Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Tradisi Ramai-ramai Menombak Harimau yang Tersohor di Blitar Abad 19

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Detik.com



Surabaya

Tradisi menombak harimau beramai-ramai di Blitar pernah tersohor pada abad 19. Tradisi ini bernama Rampogan Macan. Diyakini, hal ini sebagai aksi tolak bala agar wilayah Blitar aman dari wabah dan erupsi Gunung Kelud.

Pemerhati sejarah dan situs purbakala asli Blitar, Ferry Riyandika mengatakan, dalam buku yang ditulis R Kartawibawa, ritual Rampogan Macan mulai digelar di Blitar pada 1880.

Dalam kutipan buku ‘Bakdo Mawi Rampok’ yang ditulis R Kartawibawa, “Menjelang djam 11.00 pagi, Yang Mulia Kandjeng Bupati Warso Koesomo, Patih Djojodigdo dan Mantri Kabupaten Blitar masuk barisan. Bupati naik kuda Dawuk memutari barisan, demikian juga Patih Djojodigdo naik kuda putih jantan (ini disebut Kitter)”.

Buku ini diterbitkan Balai Pustaka (Bale-Poestaka) pada tahun 1923, dipindai oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Djoko Luknanto dan diunggah di situs staff UGM.

Kutipan itu merupakan kesaksian R Kartawibawa melihat sendiri tradisi Rampogan Macan yang digelar di tengah Alun-alun Blitar. Tradisi yang digelar rutin pada hari ke tujuh usai Lebaran atau Lebaran Kupat ini selalu dinanti-nanti warga.

Salah satu dokumen gambar menceritakan, tampak harimau dilepas dari kerangkengnya dan siap dijadikan kurban. Ada yang ditombak beramai-ramai. Bahkan ada manusia yang berani melawan seorang diri. Prajurit yang bisa mengalahkan harimau ini selain akan mendapat hadiah juga akan naik pangkat dan jabatannya

“Dalam legenda lain juga diceritakan, sebelum Rampokan Macan dimulai, Bupati Warso Koesomo akan melecutkan Pecut Samandiman. Ada mitos yang diyakini saat itu, dengan melecutkan Pecut Samandiman dan menggelar Rampogan Macam bisa menjadi tolak bala dan terhindarnya Blitar dari wabah dan erupsi Gunung Kelud,” jelas Ferry dalam wawancara dengan detikJatim pada 14 Maret 2021.

Dalam Bukunya Kartawibawa menggambarkan, ribuan pria yang memegang tombak mengitari alun-alun membentuk barikade. Dalam pertunjukan tersebut orang-orang beradu nyali memamerkan kehebatan dan keampuhan tombak atau senjata pusaka masing-masing. Di tengah, kandang-kandang yang kelewat sempit untuk harimau kemudian dibuka.

Harimau itu dipaksa untuk menghadapi tajamnya tombak-tombak masyarakat. Satu harimau versus ribuan pria bersenjatakan tombak. Supaya harimau itu keluar dari kandangnya dan berlarian menerjang barikade tombak, maka massa di alun-alun bersorak.

Bila harimau masih diam saja, biasanya mercon besar dinyalakan atau ada orang yang memancing dengan senjata agar harimau itu mengamuk di alun-alun.

Harimau yang kebingungan mencoba menerjang barikade orang-orang yang memegang tombak. Bagaikan sapu lidi, tombak-tombak tajam yang diarahkan membuat tubuh dan kepala harimau terluka dan membuat harimau berlari ke sisi barikade yang lain. Begitu seterusnya harimau yang kebingungan akan mati kehabisan darah atau diam di tengah menunggu ribuan tombak mengoyak badannya sampai mati.

Tradisi ini berawal dari keresahan pemerintahan dengan keluhan masyarakat Blitar Selatan akan serangan harimau yang memangsa ternak (rojo koyo) milik mereka.

Sebagaimana namanya, harimau Jawa merupakan karnivora terbesar yang pernah menjadi penghuni Pulau Jawa. Dalam persebarannya, hewan ini pernah ditemukan di Jampang Kulon, Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Pangrango, Yogyakarta, Probolinggo, Blitar, Banyuwangi, Tulungagung, hingga Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

“Pada setelah tahun 1860 itu memang ada pembangunan pabrik gula di kawasan Panggungrejo dan penebangan pohon jati diubah menjadi lahan tebu di kawasan Gunung Betet Lodoyo. Padahal daerah itu merupakan habitat harimau Jawa. Karena habitat harimau terusik, kemudian memangsa ternak warga,” kata Ferry.

Untuk mengatasinya, pemerintah kemudian menggelar sayembara. Siapa yang bisa membunuh atau menangkap harimau, akan dibayar sebesar 10-50 gulden. Sehingga mereka kemudian membuat acara Rampogan Macan, yang menjadi tradisi sejak abad ke-17 di wilayah kekuasaan Mataram. Yakni pada masa pemerintahan raja Amangkurat II.

Tahun 1783, dalam buku History of Java ditulis, berita Raffles mengatakan pertunjukan agung rampog oleh orang Jawa.

Di zaman Mataram, ada dua babak dalam tradisi ini. Babak pertama, banteng atau lembu melawan harimau. Dan babak kedua, antara kerumunan manusia berhadapan dengan harimau. Namun pada masa selanjutnya, babak pertama dihilangkan dan langsung digelar babak kedua.

“Istilah rampog atau rampak sendiri, dalam kamus Bahasa Jawa baru berarti menyerang dengan jumlah besar. Karena dalam Rampokan Macam ini memang harimau berhadapan dengan banyak orang yang memegang tombak atau senjata lainnya,” ungkap alumnus Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Malang (UM) ini.

Jatim Flashback adalah rubrik spesial detikJatim yang mengulas peristiwa-peristiwa di Jawa Timur serta menjadi perhatian besar pada masa lalu. Jatim Flashback diharapkan bisa memutar kembali memori pembaca setia detikJatim. Jatim Flashback tayang setiap hari Sabtu. Ingin mencari artikel-artikel lain di rubrik Jatim Flashback? Klik di sini.

Simak Video “Melihat Tradisi Bukakak Desa di Bali
[Gambas:Video 20detik]
(dte/dte)

source