Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Musim Hujan Siap Tidak Tidur, Kemarau Dimarahi Petani

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Hariyanto

HUJAN rintik-rintik mengguyur wilayah Kecamatan Rogojampi. Seorang lelaki mengenakan topi dan kaus lengan panjang motif  garis-garis, tampak sedang sibuk. Lengan kaus yang dikenakan sengaja dilipat, tak terasa hujan  yang mengguyur mulai membasahi seluruh   pakaian dan celana yang dikenakannya.

Kedua tangan lelaki itu, memegangi besi  horizontal yang ada di bendungan. Palang  besi itu terus diputar dengan sekuat tenaga searah jarum jam hingga berulang-ulang.  Sesekali, lelaki itu berhenti sejenak sambi menyeka keringat yang mengalir di dahinya.

Itulah pekerjaan yang dilakoni Hariyanto, salah seorang penjaga palang pintu air di dam sungai Desa Gladag, Kecamatan Rogojampi. Bapak dua anak itu baru tiga tahun melakoni aktivitasnya sebagai  penjaga palang pintu air di bendungan Desa Gladag.

Meski terkesan sepele, tapi siapa sangka  tugasnya itu memiliki tanggung  jawab besar. Jika palang pintu air itu tidak segera dibuka atau terlalu tinggi membuka, maka berakibat fatal. “Kalau hujan membukanya terlalu lebar,air bisa naik ke rumah-rumah  penduduk,” ungkapnya.

Meski terhitung masih baru menjadi penjaga pintu air, banyak pengalaman yang dialami. Hariyanto mengaku tidak bisa  lama berada di rumah dalam tempo lama. Apalagi, jika hujan  turun tiba-tiba dengan intensitas  tinggi.

“Kerja saya itu tidak memandang jam dan hari, dan  kerjaan ini tidak bisa disambi  dengan pekerjaan lain, kalau saya ada keperluan penting, biasanya gantian dengan istri,” ujar suami Asiyah, 40 itu. Tugas Hariyanto tidak hanya  mengamati debit air sungai di dam Gladag, menutup, dan  membuka palang pintu air. Akan tetapi, pekerjaannya juga membersihkan  setiap kotoran dan sampah yang menumpuk di bendungan.

Jika tidak segera  dibersihkan, sampah sering mengganggu kelancaran air  hingga ke sawah-sawah. Tidak jarang mendapat komplain  dari masyarakat jika ada bau tidak sedap dari binatang  yang dibuang ke sungai dan membusuk.

“Sudah saya bersihkan,  kadang masih ada bangkai  yang hanyut dan bau busuk. Saya juga sering dimarahi warga,” katanya.  Yang paling membingungkan  itu saat hujan turun di hulu. Hujan dengan intensitas tinggi di daerah hulu itu akan berdampak  terhadap daerah aliran sungai (DAS) di wilayah hilir. Termasuk  sungai Gladag.

Untuk mengenali daerah hulu  turun hujan, itu tidak hanya diberi kabar oleh petugas yang  berada di hulu seperti yang ada di wilayah Kecamatan Songgon. Tapi, dikenali dari tanda-tanda  warna air. Karena terbiasa mengamati  aliran sungai, akhirnya bisa niteni (melihat tanda-tanda).

“Kalau mau banjir, biasanya air sungai berwarna cokelat kehitam-hitaman dibarengi sampah yang hanyut,” jelasnya. Bila mengetahui tanda-tanda  akan banjir, dia langsung berkoordinasi dengan petugas pintu jaga lainnya, seperti menghubungi penjaga di daerah  Kecamatan Singojuruh. Tidak hanya itu, jika ketinggian air  sungai mencapai empat meter, langsung membuka pintu air sesuai prosedur tetap (protap).

“Ada teknisnya, tidak sembarangan  asal buka,” katanya.  Kondisi terbalik itu saat  musim kemarau. Dengan bermitra bersama Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) dan Jogotirto, dituntut bisa memberikan pelayanan mengalir air di kawasan Desa Gladag,  Gintangan, dan sekitarnya.

Kunci sukses dan tidaknya pertanian,  bergantung pengaturan  irigasi di pintu air Desa Gladag,  Kecamatan Rogojampi. Untuk memberikan aliran air di sawah itu, kadang harus pergi ke hulu  untuk melihat debit air. “Luasannya saya tidak hafal, yang jelas puluhan hektare,” ujar lelaki yang juga berprofesi sebagai  petani itu.

Meski tanggung jawab yang dipikul sangat berat, dia tetap berupaya semaksimal mungkin demi kesejahteraan petani  dan keberlangsungan pangan di  Kabupaten Banyuwangi. “Mau gimana lagi, kuncinya memang harus ikhlas dan tulus dalam menjalankan tugas. Rezeki tetap dicari dan pasrah pada Allah,” tandasnya. (radar)