BANYUWANGI – Banyuwangi disebut kota budaya memang tidak salah, karena kegiatan kebudayaan di Banyuwangi memang tidak ada matinya. Terbaru, Lembaga Masyarakat Adat Osing (Lemao) melakukan sosialisasi program Rumah Budaya Osing Minggu kemarin (9/10). Sosialisasi program yang dikemas sangat apik dalam nuansa kekeluargaan adat Osing itu pun berjalan gayeng. Acara yang diselenggarakan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, itu menghadirkan peneliti senior LIPI, Bisri Efendi. sebagai narasumber.
Dalam paparannya, Bisri Efendi menyebut budaya Osing salah satu budaya yang cukup dipertimbangkan di Nusantara ini. Meski bukan termasuk suku besar, suku Osing cukup berpengaruh. lm salah satu pertimbangan kenapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia mendirikan rumah budaya di Banyuwangi melalui Lemao. Terkait hal tersebut, tidak sedikit undangan yang hadir mengapresiasi saya dan cara “seminar” yang diterapkan.
“Tidak harus pakai sepatu. Protokoler tidak kaku dan boleh mengangkat kaki ke atas kursi,” kata Fatah Yasin Noor, salah satu undangan yang hadir sambil terkekeh. Sanjungan juga disampaikan revolusioner musik patrol Banyuwangi, Yons DD. Menurutnya, konsep acara yang diterapkan Lemao sangat alami dan tidak mengada-ada. Kue yang disajikan sangat tradisional. Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua Lemao. Hasan Basri mengatakan, pendirian Rumah Budaya Osing adalah salah satu upaya pemerintah pusat dalam memelihara kebudayaan Banyuwangi.
Dia menyebut, masyarakat Banyuwangi patut bersyukur. karena tidak semua suku mendapat program Rumah Budaya “Berdasar informasi yang saya terima, di seluruh Indonesia hanya ada sekitar delapan rumah Budaya” katanya. Selain dihadiri peneliti senior LIPI, Bisri Efendi, acara yang dimulai pukul 08.30 tersebut juga dihadiri para pelaku adat dan pemikir kebudayaan Banyuwangi, antara lain Armaya, Suhalik. Fatah Yasin Noor. Sjaiful. Kang Usik, Hasnan Singodimayan, dan Sahuni.
Selain itu, hadir pula Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Samsudin Adlawi beserta para anggotanya, di antaranya Bambang Lukito, Yons DD, dan A. John Hah matullah. Ketika dikonfirmasi, Samsudin menyatakan sangat mendukung pendirian Rumah Budaya Osing yang diprakarsai Lemao tersebut. Samsudin menyebut, Lemao adalah lembaga adat yang benaung di bawah DKB. Ketika diminta menyampaikan kata sambutan di hadapan para undangan yang hadir. Samsudin mengulas beberapa hal terkait kebudayaan.
Termasuk, polemik terbaru terkait bahasa Osing. Penyair nasional tersebut mewanti-wanti masyarakat Banyuwangi, terutama pengguna bahasa Osing. tidak terprovokasi terkait Pergub Jatim yang tidak memasukkan bahasa osing sebagai bahasa daerah yang perlu diajarkan di sekolah. Samsudin meminta masyarakat Banyuwangi tetap berpikir bijak. Meskipun Pergub terkesan melecehkan masyarakat Banyuwangi, dia meminta masyarakat tidak melakukan hal-hal yang Justru menurunkan derajat kebudayaan Banyuwangi.
“Upaya-upaya tengah kami lakukan, baik protes secara tertulis kepada gubernur maupun penelitian ulang bahasa secara akademis. DKB terus Intens berkomunikasi dengan Pusat Pertelitian Bahasa oseng dan Balai Bahasa Jawa Timur di Surabaya.” katanya. Sementara itu, Bisri Efendi menambahkan terkait penulisan buku-buku sejarah tentang Banyuwangi, sudah saatnya orang Banyuwangi sendiri yang menjadi pelakunya. Selama ini masyarakat Banyuwangi hanya bertindak sebagai objek bukan subjek. Masyarakat Banyuwangi lebih suka ditulis ketimbang menulis.
Padahal, menurutnya orang Banyuwangi lebih tahu tentang dirinya sendiri ketimbang orang lain. “oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi harus bangkit. Keberadaan Rumah Budaya Osing ini harus dimanfaatkan dengan baik. lngat, Rumah Budaya Osing bukan bangunan rumah, melainkan pusat kegiatan, pelestarian, dan pendokumentasian budaya.” tambahnya. Peneliti yang sudah mulai meneliti kebudayaan Banyuwangi tahun 1993 tersebut menyebut, sebaiknya masyarakat Banyuwangi tidak lagi menyudutkan mitos dan legenda.
Cerita tutur atau lebih dikenal dengan istilah folklore itu tidak menutup kemungkinan justru lebih akurat ketimbang sumber-sumber tertulis yang di tulis oleh orang luar Banyuwangi. Sebab, meskipun ditulis di zaman iru, tapi sumber tertulis tidak bisa mewakili fakta empiris di zaman itu. Sebab, tulisan seseorang bisa dipengaruhi hal-hal lain di luar fakta,” timpal Hasan Basri. Melanjutkan komentar peneliti yang beralamat di Depok itu, Hasan Basri menyebut, karena itulah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lll mendirikan rumah budaya.
Tujuannya, agar menjadi pusar berbagai hal tentang kebudayaan yang dilakukan oleh orang-orang lokal. Lelaki yang juga wakil ketua DKB tersebut menambahkan, meskipun Rumah Budaya Dsing berada di Desa Kemiren, tapi Rumah Budaya Osing bukan milik orang Kemiren saja. Rumah Budaya Osing milik semua orang Banyuwangi. “Saya dirikan di Kemiren ini karena markas Lemao di sini. Terapi, anggota Lemao dari banyak desa ada yang dari Anyar, Mangir, Alas Malang dan lain-lain. Rumah Budaya Osing milik kita bersuma,”Pungkasnya (radar)