Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Mendadak Berteriak Sebut Nama Tuhan saat Salat

PERJALANAN: Kiai Musayyidi membaca Alquran di dalam gerbong kereta api.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
PERJALANAN: Kiai Musayyidi membaca Alquran di dalam gerbong kereta api.

Sewaktu masih menjadi santri sampai mendirikan pesantren sendiri, almarhum KH. Achmad Musayyidi dikenal tekun dan istiqomah dalam ibadah ubudiah.Dia juga dikenal sebagai sosok kiai yang teguh dalam memegang pendirian.

-ABDUL AZIZ, Tegalsari-

SELAMA menjadi santri di Pondok Pesantren Bustanul Makmur, Kebunrejo, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, Kiai Musayyi-di dikenal tekun mengaji. Dia juga tekun melaksanakan salat, termasuk salat sunah. Saat melaksanakan salat sunah, Sayyidi muda sering membuat rekan-rekan yang ada di sampingnya terkejut. Sebab, di tengah menjalankan salat, mendadak dia teriak menyebut nama Allah dengan suara lantang.

Belum jelas apa maksud Sayyidi muda sering berteriak keras saat menunaikan salat. Namun, kesaksian rekan-rekan satu angkatan, saat menunaikan ibadah tersebut yang bersangkutan memang sangat khusyuk. “Saking khusyuknya, beliau seperti benar-benar dekat dengan Allah dan merasakan betapa besarnya kekuasaan Allah. Sehingga, tanpa sadar dia berteriak sangat keras,” kata Rofi’i Hayat, salah satu teman almarhum ketika masih nyantri di Ponpes Kebunrejo pada tahun 1960-an silam.

Selain ibadahnya yang istiqomahdan se r ing mengejutkan rekan-rekannya saat salat, Sayyidi muda juga terbilang santri yang tekun mengikuti pelajaran di pesantren. Bukan hanya mengikuti pe ngajian rutin yang diselenggarakan pesantren, secara khusus dia juga ngajisendiri ke pada pengasuh pesantren almarhum KH. Djunaidi. Saat ngaji kitab kuning sendirian, posisi Sayyidi muda sebagai pihak yang membaca kitab, dan sang kiai memilih sebagai pendengar sambil menyimak.

“Nanti kalau mem baca atau mengartikannya salah, kiai yang membetulkan dan menjelaskan,” tu tur Rofi’I yang sampai saat ini memilih me ngabdikan dirinya mengajar di MTs Ke bunrejo, Genteng, tersebut. Diberinya waktu mengaji secara khusus yang oleh almarhum KH. Djunaidi adalah in dikator bahwa pengasuh pesantren itu memberikan perhatian tersendiri kepada Sayyidi.

Perhatian tersebut diberikan karena yang bersangkutan memang dikenal tekun dalam hal ubudiahdan belajar kitab kuning. Meski Sayyidi muda sudah keluar pondok, tapi hormatnya terhadap sang guru tetap dia pegang sampai akhir hayat. “Bahkan, sekitar tiga bulan lalu, Kiai Sayyidi sempat meng gelar acara hauluntuk almarhum Kiai Djunaidi dan keluarga,” ujar salah satu Pengasuh Pesantren Kebunrejo, KH. Muafiq Amir.

Sementara itu, tak jauh berbeda dengan re kannya di pesantren, sosok Kiai Sayyidi juga dikenal sebagai orang yang istiqomah dan tak mengenal waktu dalam belajar. Se bagaimana yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, KH. Ahmad Hisyam Syafaat. Selama ini, almarhum Kiai Sayyidi termasuk orang yang secara tidak langsung juga sering ber guru dan meminta nasihat kepada al-marhum KH. Muhtar Syafaat.

Bahkan, saat Kiai Sayyidi mendirikan Masjid Mabadi’ul Ihsan, almarhum KH. Muhtar Syafaat yang juga pendiri Pesantren Darussalam Blokagung bukan hanya orang yang menunjukkan arah kiblat. “Namun, letak masjid dan lokasi rumah yang harus ditempati serta hari yang pas untuk menempati rumah juga arahan dari almarhum abah (KH, Muhtar Syafaat,Red),” jelas Gus Hisyam.

Yang membuat salut Gus Hisyam kepada al marhum Kiai Sayyidi adalah dia istiqomah dan teguh dalam mendidik anak-anaknya yang terbilang cukup banyak. Selama ini, Gus Hisyam sangat tahu bahwa almarhum Kiai Sayyidi adalah orang yang hidup de-ngan ekonomi pas-pasan. Dia tidak memiliki sawah dan ladang untuk mencari nafkah keluarga. “Beliau selain jual jamu, juga jual minyak wangi.

Jadi, hanya itu sumber ekonominya. Beliau nggakpunya sawah dan ladang,” tutur Gus Hisyam. Namun, di tengah ekonomi yang tidak me nentu tersebut, Kiai Sayyidi memiliki pendirian yang kuat. Almarhum bertekad se puluh anaknya yang masih hidup harus mendapatkan pendidikan yang layak, khu susnya di pesantren. Buah ketekadan tersebut, semua anaknya selain berhasil me ngenyam pendidikan di pesantren juga bisa sekolah dan lulus di perguruan tinggi.

Hal itulah yang sering mengundang ke kaguman banyak orang. Bahkan, suatu ketika ada tetangga Kiai Sayyidi yang merasa heran dengan Kiai Sayyidi dan menyampaikan hal itu kepada Gus Hi-syam. Sebab, meski tak punya sawah dan ladang, ternyata yang bersangkutan mam pu menyekolahkan anaknya sampai per guruan tinggi dan nyantridi pesantren. “Te tangganya ada yang cerita begitu kepada saya. Ya mungkin itu berkah dari keistiqomahan beliau dan besarnya tekad beliau, sehingga bisa mendidik anak-anaknya di pesantren dan perguruan tinggi,” tutur Gus Hisyam.

Satu hal lagi yang menurut Gus Hisyam patut ditiru dari sosok Kiai Sayyidi, yai tu pendirian almarhum yang tetap memperbolehkan anak-anaknya sekolah di pendidikan formal sampai perguruan tinggi tapi harus tetap nyantri. Bagi Gus Hi syam, sikap tersebut menunjukkan bahwa almarhum memang meletakkan pendidikan pesantren pada tempat yang tinggi. Hal itu yang harus dicontoh, termasuk oleh para kiai lain.

Sebab, menurut Gus Hisyam, belakangan ini banyak kiai yang menyekolahkan anaknya tapi tidak mewajibkan anaknya belajar di pesantren sebagaimana yang dilakukan Kiai Sayyidi. “Ini memprihatinkan. Sebab, ketika nanti sang kiai meninggal dunia, lantas pesantren siapa yang meneruskan,” pungkasnya. Sore ini sekitar pukul 16.00 akan digelar tahlil tujuh hari wafatnya Kiai Sayyidi. Pihak keluarga mempersilakan segenap warga yang ingin hadir dalam acara tersebut. Tahlil tersebut akan dirangkai dengan buka bersama.(radar)