Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Daftar Usia 13 Tahun, Bayar ONH dari Hasil Panen Cabai

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Fandaratsani Tsaqif Ibrahim (kanan) bersama ibunya Sundari, (kiri) menunjukkan bukti surat pendaftaran pergi haji (SPPH), di rumahnya kemarin (31-7)

RUMAHNYA berada di tengah perkampungan, tak jauh dari jalan raya Giri tepatnya di barat Masjid Baitul Ma`wa Jalan Akasia RT 01/ RW 02, Kelurahan/Kecamatan Giri. Gang menuju rumah itu cukup lebar, cukup untuk seukuran mobil.

Untuk rumah di tengah kampung, kediaman keluarga Sugeng Fadjar Harijanto tergolong besar. Suasananya begitu sepi, karena lokasinya dekat dengan kawasan kebun dan persawahan.

Bagian depan rumah itu terdapat peralatan bayi, karena bagian teras depan dan samping rumah itu digunakan untuk kegiatan baby spa. Seorang ibu menyambut dengan ramah dan senyum manis sembari mempersilakan masuk dan duduk di ruang tamu.

Seorang lelaki muda juga keluar dari ruang keluarga dan menghampiri sambil bersalaman dan mengucapkan salam. Lelaki muda itu tak lain adalah Fandaratsani Tsaqif Ibrahim, putra kedua dari pasangan suami istri H. Sugeng Fadjar Harijanto, 51, dan Hj. Sundari, 47.

Penampilan lelaki muda itu cukup rapi dan sopan. Maklum pria kelahiran Banyuwangi 21 Mei 1997 itu masih menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran di Universitas islam Malang. Raut wajahnya begitu berbinar, menunjukkan kebahagiaannya akan berangkat menuju tanah haram.

“Saya sangat bahagia, karena bisa menunaikan ibadah haji sekeluarga,” ujar Ibrahim. Momentum berkumpul keluarga di tanah suci mungkin adalah menjadi impian setiap muslim. Dia bersama kakaknya, Fandaruzzahra Putri Perdani, 23, berkesempatan berangkat menunaikan ibadah haji dalam rangka menyempurnakan rukun Islam tersebut di usai yang masih cukup belia.

Apalagi, impian pergi ke Baitullah itu adalah impiannya sejak kecil, tepatnya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Kesempatan naik haji tersebut merupakan kado yang paling indah, dan akan menjadi momentum tak terlupakan sepanjang perjalanan hidupnya.

Maklum, sejak berusia lima tahun, dia bersama kakaknya Fandaruzzahra Putri Perdani sudah dibesarkan di lingkungan pondok pesantren yakni di Pondok Pesantren Lirboyo hingga dia berusia 10 tahun.

“Kalau kakak saya sampai SMA di Pondok Lirboyo, karena kakak pulang, saya pun ikut pulang dan meneruskan sekolah sambil mondok di SD Unggulan Habibullah,” katanya. Karena besar di lingkungan pondok pesantren itulah, semangat untuk menunaikan rukun Islam semakin kuat.

Semangat belajar Puput panggilan akrab Fandaruzzahra Putri Perdani dan Ibrahim saat berada di pondok pesantnen juga sangat gigih. “Kedua anak saya usia lima tahun sudah minta mondok (menimba ilmu dl pondok pesantren),” cetus Sundari.

Melihat ketekunan kedua anaknya selama di Pondok Pesantren itulah, dia bersama suaminya memutuskan untuk memberikan hadiah ketika mereka sudah dewasa kelak, yakni hadiah berupa ibadah haji.

Keyakinan untuk pergi haji bersama kedua anaknya itu semakin kuat setelah sepulang menunaikan haji di tahun 2006 lalu. Puncaknya pada tahun 2010 lalu, dia diberikan kelapangan rezeki dan langsung mendaftarkan haji kedua anaknya di kantor kementerian agama.

Kala itu, Ibrahim masih berusia 13 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Meski belum cukup umur, setelah dikonsultasikan ke Kantor Kementerian Agama, ternyata diperbolehkan dan seketika itu langsung melakukan pembayaran surat pendaftaran pergi haji (SPPH).

Untuk membayar biaya pendaftaran haji empat orang sekaligus ketika itu butuh biaya Rp. 80 juta. Untuk mendapatkan uang sebanyak itu, juga atas izin Allah Karena salah satu doa yang dipanjatkan saat berhaji di tahun 2006 lalu adalah bisa kembali ke Tanah Suci dengan kedua putranya.

Impian itu pun terkabul, setelah lahan sawah pertaniannya yang ditanami lombok mendapatkan panen dan untung besar. “Jadi untuk daftar haji sekeluarga ini hasil dari panen cabai, rezeki ini tidak pernah kami sangka sebelumnya,” terang perempuan yang berdinas di RSUD Blambangan ini.

Musim haji tahun ini juga akan menjadi catatan sejarah yang terlupakan baginya. Karena sejak usia lima tahun dia nyaris tidak pernah bertemu dengan kedua buah hatinya. Dalam setahun, dia hanya dua kali bisa bercengkrama dengan kedua putranya, yakni saat libur Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya, kedua putranya itu berada di lingkungan pondok pesantren.

“Kami sangat bersyukur, karena bisa berkumpul dengan keluarga di tanah suci,” cetusnya. Sepulang menunaikan ibadah haji tahun 2006, dan pasca mendaftar haji di tahun 2010, segala urusan seolah di beri kemudahan dan diberi kelancaran, termasuk saat itu ketika kedua anaknya masuk kuliah di fakultas kedokteran bersamaan dengan putrinya yang akan melangsungkan pernikahan.

“Intinya, kata suami saya itu jika untuk urusan kebaikan jangan terlalu banyak dipikir, langsung dilakukan saja. Allah yang akan mengatur,” bebernya. Keberangkatan haji tahun ini juga dinilai sebuah skenario Allah yang luar biasa.

Karena sesuai jadwal mestinya dia bersama keluarga berangkat haji tahun 2016 lalu. Namun, ternyata Allah berkehendak lain dan baru berangkat tahun 2017 ini. Hikmahnya adalah, saat ini putranya ibrahim yang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang tengah libur semester sampai sepulangnya menunaikan ibadah haji.

“Alhamdulillah, segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah. Segala urusan kami mau berangkat haji semuanya diberi kemudahan dan dilancarkan,” tandas ibu dua anak ini. (radar)