Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

September, Doa yang Tak Pernah Usai untuk Negeri

september,-doa-yang-tak-pernah-usai-untuk-negeri
September, Doa yang Tak Pernah Usai untuk Negeri

Oleh : Syafaat

Ada bulan-bulan yang lewat begitu saja dalam kalender, tak meninggalkan apa-apa selain angka. Tetapi ada juga bulan yang datang dengan suara, dengan ingatan, dengan luka, dan dengan doa. September, bagi bangsa ini, adalah bulan yang tidak pernah benar-benar sunyi. Ada gema dari masa lalu yang selalu mengetuk pintu hati, seolah-olah Tuhan sengaja memberi tanda agar kita tidak lupa: kemerdekaan dan persatuan bukan sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hadiah dari perjuangan panjang yang dibayar dengan darah dan air mata.

Di masa Orde Baru, September adalah layar besar yang menayangkan satu versi cerita. Setiap akhir bulan, film itu diputar di televisi dengan wajah-wajah hitam putih yang tegang, dengan darah yang disulap menjadi pelajaran moral versi penguasa. Anak-anak menontonnya dengan ngeri, menutup mata dengan tangan kecil mereka, tetapi diam-diam mengintip di sela-sela jari. Orang-orang dewasa menontonnya dengan getir, duduk kaku di ruang tamu dengan pikiran bercabang: antara rasa takut pada apa yang diceritakan negara, dan ingatan samar tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Di balik cerita negara, kita tahu ada banyak cerita lain yang bersembunyi. Cerita-cerita itu tidak pernah mendapat ruang, hanya beredar pelan di antara bisik-bisik dapur, di antara percakapan lirih yang penuh waspada. Luka sejarah itu seperti duri yang menempel di daging: meski ditutup rapat, ia tetap terasa jika disentuh. Maka pertanyaan besar selalu muncul: apakah luka sejarah itu harus diwarisi sebagai dendam, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti warisan pahit yang tak pernah selesai? Ataukah harus dilupakan begitu saja, seolah darah itu tidak pernah tumpah di tanah air kita?

Sejarah mengajarkan bahwa ideologi kiri yang menghalalkan segala cara pernah berusaha memporak-porandakan negeri ini. Ia menjanjikan surga di dunia, tetapi membayarnya dengan darah dan air mata. Kita tidak boleh buta: percobaan itu pernah dilakukan, meskipun gagal, bisa jadi akan terulang jika kita lengah. Maka kewaspadaan adalah kewajiban. Namun, kewaspadaan tidak boleh menjelma kebencian membabi buta, sebab kebencian hanyalah api yang memakan diri sendiri.

Di hadapan sejarah, kita hanyalah manusia kecil yang mesti belajar rendah hati, kita boleh waspada terhadap ideologi yang menolak Tuhan, yang menolak kemanusiaan, tetapi kita tidak boleh kehilangan kasih dalam membaca masa lalu. Sebab tanpa kasih, kita hanya akan menjadi pewaris dendam. Padahal agama sudah mengajarkan: “Wa man ‘afā wa aṣlaḥa fa ajruhu ‘alallāh”  siapa yang mampu memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya ada di sisi Allah (QS. Asy-Syūrā: 40).

Mungkin inilah pelajaran September: bangsa ini harus belajar berdamai dengan masa lalu, tidak dengan melupakan, tidak pula dengan menutup mata, tetapi dengan mengingatnya sebagai peringatan. Sebagai doa agar kegelapan tidak datang lagi. Sebab setiap luka sejarah adalah tanda, agar manusia mengambil ibrah, agar kita tahu batas-batas yang jangan pernah dilewati.

Bangsa ini lahir dari perbedaan. Itu adalah keindahan sekaligus kerentanan kita. Ribuan pulau terbentang seperti butir tasbih di atas samudra, ratusan bahasa bergaung seperti zikir dari lisan yang berbeda, banyak agama menyalakan doa ke langit dengan cara masing-masing, adat dan budaya tumbuh seperti pepohonan di hutan yang rimbun. Semua itu adalah anugerah, tetapi juga ujian. Indonesia adalah sebuah mozaik. Dan mozaik hanya indah jika setiap potongan berbeda rela berdampingan, rela mengisi, rela membentuk harmoni. Jika satu pecahan ingin memaksa yang lain sama persis, maka mozaik itu retak dan hancur. Keindahan bukan pada keseragaman, melainkan pada keberanian menerima yang tak sama. Tuhan pun sudah berfirman: “Waja‘alnākum syu‘ūban wa qabā’ila lita‘ārafū” (Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal) (QS. al-Hujurat: 13).

Dari sanalah kita belajar, bahwa menjaga Indonesia bukan sekadar menjaga tanah dan laut, melainkan menjaga hati dan jiwa, menjaga agar warna berbeda tetap terangkai menjadi pelangi. Bangsa ini akan terus hidup bukan karena seragamnya wajah, bukan karena sama ratanya suara, melainkan karena kasih sayang yang mengikat seperti doa, dan doa itu akan terus naik, dari masjid, gereja, pura, wihara, dan rumah doa, lalu bertemu di langit yang sama: langit Indonesia.

Sejarah berdirinya negeri lain tidak selalu sama dengan kita, ada bangsa yang lahir di atas reruntuhan bangsa asli yang dihapus, ada yang diberikan secara sukarela oleh penjajah kepada penduduknya. Tetapi Indonesia lain: kita lahir dengan cara mengusir, dengan cara melawan, dengan cara mempertaruhkan nyawa, maka sejak awal negeri ini dibangun di atas semangat kebersamaan: tanpa kebersamaan, mustahil kita mengusir penjajah dengan senjata seadanya.

Namun bahkan setelah merdeka, kita diuji. September 1965 adalah ujian paling berat: bangsa ini pernah saling menghunus, memilih satu ideologi dan memaksakannya atas yang lain. Ribuan, bahkan jutaan orang, menjadi korban, luka itu masih ada sampai hari ini. Ia bukan hanya catatan sejarah, melainkan darah di tanah, air mata di pipi, doa yang tak sampai karena dicegat peluru. Apa yang harus kita lakukan dengan sejarah itu? Menyimpannya sebagai bara dendam? Membiarkannya jadi jurang yang memisahkan kita? Atau menjadikannya cermin, agar kita lebih hati-hati menjaga persaudaraan? Saya lebih suka yang terakhir. Sebab dendam tidak melahirkan cahaya, ia hanya melahirkan api yang menghanguskan diri kita.

Bangsa ini sudah memberi teladan yang agung: kita bisa berdamai dengan Belanda, meski mereka pernah merampas tanah, harta, dan kehormatan bangsa ini. Kita bisa berdamai dengan Jepang, meski mereka pernah mengikat tubuh kita dengan rantai, mengiris luka dengan siksaan, menorehkan derita yang sulit dihapus dari ingatan sejarah. Kita bisa berdamai dengan orang asing yang datang jauh dari negeri lain, dengan wajah yang berbeda, dengan bahasa yang asing di telinga, dengan tangan yang pernah menindas begitu kejam.

Kalau dengan penjajah kita sanggup berdamai, mengapa dengan saudara sendiri kita tidak sanggup? Bukankah darah yang mengalir di tubuh kita sama-sama merah? Bukankah nadi kita bergetar karena denyut kehidupan dari bumi yang sama, dari air yang sama, dari udara yang sama? Tidakkah kita malu, ketika luka yang ditinggalkan bangsa asing bisa kita maafkan, tetapi luka kecil yang ditorehkan saudara sendiri justru kita simpan sebagai bara yang tak pernah padam?

Tuhan sendiri telah mengajarkan bahwa memaafkan adalah jalan orang-orang yang mulia. Bukankah ada firman-Nya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22).

Ayat itu menegaskan bahwa maaf bukan sekadar urusan manusia dengan manusia, melainkan urusan kita dengan Allah. Karena dengan memaafkan, kita sedang mengetuk pintu ampunan Allah, dan dengan berdamai, kita sedang menata kembali hati agar tidak dirusak dendam. Bangsa ini sudah membuktikan, luka dari bangsa asing bisa diubah menjadi pelajaran, bukan alasan untuk terus menaruh benci. Seharusnya kepada saudara sendiri kita lebih sanggup lagi: menurunkan ego, meredam amarah, memeluk dengan kesadaran bahwa pada akhirnya kita akan kembali ke tanah yang sama, diselimuti kain kafan yang sama, ditanya oleh Tuhan yang sama.

Nabi Muhammad ﷺ telah memberi teladan: ketika beliau memimpin Madinah, beliau tidak memaksakan Islam sebagai ideologi tunggal, tetapi merangkul Yahudi, Nasrani, dan suku-suku lain, lalu menulis Piagam Madinah. Itu bukan sekadar kontrak politik, melainkan piagam cinta, pengakuan bahwa perbedaan adalah anugerah, bukan ancaman. Indonesia pun begitu. Pancasila adalah piagam cinta kita. Ia bukan hanya dasar negara, tetapi perjanjian suci untuk saling menjaga. Tidak ada satu agama, tidak ada satu suku, tidak ada satu golongan yang lebih berhak atas negeri ini dibanding yang lain.

Namun ancaman selalu ada. Ideologi yang ingin memaksakan diri masih menyelinap di ruang politik, birokrasi, bahkan mimbar agama. Ia menyaru dalam kata manis, tapi menyimpan racun perpecahan. Dan kita, anak bangsa, ditantang untuk tidak lengah. Sebab kalau lengah, negeri ini bisa hilang bukan karena dijajah orang asing, melainkan karena kita sendiri saling menghabisi. Maka September seharusnya menjadi bulan doa. Doa agar bangsa ini tetap kuat menghadapi godaan perpecahan. Doa agar kita mampu menjaga negeri ini dengan cinta, bukan dengan curiga. Doa agar kita mampu saling memaafkan, saling merangkul, saling menerima.

Indonesia adalah doa panjang yang ditulis para pahlawan. Doa yang mereka titipkan kepada kita. Dan tugas kita hanya satu: jangan biarkan doa itu berhenti di tengah jalan. Jangan biarkan ia patah oleh ambisi sesaat. Jangan biarkan ia hancur oleh tangan kita sendiri. Kalau ada cinta yang paling agung setelah cinta kita kepada Tuhan, mungkin cinta itulah: cinta kepada tanah air. Sebab tanah air bukan sekadar tanah dan gunung, bukan sekadar laut dan langit, melainkan saksi doa-doa nenek moyang yang telah terpatri di setiap butir pasir, di setiap tetes hujan, di setiap sungai yang mengalir.

Cinta tanah air adalah bagian dari iman. Meski hadisnya diperdebatkan, maknanya nyata dalam hidup kita. Al-Qur’an pun mengajarkan doa Nabi Ibrahim: “Rabbi aj‘al hādhā baladan āmīnan…” (Ya Tuhanku, jadikan negeri ini negeri yang aman) (QS. al-Baqarah: 126). Itulah bukti bahwa mencintai tanah air adalah doa para nabi. Dan September selalu datang untuk mengingatkan: jangan pernah sia-siakan cinta itu. Jangan ulangi pengkhianatan. Jangan biarkan ambisi mengalahkan persaudaraan. Sebab Tuhan sudah mengingatkan: “Wa lā tanāza‘ū fatafshalū wa taż-haba rīḥukum” (Janganlah kalian berselisih, sebab kalian akan gagal dan hilang kekuatan kalian) (QS. al-Anfal: 46).

Maka cinta tanah air bukanlah pilihan, ia adalah Amanah, di dalamnya ada janji kepada Tuhan, ada warisan doa para leluhur, ada tanggung jawab agar darah tidak kembali tumpah. Tanah air adalah rahmat. Tanah air adalah Amanah, dan kita, dengan segala kelemahan kita, hanya dipanggil untuk satu hal: jangan pernah mengkhianati cinta itu.

Penulis ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi