NAMA acaranya cukup mentereng: Festival Kebangsaan. Digelar selama dua hari. Pada 15-16 November 2024. Di Gesibu (Gedung Seni dan Budaya) Blambangan Banyuwangi.
Acaranya terbagi dua. Hari pertama berupa gebyar kuliner. Menampilkan puluhan lapak kuliner khas suku dan etnik yang ada di Bumi Blambangan. Sekadar diketahui, Banyuwangi sering disebut sebagai miniatur Indonesia. Beragam suku dan entik hidup berdampingan di kota berjuluk The Sunrise of Java itu. Etnis Tionghoa, Arab, dan Eropa saling bertegur sapa. Sementara suku asli Banyuwangi (Oseng), hidup rukun bersama saudaranya dari suku Jawa, Bali, Mandar (Sulawesi), Kalimantan, Sumatera, Madura, Papua, Aceh, dlsb.
Puas menyantap ‘kuliner kebangsaan’, warga dan wisatawan ganti menikmati ‘pentas kebangsaan’. Esok malamnya. Pertunjukan khusus disiapkan oleh panitia. Menampilkan seratusan penari. Anak-anak dan remaja. Mereka menarikan tarian dari seluruh suku dan etnik di Kota Gandrung. Secara estafet campuran (medley relay). Seperti biasa, saat menari mereka diiringi musik yang dimainkan para panjak (penabuh gamelan) secara live. Bukan iringan rekaman. Seperti terlihat di banyak tempat. Di luar Banyuwangi.
Saat berada gebyar kuliner pengunjung bisa langsung menebak asal makanan dicipipinya dari tampilan lapaknya yang khas. Atau dari penampilan penjaga lapaknya dengan dandanan khas suku-etnisnya. Namun tidak demikian ketika menyaksikan persembahan tari kebangsaan pada malam berikutnya. Saat itu, ragam seni suku dan etnis di Banyuwangi ditampilkan. Tanpa terkecuali.
Tampilannya berupa tari sambung-bersambung. Dari satu suku ke suku yang lain. Dari etnis yang satu ke etnis yang lain. Tanpa jedah. Sebagian penonton kesulitan menebak. Gerangan kesenian dari mana yang sedang dipertunjukkan. Tersebab tidak familiar terhadap baju daerah yang membungkus tubuhnya. Mereka baru ngeh setelah salah satu anggota panjak menyebut muasal tarian yang sedang perform di panggung utama Gesibu Blambangan. Pada setiap pergantian penampil tariannya.
Wajar jika ada sebagian penonton tidak begitu mengenali asal tarian yang ditontonnya. Saya pun demikian. Pasalnya, musik etnik yang dimainkan plus kostum penarinya tidak didukung dengan sosok penarinya. Terutama wajahnya. Misal, ketika tiba penampilan seni dari etnis Arab yang ditandai musik berirama gambus yang khas, yang keluar adalah beberapa penari dengan wajah yang tidak Arab sama sekali. Mereka memang menarikan gerakan-gerakan jafin dengan apik, namun rasa Arabnya tetap kurang terasa. Gerakan maju-mundur dan memutar kakinya tidak seluwes gerakan penari etnis Arab asli.
Hal yang sama terjadi pada kesenian dari suku yang lain. Wajah penari yang menarikan tari Bali, Aceh, Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Madura sama sekali tidak tampak asli dari daerah asal tarian yang dimainkannya. Apalagi yang menarikan tarian Tionghoa. Mata mereka tidak ada sipit-sipitnya.
Fenomena itu memancing komen dari undangan. Ada yang nyeletuk begini: ‘’kostumnya Bali tapi awaknya kok Banyuwangi’’. Komen kritis itu tidak salah. Tapi benar seratus persen. Ternyata, memang, para penari yang menarikan tarian dari beberapa suku dan etnik adalah muda-mudi Banyuwangi semua. Bukan dari keluarga suku dan etnik yang tariannya dipanggungkan.
Sangat disayangkan.
Boleh jadi, hal itu terjadi karena panitia cari enaknya. Cukup serahkan kepada seorang koreografer, beres! Mungkin panitia tak cukup punya waktu untuk mengundang grup/sanggar kesenian dari semua suku dan etnis agar menampilkan tarian khasnya.
Ya, kalau benar pengin yang instan, hasilnya seperti yang terlihat di malam gebyar Festival Kebangsaan itu. Sebuah pertunjukan yang serba tanggung. Kelenturan dan ruh gerakan-gerakan anggota badan penarinya kurang mendukung tarian yang dibawakannya.
Tapi sebenarnya ada yang lebih urgen dimengerti. Mengundang sanggar tari dari seluruh suku dan etnis merupakan bentuk apresiasi kepada kehidupan seni suku dan etnis yang hidup di Banyuwangi. Mereka pasti punya girah melestraikan seni budayanya. Terutama tariannya. Nah, kesungguhan seperti itu patut diapresiasi. Kalau bukan pemerintah siapa siapa lagi yang melakukannya.
Mereka harus diberi panggung yang sama dengan suku asli Banyuwangi, Oseng. Tidak hanya di Festival Kebangsaan. Tapi juga di banyak event. Sebab, mereka bukan barang antik yang hanya layak disimpan dalam etalase bernama Banyuwangi. Kelompok seniman dari suku dan etnis selain Oseng semestinya juga dilibatkan sebagai pengisi acara-acara seni dan budaya di kota The Sunrise of Java.
Wa ba’du. Bila perbedaan adalah rahmat, maka keragaman seni dari sejumlah suku dan etnis di Banyuwangi merupakan berkah. Andai dikelola dengan maksimal, berkah itu bisa menambah nilai jual destinasi budaya Banyuwangi. Karenanya pemerintah harus hadir. Mengawin-silangkan seni-budaya dari suku dan etnis di luar Oseng dengan seni-budaya Oseng. (*)
Page 2
Kostum Bali Awak Banyuwangi
Rabu, 27 November 2024 | 10:33 WIB
Berkah Ganda ASMOPSS
Rabu, 20 November 2024 | 05:41 WIB
Pemilih Pokoke
Rabu, 13 November 2024 | 10:02 WIB
Nebeng Skybridge
Rabu, 6 November 2024 | 09:24 WIB
Catatan Tercecer Gandrung Sewu
Rabu, 30 Oktober 2024 | 08:50 WIB
Marhaban Para Penggubah Keindahan
Rabu, 23 Oktober 2024 | 09:27 WIB
Kapten Yaskid
Kamis, 17 Oktober 2024 | 15:02 WIB
Seharusnya Paslon Itu
Rabu, 9 Oktober 2024 | 10:22 WIB
Generasi (C)emas
Rabu, 2 Oktober 2024 | 07:59 WIB
Ringankan Siswa, Sejahterakan Sopir
Rabu, 18 September 2024 | 04:52 WIB
Wisuda Sobat
Rabu, 11 September 2024 | 04:54 WIB
DNA Seni Banyuwangi
Rabu, 4 September 2024 | 00:00 WIB
Tambak Wisata
Rabu, 28 Agustus 2024 | 10:51 WIB
Berbilik-bilik Narkoba
Rabu, 21 Agustus 2024 | 01:00 WIB
Spirit Cordoba
Rabu, 7 Agustus 2024 | 09:27 WIB
Inspirasi Roda ITdBI
Rabu, 31 Juli 2024 | 00:00 WIB
Balap Dunia Lintas Desa
Selasa, 23 Juli 2024 | 18:27 WIB
Dukun Politik
Rabu, 17 Juli 2024 | 03:00 WIB
Page 3
NAMA acaranya cukup mentereng: Festival Kebangsaan. Digelar selama dua hari. Pada 15-16 November 2024. Di Gesibu (Gedung Seni dan Budaya) Blambangan Banyuwangi.
Acaranya terbagi dua. Hari pertama berupa gebyar kuliner. Menampilkan puluhan lapak kuliner khas suku dan etnik yang ada di Bumi Blambangan. Sekadar diketahui, Banyuwangi sering disebut sebagai miniatur Indonesia. Beragam suku dan entik hidup berdampingan di kota berjuluk The Sunrise of Java itu. Etnis Tionghoa, Arab, dan Eropa saling bertegur sapa. Sementara suku asli Banyuwangi (Oseng), hidup rukun bersama saudaranya dari suku Jawa, Bali, Mandar (Sulawesi), Kalimantan, Sumatera, Madura, Papua, Aceh, dlsb.
Puas menyantap ‘kuliner kebangsaan’, warga dan wisatawan ganti menikmati ‘pentas kebangsaan’. Esok malamnya. Pertunjukan khusus disiapkan oleh panitia. Menampilkan seratusan penari. Anak-anak dan remaja. Mereka menarikan tarian dari seluruh suku dan etnik di Kota Gandrung. Secara estafet campuran (medley relay). Seperti biasa, saat menari mereka diiringi musik yang dimainkan para panjak (penabuh gamelan) secara live. Bukan iringan rekaman. Seperti terlihat di banyak tempat. Di luar Banyuwangi.
Saat berada gebyar kuliner pengunjung bisa langsung menebak asal makanan dicipipinya dari tampilan lapaknya yang khas. Atau dari penampilan penjaga lapaknya dengan dandanan khas suku-etnisnya. Namun tidak demikian ketika menyaksikan persembahan tari kebangsaan pada malam berikutnya. Saat itu, ragam seni suku dan etnis di Banyuwangi ditampilkan. Tanpa terkecuali.
Tampilannya berupa tari sambung-bersambung. Dari satu suku ke suku yang lain. Dari etnis yang satu ke etnis yang lain. Tanpa jedah. Sebagian penonton kesulitan menebak. Gerangan kesenian dari mana yang sedang dipertunjukkan. Tersebab tidak familiar terhadap baju daerah yang membungkus tubuhnya. Mereka baru ngeh setelah salah satu anggota panjak menyebut muasal tarian yang sedang perform di panggung utama Gesibu Blambangan. Pada setiap pergantian penampil tariannya.
Wajar jika ada sebagian penonton tidak begitu mengenali asal tarian yang ditontonnya. Saya pun demikian. Pasalnya, musik etnik yang dimainkan plus kostum penarinya tidak didukung dengan sosok penarinya. Terutama wajahnya. Misal, ketika tiba penampilan seni dari etnis Arab yang ditandai musik berirama gambus yang khas, yang keluar adalah beberapa penari dengan wajah yang tidak Arab sama sekali. Mereka memang menarikan gerakan-gerakan jafin dengan apik, namun rasa Arabnya tetap kurang terasa. Gerakan maju-mundur dan memutar kakinya tidak seluwes gerakan penari etnis Arab asli.
Hal yang sama terjadi pada kesenian dari suku yang lain. Wajah penari yang menarikan tari Bali, Aceh, Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Madura sama sekali tidak tampak asli dari daerah asal tarian yang dimainkannya. Apalagi yang menarikan tarian Tionghoa. Mata mereka tidak ada sipit-sipitnya.
Fenomena itu memancing komen dari undangan. Ada yang nyeletuk begini: ‘’kostumnya Bali tapi awaknya kok Banyuwangi’’. Komen kritis itu tidak salah. Tapi benar seratus persen. Ternyata, memang, para penari yang menarikan tarian dari beberapa suku dan etnik adalah muda-mudi Banyuwangi semua. Bukan dari keluarga suku dan etnik yang tariannya dipanggungkan.
Sangat disayangkan.
Boleh jadi, hal itu terjadi karena panitia cari enaknya. Cukup serahkan kepada seorang koreografer, beres! Mungkin panitia tak cukup punya waktu untuk mengundang grup/sanggar kesenian dari semua suku dan etnis agar menampilkan tarian khasnya.
Ya, kalau benar pengin yang instan, hasilnya seperti yang terlihat di malam gebyar Festival Kebangsaan itu. Sebuah pertunjukan yang serba tanggung. Kelenturan dan ruh gerakan-gerakan anggota badan penarinya kurang mendukung tarian yang dibawakannya.
Tapi sebenarnya ada yang lebih urgen dimengerti. Mengundang sanggar tari dari seluruh suku dan etnis merupakan bentuk apresiasi kepada kehidupan seni suku dan etnis yang hidup di Banyuwangi. Mereka pasti punya girah melestraikan seni budayanya. Terutama tariannya. Nah, kesungguhan seperti itu patut diapresiasi. Kalau bukan pemerintah siapa siapa lagi yang melakukannya.
Mereka harus diberi panggung yang sama dengan suku asli Banyuwangi, Oseng. Tidak hanya di Festival Kebangsaan. Tapi juga di banyak event. Sebab, mereka bukan barang antik yang hanya layak disimpan dalam etalase bernama Banyuwangi. Kelompok seniman dari suku dan etnis selain Oseng semestinya juga dilibatkan sebagai pengisi acara-acara seni dan budaya di kota The Sunrise of Java.
Wa ba’du. Bila perbedaan adalah rahmat, maka keragaman seni dari sejumlah suku dan etnis di Banyuwangi merupakan berkah. Andai dikelola dengan maksimal, berkah itu bisa menambah nilai jual destinasi budaya Banyuwangi. Karenanya pemerintah harus hadir. Mengawin-silangkan seni-budaya dari suku dan etnis di luar Oseng dengan seni-budaya Oseng. (*)