Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Kebangkitan Perguruan Tinggi Maritim Swasta Banyuwangi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

UNDANG-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah telah membawa era baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan segala implikasi antara beberapa pihak. Ada baiknya kita cermati kembali karakteristik yang menonjol dari kebijaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diantarkan melalui UU ini.

Yang pertama adalah mewujudkan demokrasi dan demokratisasi pemerintahan daerah, yang diinisiasi dengan rekrutmen politik pada tingkat lokal, yang dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Kedua, mewujudkan otonomi luas dan nyata. Asumsinya bahwa pada saatnya daerah mempunyai kewenangan yang mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan. Kecuali bidang politik dan hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, sistem peradilan, kebijaksanaan moneter, keagamaan, dan kewenangan lain yang bersifat spesifik.

Misalnya, perencanaan nasional yang bersifat makro, perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, standarisasi nasional, konversi, dan pengembangan teknologi tinggi. Daerah provinsi memiliki kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Sementara kabupaten dan kota akan memiliki kewenangan yang sifatnya wajib, yaitu sebelas macam urusan. Seperti yang menyangkut masalah pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Daerah juga dapat menambahnya sesuai kebutuhan, manfaat, serta dukungan sumber daya yang memilikinya.

Kebijaksanaan otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintah menghendaki agar pemerintah berada sedekat-dekatnya dengan rakyat. Selain dalam rangka optimalisasi pelayanan, juga diharapkan dapat membuka akses yang luas bagi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Kebijaksanaan itu juga berkeyakinan bahwa yang diberikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan sistem desentralisasi harus disertai sumber pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusianya. Oleh karena itu, daerah tidak akan dibiarkan sendiri, tanpa bantuan dukungan i nansial dan bantuan lainnya dari pemerintah.

Di samping itu, kebijaksanaan tersebut juga membalikkan cara pandang lama, yang selalu menekankan bahwa otonomi harus dikaitkan dengan kapasitas keuangan daerah. Kebijaksanaan otonomi daerah yang sedang dijalankan, sesuai dengan semangat untuk melaksanakan demokratisasi, yang akan memberikan peluang yang sangat besar bagi penguatan fungsi lembaga legislasi
daerah. Karakteristik itu dikedepankan dalam upaya mengingatkan kembali agar implementasi otonomi daerah tidak melenceng dari filosofi yang sebenarnya.

Implementasi kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengandung konsekuensi logis terhadap perubahan paradigma tata pemerintahan. Paradigma good governance diyakini merupakan pilihan yang tak terhindarkan. Paradigma ini dianut sebagai jawaban atas tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat serta respons terhadap fenomena globalisasi. Dalam pandangan paradigma ini, institusi governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Ketiganya saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.

Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif. Sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan. Sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik.
Termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Negara sebagai suatu unsur governance, di dalamnya termasuk lembaga-lembaga politik sektor publik. Sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dan sektor informal lain di pasar.

Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian masyarakat. Namun demikian, sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat, karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial, politik dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri. Sedangkan masyarakat terdiri dari individual maupun kelompok– baik yang terorganisasi maupun tidak–yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi, dengan aturan formal maupun tidak formal.

Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
UNDP memberikan dei nisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (society). Berdasar hal ini, UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance yang meliputi participation, rule of law, transparency. responsiveness, consensus orientation, equity, ef ectiveness and ei ciency, accountability, and strategic vision.

Sedangkan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang ei sien. Penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif.

Kemudian, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Dari karakteristik tersebut, dapat ditarik suatu benang merah terhadap peran besar, yang harus dimainkan masyarakat dan swasta dalam mewujudkan suatu kondisi good governance. Salah satu unsur yang diyakini dapat mengambil peran signifikan dalam upayaupaya pemberdayaan tiga domain good governance adalah institusi perguruan tinggi.

Sejak awal sejarahnya, perguruan tinggi merupakan tempat pertemuan berbagai orang dengan aneka latar belakang. Di lembaga tersebut, orang tanpa diskriminasi dapat belajar, mengadakan penelitian, dan mengomunikasikan gagasannya. Terjadilah berbagai lintas suku, agama, bahasa, budaya dan sebagainya. Nah, Akademi Kelautan Banyuwangi (Akaba) bisa menjembatani berbagai perbedaan. Fungsi sosial politik ini harus mewarnai proses-proses transformasi dalam kampus, melalui penciptaan suasana demokratis. Di dalam perguruan tinggi pulalah dikembangkan visi mengenai kebangsaan. Terlebih lagi di era global ini, perguruan tinggi tidak hanya merupakan wahana integrasi nasional, tetapi juga menjadi wahana persatuan bangsa manusia.

Namun demikian, kegiatan perguruan tinggi bukanlah netral dan value-free, melainkan memuat nilai-nilai moral. Dalam kaitan ini pula tampaknya perguruan tinggi di Indonesia harus merupakan ‘moral force’ dalam pembangunan bangsa. Kondisi optimal perguruan tinggi sebagaimana perkembangan terakhir menunjukkan keberdayaannya. Sebagai sebuah komunitas akademis, perguruan tinggi akan memiliki tanggung jawab besar terhadap berjalannya tata pemerintahan yang baik, guna mendukung implementasi kebijakan otonomi daerah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa naskah-naskah akademik dari berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan otonomi daerah, disiapkan oleh kalangan perguruan tinggi. Selain itu, perguruan tinggi juga diharapkan banyak terlibat dalam proses implementasi dan sekaligus evaluasinya. Peran perguruan tinggi ini tampaknya dapat dikembangkan melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang terdiri atas unsur pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat.

Sebagai pemegang dharma pendidikan dan pengajaran, perguruan tinggi diharapkan dapat mengantisipasi berbagai tuntutan akan besarnya kebutuhan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tinggi. Karena pada hakikatnya, otonomi daerah mensyaratkan adanya kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola dan memajukan potensi yang dimiliki oleh daerah.

Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki peran untuk menyiapkan materi-materi serta sistem yang sophisticated dalam proses pendidikan dan pengajaran, sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia daerah yang kompetensinya dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan.

Tetapi juga kematangan sikap dan semangat kerja yang berperspektif pembangunan. Dharma penelitian menuntut perguruan tinggi untuk secara terprogram dan berkelanjutan melakukan riset-riset. Hasilnya dapat dimanfaatkan oleh daerah untuk menemukan basis-basis pengembangan baru bagi daerahnya. Sekaligus akan melahirkan rekomendasi-rekomendasi akademik, baik bagi penyelenggara pemerintahan sebagai agen kebijakan publik maupun kepada masyarakat luas.

Sehingga kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh penyelenggara pemerintahan memiliki landasan yang logis dan merupakan kebutuhan empirik masyarakat. Akhirnya, dengan dharma pengabdian masyarakat, perguruan tinggi dapat bersama-sama dengan pemerintah melakukan capacity building untuk menyiapkan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia pembangunan daerah.

Dari upaya ini diharapkan terciptanya masyarakat yang memiliki mentalitas konstruktif, memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pengembangan local genius, komitmen pada pembangunan daerah, serta loyal terhadap semangat persatuan dan kesatuan. (kundofir @ radar)