BANYUWANGI – Masih ingat dengan Akbar Habib, 12, siswa SDN Kepatihan yang beberapa hari lalu tidak bisa mengikuti ujian sekolah (US) akibat menderita tumor otak? Kemarin (22/5), anak dari pasangan Slamet Riyadi dan Sulastri itu akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.
Nyawanya tidak tertolong setelah sempat menginap selama sepuluh hari di kamar isolasi ruang anak RSUD Blambangan. Akbar meninggal pukul 02:30 dini hari kemarin setelah sempat memperoleh pertolongan dari dokter UGD.
Rupanya usaha untuk menyelamatkan Akbar belum berhasil. Pukul 08:00, akhirnya jenazah sulung dari dua bersaudara itu dimakamkan tidak jauh dari rumahnya di lingkungan Kalilo, Kelurahan Pengantigan. Saat Jawa Pos Radar Banyuwangi mendatangi rumah keluarga Akbar, suasana sedih masih tampak menyelimuti keluarga kecil tersebut.
Sang ibu, Sulastri masih terlihat menyimpan duka meskipun tetap melempar senyum kepada warga yang takziyah ke kediamannya. Mislatin, 48, bibi dari Akbar yang sejak awal ikut merawat siswa kelas 6 C SDN Kepatihan itu menceritakan, dirinya dan keluarga sudah berusaha keras untuk menyembuhkan Akbar.
Bahkan, sejak pertama kali didiagnosa menderita tumor otak, dia bersama keluarganya yang lain rela patungan untuk bisa membawa keponakannya itu ke RS Dr. Soetomo Surabaya. Mereka harus menyewa rumah kos demi bisa memeriksakan keponakannya tersebut.
“Dokter di RSUD Blambangan butuh rekaman Magnetic Resonance Imaging (MRI) supaya dapat dilakukan tindakan lanjutan. Ternyata sampai Akbar meninggal hasil MRI nya tidak keluar-keluar dari Surabaya,” ujar Mislatin.
Hal yang paling dikeluhkan oleh wanita paruh baya tersebut adalah lamanya proses dikeluarkannya hasil pemeriksaan MRI. Sebenarnya, jika diperbolehkan protes ingin sekali dirinya melayangkan protes. Mislatin sempat berpikir, apa karena dirinya adalah pasien BPJS Mandiri kelas tiga sehingga tidak dapat prioritas lebih. Padahal jika di lihat, kondisi keponakannya itu cukup kritis. Karena sudah hampir sebulan tidak dapat berkomunikasi dengan lancar dan seringkali kejang.
“Kalau tidak ingat masalah takdir, saya ingin protes rasanya. Kenapa begitu lama. Sampai satu bulan lebih, sampai anaknya meninggal,” ungkapnya dengan nada kecewa. Sementara itu, Sulastri, ibu korban sempat mengenang keinginan anaknya itu untuk bisa masuk SMPN 3 Banyuwangi jika lulus SD.
Bahkan anaknya juga meminta dibelikan helm supaya bisa berboncengan dengan temannya jika akan berangkat ke sekolah. “Kemarin teman-temannya sempat berdatangan menjenguk. Saya jadi berharap dia bisa sembuh, tapi ternyata takdirnya berbeda,” kata Sulastri. (radar)