Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Sumur Bor Rusak, Rela Jalan Kaki Sejauh 5 Km

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Purwati, 45, membawa jeriken berisi air bersih yang dibagikan BPBD di Dusun Dusun Karangrejo Selatan, Desa/Kecamatan Wongorejo, kemarin (5/9).

CUACA matahari sangat terik menyengat. Tanpa terasa keringat mulai bercucuran. Empasan angin membawa butiran debu yang cukup menganggu penglihatan. Seorang wanita paruh baya dengan  penuh perjuangan memanggul jeriken di bahu kirinya. Tangan kanannya dengan kuat memegang bagian atas jeriken.

Langkah kaki perempuan itu  tetap tegap, meski harus menahan beban berat jeriken berisi air  bersih. Napasnya mulai tersengal- sengal, cucuran air yang keluar dari mulut jeriken membasahi  bagian bahu hingga dada ibu   tiga anak itu.

Dengan tekad dan penuh semangat, wanita tersebut tetap melanjutkan perjalanan membawa jeriken menuju rumah saudaranya untuk sekadar melepas  lelah. Perempuan paruh baya itu adalah Purwati.

Sejak 20 hari   terakhir, dia bersama empat  anggota keluarganya yang tinggal di Dusun Karangrejo Selatan, Desa/Kecamatan Wong sorejo harus  tetap bertahan menyambung hidup di tengah sulitnya mendapatkan suplai air bersih.

Maklum, suplai air bersih di dusun tempat tinggalnya mampet setelah sumur bor yang biasa menyuplai air bersih mengalami kerusakan pada bagian mesin pompa. Sejak itu pula, Purwati harus pontang-panting mendapatkan air bersih.

Sebab, di kampung yang berpenghuni 508 kepala keluarga (KK) itu semuanya bergantung dari mata air satu-satunya, yakni sumur bor. “Kawasan sini daerahya tandus, sumur biasa tidak bisa. Harus pakai sumur bor,” ujar Purwati.

Warga yang memiliki sumur bor juga jarang, bahkan dalam satu RT pun tidak ada. Karena biaya untuk mempunyai sumur bor juga tidak murah. Sementara penghasilan warga hanya bergantung dari ladang tadah hujan yang ditanami jagung atau cabai rawit serta ternak sapi.

Hanya ada dua sumur bor, yakni milik PT. Randu Mas dan yang dikelola Hippam (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum). Sementara itu, untuk kehidupan sehari-hari warga hanya bergantung pada sumur bor yang di bangun oleh pemerintah dan dikelola oleh Hippam.

Air sumur bor tersebut telah disalurkan melalui instalasi ke rumah penduduk, tempat ibadah (musala) dan sekolah. “Kalau sumur bor satu-satunya rusak, tidak usah menunggu musim kemarau pasti  warga kerepotan,” jelasnya.

Apalagi jika saat musim kemarau seperti saat ini, warga sangat  mem butuhkan air bersih. Pasalnya, selain untuk kebutuhan pokok makan dan minum sehari-hari, warga juga harus memberikan pakan dan minum ternak.

Sejak kesulitan air bersih, warga harus rela “turun gunung” menempuh perjalanan sejauh lima kilometer ke arah Desa Wongsorejo. Meski letak geografis Dusun  Karangrejo Selatan dan Karangrejo Utara di kawasan perbukitan, namun keberadaan mata air  sebagai suplai air bersih sangat minim. Pasalnya, kawasan  perbukitan tandus dan kering.

Tak ada pepohonan rindang seperti di kawasan perbukitan Kecamatan Kalipuro ataupun daerah Kecamatan Songgon. Aktivitas warga mencari air  bersih biasanya dilakukan pada sore hari selepas bekerja sebagai buruh tani dan berkebun.

Sebagian juga di pagi hari. Warga membawa jeriken menggunakan sepeda motor protolan melintasi medan jalan makadam, berdebu di tengah lahan perkebunan  kapuk, dan sengon. “Dari dulu medan jalannya sangat sulit. Jika jalannya kering berdebu, tapi  jika turun hujan malah ndak bisa lewat. Selain becek, permukaan ban motor penuh dengan lumpur  dan sangat licin,” jelas istri Admadi itu.

Purwati harus rela berjalan kaki memanggul jeriken berisi air menuju rumahnya seorang diri, jaraknya juga tidak dekat. Jarak  dari rumah menuju titik pembagian air bersih yang didistribusikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hampir sekitar satu kilometer.

Dengan penuh kesabaran dia rela memanggul jeriken berisi air bersih satu-persatu ke rumahnya. Hal itu dilakukan, karena suaminya Admadi tengah menjalankan ibadah haji dan baru   pulang 18 September mendatang.

Air jatah yang dibagikan oleh BPBD tersebut merupakan air layak konsumsi, karena diantar menggunakan tangki milik perusahaan daerah air minum (PDAM). Dengan pertimbangan pemerataan, maka setiap keluarga dibatasi, yakni tiga hingga empat jeriken berukuran 30 liter saja.

Air empat jeriken tersebut benar-benar harus dihemat, sampai ada pembagian pendistribusian air bersih lagi oleh BPBD  sampai menunggu mesin pompa sumur bor tuntas diperbaiki.  “Kalau empat jeriken ya tidak  cukup,” ujarnya.

Agar bisa mengatur air sebanyak  tiga jeriken itu, dia harus benar-benar menghemat. Yang terpenting baginya masih cukup untuk kebutuhan dasar pokok makan dan minum. Untuk kebutuhan  mandi, cuci pakaian dan cuci  piring harus dilakukan sehemat  mungkin.

“Kalau airnya tidak ada, sehari kadang tidak mandi. Paling hanya pagi gosok gigi dan basuh muka,” imbuhnya. Hal senada diungkapkan Sholihin warga lainnya. Karena keter batasan air bersih, d ia harus  bekerja ekstra untuk bisa memanfaatkan air agar tidak terbuang percuma.

Salah satunya dengan menampung kembali air sisa cuci piring dan mandi  untuk minum ternak. “Jadi air  bekas bilas piring dan mandi yang tidak ada sabunnya, kita  tampung kembali untuk diberikan  minum ternak sapi,” ungkapnya.

Air yang dibagikan BPBD tersebut khusus untuk komsumsi. Sementara untuk kebutuhan mandi cuci kakus (MCK) menunggu pembagian air dari perusahaan PT. Randu Mas yang ikut membantu membagikan air pada warga.

“Yang paling susah, tandon milik musala juga ikut kering karena tidak ada air.  Jadi untuk wuldu saja juga kesulitan,” tandasnya. (radar)