SUDAH menjadi rahasia umum bahwa keberadaan pusat perbelanjaan merupakan salah satu faktor penunjang kunjungan wisatawan ke suatu daerah. Sebab, selain ingin menikmati keindahan alam, berwisata sejarah, wisata religi, atau lain sebagainya, wisata belanja juga cukup diminati kalangan wisatawan.
Khususnya wisatawan kelas menengah ke atas. Nah, di tengah perkembangan sektor pariwisata di Banyuwangi, pihak eksekutif dan legislatif kini tengah membahas rancangan peraturan daerah (raperda) perubahan Perda Nomor 11 Tahun 2014 tentang ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Salah satu klausul dalam raperda tersebut mengatur perizinan pendirian toko modern baru di Bumi Blambangan. Sempat terjadi tarik ulur antara pihak eksekutif dan legislatif. Pihak legislatif awalnya menginginkan “keran” pendirian toko modern baru di Banyuwangi tetap ditutup.
Kalangan dewan khawatir, pendirian toko modern baru akan mematikan pasar tradisional dan pedagang kecil. Di sisi lain, pihak eksekutif mengingi nkan pembukaan toko modern tersebut diberi ruang, ta pi dengan persyaratan tertentu.
Sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi di antaranya, toko modern baru tersebut harus terintegrasi dengan sarana publik lain, luas lahan minimal 1,5 hektare (Ha), dan berjarak minimal empat kilometer (km) dari pasar tradisional.
Namun, belakangan eksekutif dan legislatif berhasil mencapai kata sepakat. Keran pendirian toko modern dibuka dengan persyaratan-persyaratan tertentu seperti masukan eksekutif. Selain itu, kalangan wakil rakyat berencana menambah klausul toko modern baru harus bekerja sama dan menjual produk-produk hasil industri kecil menengah (IKM) dan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) lokal.
Sebagai wartawan bidang politik dan pemerintahan, saya memanfaatkan kesempatan mendampingi ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) yang tengah mengunjungi Malaysia untuk melihat langsung sepak terjang grup kesenian jaranan buto kebanggaan Ikatan Keluarga Banyuwangi (Ikawangi), yakni Sekar Wangi, untuk melakukan “studi banding” ke pasar seni berkonsep tradisional serta salah satu toko modern di Negeri Jiran tersebut.
Pilihan saya jatuh pada Suria Kuala Lumpur City Centre (KLCC) Sabtu lalu (7/5). Hasilnya, dalam hati saya berkata, “pilihan eksekutif dan legislatif yang memberikan peluang pendirian toko modern baru di Banyuwangi cukup tepat”.
Sebab, kedua “jenis” pasar tersebut sama-sama ramai pembeli. Layaknya pasar tradisional di Banyuwangi, proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli mewarnai aktivitas jual-beli di pasar seni yang berlokasi di Kuala Lumpur tersebut.
Saya pun mencoba membeli gantungan kunci dengan proses tawar-menawar itu. Pada penawaran awal, sang penjual mematok harga satu set gantungan kunci berisi enam pieces seharga 12 RM (ringgit Malaysia). Namun, setelah melakukan tawar-menawar cukup alot, sag penjual bersedia melepas barang kerajinan tersebut seharga 7 RM per set atau setara Rp 24.150.
Cukup murah, bukan. Selain berbelanja di pusat seni, saya juga menyempatkan diri mengunjungi Suria KLCC. Kompleks mal lima lantai yang berlokasi di bawah menara kembar Petronas itu terintegrasi dengan berbagai sarana publik, mulai kolam, taman bermain, joging track, restoran, hingga pusat peragaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang ditekankan pada aspek industri minyak Malaysia, yakni Petrosains.
Saat itu saya melihat ribuan orang berada dalam Suria KLCC, mulai bule, orang Melayu, orang Arab, Asia Selatan, Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara, sibuk berbelanja. Bukan hanya itu, saya juga melihat langsung sejumlah siswa antre untuk mema suki pusat peragaan IPTEK Petrosains.
“Jadi, Suria KLCC ini bukan hanya jadi tujuan wisata belanja wisatawan asing dan warga lokal, tapi juga dimanfaatkan pelajar untuk belajar IPTEK,” kata Umar,mahasiswa program S-3 di University Islam Antarabangsa (UIA) asal Sumenep, Madura. Bagaimana menurut Anda? (radar)