Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Karya Mpu Joko Suro yang Dibuat dengan Pijatan Jempol

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

keris-suro-karya-mpu-joko-suro-yang-dibuat-dengan-pijatan-jempol

PENDAPA kantor Kecamatan Rogojampi terlihat ada yang berbeda kemarin (20/10). Sejumlah pegawai dan warga terlihat serius memperhatikan sejumlah keris yang berjejer di meja. Dari bentuknya, keris itu sepertinya sudah berumur tua.

Puluhan keris di pendapa itu dibawa seorang kolektor bernama KRT. H. Ilham Trihadinagoroasal Desa Paspan, Kecamatan Glagah. Kebetulan,  staf pengajar di SMPN 2 Rogojampi itu sedang menggelar pameran selama tiga hari. Dari puluhan benda pusaka yang dipamerkan   itu, salah satu di antaranya pusaka yang sudah berumur tua.

Pusaka itu berupa keris yang  dibuat Mpu Joko Suro yang cukup termasyhur di Kerajaan Blambangan pada abad ke-16. Benda pusaka yang diberi nama keris suro itu hingga kini masih terawat di tangan KRT. H. Ilham Trihadinagoro. “Keris ini diperikirakan dibuat pada abad 16, dan keris tertua di Blambangan,” kata KRT. H. Ilham Trihadinagoro.

Sejarah pembuatan keris suro itu tak lepas dari sejarah pencarian keris sengkelat karya Mpu Supo Madrangki. Saat itu Mpu Supo Madrangi  merupakan seorang mpu terpandai pada zamannya. Mpu Supo Madrangi itu, terang dia, suami Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga.

Mpu Supo adalah seorang empu (ahli keris) Kerajaan Majapahit yang hidup di sekitar abad 15.  Karya-karyanya yang termasyhur, antara lain keris kiai nagasasra, kiai engkelat, dan kiai carubuk.  Suatu hari Mpu Supo itu bertanya kepada kakak iparnya, Sunan Kalijaga, harus kemana mencari pusaka kiai sengkelat (artinya bersemu merah) buatannya yang hilang di gedung  pusaka Keraton Majapahit.

Sunan Kalijaga  tak mau memberi petunjuk, tapi hanya menyarankan mencari ke arah timur.  Dalam pencarian itu, Mpu Supo sampai di daerah Tuban dan membuka besalen sambil mencari informasi keberadaan keris kiai sengkelat. Setelah sekian lama membuat padepokan keris di Tuban, Mpu Supo meneruskan pencarian ke arah timur dan akhirnya menetap di wilayah Blambangan (sekarang Banyuwangi).

Setiba di Bumi Blambangan, Mpu Supo membuat besalen di atas perahu. Itu menarik perhatian banyak orang, termasuk pengusaha Blambangan, Mpu Pitrang, yang saat itu tinggal di sekitar Sembulungan, Muncar. Di Blambangan itu Mpu Supo membuat duplikat keris kiai sengkelat sebanyak dua buah.

Dari dua duplikat itu, satu di antaranya diserahkan kepada raja Blambangan dan yang satu disimpan. Setelah  sekian lama Mpu Supo berada di Blambangan, akhirnya dia berkeinginan kembali ke Majapahit  sambil membawa keris kiai sengkelat yang hilang.

Singkat cerita, Mpu Pitrang yang juga murid Mpu  Supo menyampaikan kepada istrinya, Dewi Roro Upas, salah satu putri Kerajaan Blambangan bahwa  dirinya diminta gurunya mencari keris sengkelat.  Saat itu Dewi Upas sedang mengandung.

Sebelum pergi, Mpu Pitrang menyerahkan besi untuk bahan keris kepada istrinya sembari berkata jika putranya lahir disuruh memberi nama Joko Suro. Setelah dewasa, dia diminta mencarinya ke Kerajaan Majapahit sambil membawa bukti berupa  besi yang diberikan tersebut.

Ketika beranjak dewasa, Joko Suro diminta menemui ayahnya di Kerajaan Majapahit dengan membawa besi peninggalan ayahnya. Besi yang dibawa itu selama di  perjalanan dipijat (ditekan) dengan tangan. Dalam perjalanan, besi itu berubah menjadi keris dan diberi nama keris suro.

“Pada permukaan keris masih ada bekas  pijatan empat jari,” jelas KRT. H. Ilham Trihadinagoro. Selain keris suro, Ilham juga masih memiliki berbagai  koleksi keris dan benda pusaka lain. Namun, dari sekian benda pusaka yang dikoleksi itu, yang paling  memiliki nilai historis kuat di Blambangan adalah keris suro.

Ilham rutin melakukan perawatan setiap tahun dengan melakukan jamasan. Setiap bulan Suro Ilham juga menyelenggarakan  pameran pusaka, jamasan pusaka, ruwatan pusaka, dan konsultasi perawatan pusaka di Banyuwangi.

Tidak hanya terpusat di satu tempat, dia berkeliling hingga di kecamatan-kecamatan. Pameran keliling, jamasan pusaka, ruwatan pusaka, dan konsultasi perawatan pusaka, itu untuk  mengenalkan benda pusaka kepada generasi muda.

“Saya rutin gelar pameran setiap Suro sebagai bentuk  pelestarian benda pusaka. Apalagi keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya dunia sejak 2005,” pungkasnya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :