Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

PENGEMIS, Ponsel Bagus, Makan Ayam Pedas Tiap Hari

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

pengemisBERPAKAIAN lusuh, compang-camping, dan terkadang memperlihatkan kondisi tubuhnya yang sakit, atau bahkan mengeksploitasi kondisi yang (maaf) cacat, maka perasaan yang muncul adalah kasihan. Saat berangkat kerja, pandangan mata kita telah disesaki aksi mereka sambil duduk di beberapa titik strategis. Rasa kemanusiaan selalu menggerakkan kita agar peduli. Kita kerap tergerak tanpa bertanya dari mana mereka dan apa latar belakang yang menyebabkan mereka mengemis.

Tidak jarang, setelah rasa welas asih itu muncul, kita akan mengulurkan lembaran rupiah untuk mereka. Jika tidak, setidaknya dalam hati kita akan berdoa, agar pengemis tersebut memperoleh ba nyak uluran tangan orang lain. Namun, bagaimana perasaan Anda kini, saat mengetahui banyak pengemis yang bisa merasakan makan malam atau sarapan yang lebih enak daripada kebiasaan para tukang becak atau buruh angkut di pasar. 

Penelusuran Jawa Pos Radar Banyu wangi beberapa hari terakhir, fakta mengenai pengemis di beberapa pusat keramain memang sangat mengejutkan. Seperti salah seorang pengemis yang mangkal di depan SPBU Jajag, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Berdasar penuturan warga sekitar SPBU, pengemis tua itu berangkat dan pulang dari tempat tersebut diantar seseorang menggunakan motor. Kondisi itu jelas ironis jika dibanding beberapa tukang becak yang susah payah mengayuh becak.

Selain itu, banyak orang mengatakan, pengemis di sekitar wilayah Kecamatan Genteng sering terlihat makan malam di Warung Ayam Pedas. Padahal, para tukang becak, kuli, pengasong, loper koran, berpikir seribu kali untuk makan di tempat seperti itu. Tidak hanya itu, beberapa pengemis sesekali terlihat menenteng karung kecil berisi uang. Secara sosial, meminta-minta itu berdampak sangat tidak baik terhadap masyarakat. 

Seperti dituturkan Pratama (nama samaran), 26, seorang pedagang di Pasar Genteng, 26. Dia pernah melihat langsung dua pengemis bertengkar atau lebih tepatnya beradu mulut terkait siapa yang lebih banyak mendapat uang saat itu. Dia menyebut, kejadian saat itu dilihat banyak orang di Pasar Genteng. “Uangnya dijejer di depan saya banyak sekali. Hand phone-nya juga bagus,” ungkapnya.

Yang lebih mengejutkan, pola pendidikan yang diterapkan pengemis terhadap keluarganya di lapangan kurang bagus dalam pembentukan karakter. Afif Jauhari, salah seorang saksi, mengaku pernah mendapati pengemis yang biasa meminta- minta di lingkungannya membanding- bandingkan dirinya dengan petani. “Pengemis itu bilang kepada anaknya, kamu beruntung jadi anakku bisa makan enak setiap hari. 

Tidak seperti petani, makan nasi pecel saja harus berlumur lumpur dulu,” ujar Jauhari menirukan pengemis itu. Berdasar pengalaman itu, kini warga sekitar Kedungrejo lebih arif dalam menyikapi pengemis. Dia berharap, bentuk simpati dan solidaritas masyarakat terhadap kaum kurang beruntung diarahkan kepada tetangga terdekat. “Tetangga kita masih ada yang membutuhkan. Dihimpun secara kolektif demi kemaslahatan tetangga itu lebih baik,” ajak pengelola sekolah luar biasa itu.

Fenomena pengemis kaya itu mengundang komentar salah satu tokoh Nahdliyin asal Desa Parijatah Wetan, kecamatan Srono, Haji Ali Makki Zaini. Menurutnya, persoalan pengemis itu sebagai fenomena sosial yang buruk. Dalam kaidah bermasyarakat, kata dia, ada pernyataan yang mengatakan posisi tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.  

Sementara itu, para pengemis yang tidak bisa menjadi pelaku tangan di atas atau pemberi yang baik, maka harus mampu menjadi penerima yang baik. Ali Makki menegaskan, konsep “peminta” dalam kaidah fikih belum ditemukan. “Jadi, yang ada itu pemberi yang baik atau penerima yang baik, bukan peminta,” ujarnya. Ali Makki menambahkan, bukan berarti konsep yang dia sampaikan itu melarang orang menjadi peminta.

Namun, posisi sebagai peminat atau pengemis itu sangat tidak dianjurkan. Memperlihatkan kekurangan atau kondisi kemiskinan yang dialami saja merupakan sesuatu yang sangat dibenci agama. “Memperlihatkan kemiskinan itu makruh,” ujar pengasuh Pengajian Terang Bulan itu. Menjadi peminta atau pengemis, menurut Ali Makki, bisa dilakukan saat kondisi benar-benar darurat. “ Menjadi peminta-minta itu boleh saat kita akan mati manakala tidak menjadi peminta- minta,” pungkasnya. (radar)