI tetap berusaha menjaga stabilitas kinerja tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dari sisi EBITDA, perusahaan masih menunjukkan performa positif dengan catatan Rp7,7 triliun pada 2024.
Ia berharap restrukturisasi proyek dapat segera dilakukan sehingga tidak membebani profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Hal ini penting mengingat wacana perpanjangan jalur Kereta Cepat hingga Surabaya akan membutuhkan investasi yang jauh lebih besar.
Page 2
Meski menyedot banyak biaya, Whoosh justru menjadi daya tarik baru bagi wisatawan internasional, terutama dari Malaysia.
Data KCIC mencatat, dari lebih dari 528 ribu penumpang mancanegara, sekitar 225 ribu berasal dari Negeri Jiran.
Bagi wisatawan, Whoosh bukan hanya sarana transportasi, melainkan juga pengalaman perjalanan.
Dengan kecepatan hingga 350 km/jam, perjalanan Jakarta–Bandung bisa ditempuh kurang dari 30 menit.
Pelayanan nyaman, ketepatan waktu, dan fasilitas modern menjadi alasan utama mereka puas.
Eva Chairunisa, General Manager Corporate Secretary KCIC, mengatakan antusiasme wisatawan asing terus meningkat.
Sejak akhir Agustus 2025, rata-rata 750 penumpang asal Malaysia menggunakan Whoosh setiap hari, terutama pada musim liburan.
Baca Juga: Kereta Amtrak Tabrak Alat Berat di Jalur Chicago, Seorang Pekerja Dilarikan ke Rumah Sakit
Antara Beban dan Peluang
Fenomena Kereta Cepat Whoosh menunjukkan ironi.
Di satu sisi, proyek ini menekan keuangan konsorsium BUMN, terutama KAI.
Namun di sisi lain, ia membuka peluang baru dalam sektor pariwisata dan transportasi modern Indonesia.
Ke depan, tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola struktur keuangan proyek agar tidak menggerus laba, sekaligus menjaga kualitas layanan agar Whoosh tetap menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia.
Page 3
sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Sejak awal pembangunannya hingga resmi beroperasi, Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Kereta Whoosh terus menjadi sorotan publik.
Proyek transportasi berkecepatan tinggi ini digarap oleh konsorsium empat BUMN, termasuk PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Namun, di balik citra modern dan inovatifnya, Whoosh ternyata membawa beban keuangan yang tidak ringan.
Baca Juga: Heboh! Ilalang Dekat Pabrik INKA Banyuwangi Terbakar, Api Nyaris Lahap Gudang Kereta
Tekanan pada Keuangan KAI
Direktur Utama KAI periode 2020–2025, Didiek Hartantyo, mengungkapkan bahwa proyek Kereta Cepat Whoosh memberi dampak signifikan terhadap kondisi keuangan perusahaan.
Meski pendapatan KAI meningkat tajam dari Rp14,4 triliun pada 2016 menjadi Rp35,9 triliun di 2024, laba bersih tidak menunjukkan kenaikan yang sepadan.
Pada 2024, keuntungan hanya mencapai Rp2,2 triliun, menandakan adanya beban besar dari proyek ini.
Beban tersebut terutama berasal dari utang pembiayaan proyek kepada China Development Bank (CDB).
Menurut Didiek, risiko terbesar dalam keuangan KAI saat ini memang bersumber dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
Baca Juga: Pria Alami Luka Serius Usai Tersambar Kereta di Perlintasan Rel Wellsville Franklin County
Tantangan dan Harapan
Didiek menegaskan, meski tekanan keuangan terasa berat, KAI tetap berusaha menjaga stabilitas kinerja tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dari sisi EBITDA, perusahaan masih menunjukkan performa positif dengan catatan Rp7,7 triliun pada 2024.
Ia berharap restrukturisasi proyek dapat segera dilakukan sehingga tidak membebani profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Hal ini penting mengingat wacana perpanjangan jalur Kereta Cepat hingga Surabaya akan membutuhkan investasi yang jauh lebih besar.