Banyuwangi, Jurnalnews.com – Festival Ngopi Sepuluh Ewu kembali mengukuhkan Banyuwangi sebagai daerah kaya budaya dan kompak menjaga tradisi lintas generasi. Lewat secangkir kopi, warga dan pemimpin daerah bersatu dalam nuansa hangat kebersamaan. Festival Ngopi Sepuluh Ewu, yang diadakan di Desa Adat Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, pada malam Sabtu, 08 November 2025, kembali berhasil mengundang ribuan pengunjung. Acara ini telah mencapai tahun ke-12 penyelenggaraannya dan terus menjadi sorotan para pecinta kopi Banyuwangi.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu merupakan salah satu perayaan tahunan yang diadakan secara konsisten setiap tahunnya. Tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan dan melestarikan tradisi minum kopi lokal sambil mempromosikan produk kopi setempat. Festival ini menghadirkan berbagai hiburan seni daerah, tari, pertunjukan seni barong Tresno Budoyo
Acara turut dihadiri Bupati Banyuwangi Hj. Ipuk Fiestiandani, S.Pd., M.KP., Kapolresta Banyuwangi Kombes Pol Rama Samtama Putra, S.I.K., M.Si., M.H., Dandim 0825 Letkol (Arm) Triyadi Indra Wijaya, serta tokoh masyarakat dan stakeholder terkait.
Kegiatan dibuka dengan doa bersama, kemudian dilanjutkan penampilan Tari Cunduk Menur yang mencerminkan kekayaan budaya Using. Kepala Desa Kemiren dalam sambutannya menegaskan bahwa Ngopi Sepuluh Ewu merupakan simbol jati diri warga Using yang harus dijaga kelestariannya.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani , hadir dalam acara ini memberikan apresiasi atas keberlangsungan Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang telah dimulai sejak tahun 2013.
“Festival ini bukan sekadar menikmati kopi. Ini tentang merawat nilai kebersamaan, gotong royong, dan kearifan lokal, sekaligus menggerakkan ekonomi desa,” kata Ipuk.
Ia menyatakan bahwa festival ini merupakan salah satu upaya untuk menggali potensi yang ada di Desa Adat Kemiren.
“Ngopi merupakan aktivitas sehari-hari warga Kemiren. Melalui Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang sekarang satu dekade ini merupakan bagian dari atraksi yang bisa dinikmati oleh wisatawan,” tambah Ipuk
Dalam penyelenggaran festival ini, berbagai pihak terlibat, mulai dari petani penghasil kopi dan pemasak kopi hingga para penikmat kopi, termasuk pejabat dan beragam lapisan masyarakat.
Pembukaan resmi ditandai dengan minum kopi bersama Bupati, Kapolresta, Dandim, tokoh masyarakat , tamu mancanegara dan warga yang memadati jalan desa Kemiren Kecamatan Glagah Banyuwangi . Momen ini menjadi simbol sinergi antara pemerintah daerah, aparat keamanan, dan masyarakat.
Kapolresta Banyuwangi Kombes Pol Rama Samtama Putra, S.I.K., M.Si., M.H., mengatakan pihaknya mendukung penuh terlaksananya kegiatan budaya masyarakat.
“Polresta Banyuwangi memastikan keamanan dan kelancaran acara agar warga bisa menikmati festival dengan aman dan tertib,” ujarnya.
Setelah prosesi pembukaan, Forkopimda berkeliling menyapa warga serta pelaku UMKM yang menjajakan kopi Using, tape ketan, dan berbagai jajanan tradisional.
Sesepuh Adat Desa Kemiren, Suhaimi, menjelaskan bagaimana warga Kemiren menjalankan falsafah lungguh, suguh, dan gupuh dalam tata cara mereka dalam menghormati tamu. Festival Ngopi Sepuluh Ewu sendiri merupakan manifestasi nyata dari nilai-nilai tersebut.
Lungguh, seperti yang diuraikan oleh Suhaimi, mengacu pada persiapan tempat yang dilakukan oleh warga. Suguh adalah tentang bagaimana mereka dengan tulus menyajikan hidangan kepada tamu yang datang. Sedangkan gupuh menandakan kesigapan dan keramahan tuan rumah dalam menyambut tamu mereka.
“Kami menyediakan tempat duduk yang melingkupi teras warga sebagai bagian dari lungguh. Kami juga meracik kopi dan menyuguhkan berbagai jajanan tradisional sebagai wujud suguh. Selain itu, kami berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik sebagai bentuk gupuh kami kepada semua tamu yang datang.” Jelasnya.
Kehadiran ribuan tamu wisatawan disambut dengan harapan besar oleh Dariharto, pemilik Jenneg Homestay, yang menginginkan bahwa mereka dapat menjadi sebagian dari komunitas warga Kemiren.
Sak Corotan Dadi Seduluran” (Sekali Corotan Menjadi Persaudaraan Selamanya), festival ini dimulai Sabtu malam pukul 19.00 WIB hingga larut malam, mempertemukan warga dalam suasana keakraban dan kebersamaan.
Kegiatan ini menjadi simbol persatuan di Banyuwangi, dengan secangkir kopi cingkir sebagai ikon kebudayaan lokal yang mengundang kehangatan.
Selain menikmati kopi, para hadirin juga disuguhkan hiburan musik tradisional, memperkuat ikatan kebersamaan dan kecintaan pada budaya Banyuwangi.
“Dengan berkumpul dan menikmati kopi bersama di sini, kami berharap bahwa mereka akan menjadi saudara. Kami hidup dengan semboyan ‘Sak Corotan Dadi Sakduluran,’ yang berarti ‘Menyeduh Bersama maka Kita Bersaudara, ” ungkap Dariharto.
Lebih lanjut, Dariharto menambahkan, “Acara ini merupakan cara kami untuk mengundang orang-orang datang ke Kemiren. Sebagai sebuah desa wisata, kedatangan para tamu ke Kemiren sangat penting untuk mendukung pertumbuhan sektor ekonomi kreatif di sini, mulai dari kuliner, batik, seni pertunjukan, hingga layanan penginapan,” pungkasnya.(Ilham T)








