Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Ritual Mandi Darah Ayam sebelum Khitan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

GLAGAB – Banyuwangi memang kaya khzanah budaya. Mulai ider bumi sampai mantu kucing ada di Bumi Blambangan. Yang terkini adalah ritual kolo, yakni memandikan anak sebelum dikhitan dengan darah ayam.

Ritual kolo di Desa Glagah ini memiliki nilai filosofis cukup dalam. Ritual tersebut dilakukan pada tiga sampai tujuh hari sebelum khitan dilaksanakan. Salah seorang warga Glagah, Sunadi, 34, kemarin (28/12) menggelar ritual tersebut.

Sebelum menuju ritual puncak, terlebih dulu digelar ritual jual rujak dan dawet. Dua wanita tua yang merupakan famili dari anak yang hendak dikhitan membawa sebuah kuali dan kendi yang masing-masing berisi rujak parut dan dawet.

Kemudian, datang tetangga dan famili berebut membeli dua jajanan tersebut.  Yang unik, tidak ada satu pun dari mereka yang membawa uang. Mereka hanya membawa pecahan piring dan gelas yang ditukar dengan satu mangkuk rujak atau satu gelas dawet.

Menurut Jam’i, 72, salah satu tetua setempat, pecahan piring atau yang biasa disebut beling itu dulu digunakan warga sebagai alat tukar pengganti uang.  Kenapa makanan jenis rujak dan dawet yang dijual, menurut Jam’i, karena rujak memiliki makna rukun ajak-ajak.

“Dulu itu tidak ada yang punya uang. Makannya jualan rujak, bayarnya pakai apa yang mereka punya di rumah, seperti beling ini,” kata Jam’i. Setelah ludes seluruh dawet dan rujak, ritual dilanjutkan kirap gelar songo. Gelar songo diwujudkan dalam bentuk sesembahan bempa sembilan tumpeng berukuran kecil dan sembilan bagian daging sapi, mulai cingur sampai jeroan.

Sembilan hal itu memilih nilai Filosofis sendiri, terutama mengenai kehidupan masyarakat Desa Glagah. Selepas gelar songo, sesembahan itu dikirab keliling kampung. Sambil berkeliling, sambil melafalkan doa, beberapa tetua dan keluarga anak yang dikhitan menyebarkan beras kuning bercampur uang koin atau sambut atik-atik.

Ketika berjalan anak- anak kecil pun rebutan koin yang dilempar itu. Usai kirab, Wisnu ,8, si anak yang hendak dikhitan disiapkan untuk di-kolo. Setelah pakaiannya dilepas, Wisnu didandani dengan bedak, batu alis, dan lipstik Wisnu didudukkan di atas kursi, kemudian di atasnya dilambarkan kain putih yang sudah dilubangi bagian tengahnya.

Setelah itu ayam jago berbulu merah yang sudah disiapkan langsung disembelih tepat di atasnya. Darah pun mengaliri kain yang tems menetes ke kepala Wisnu hingga membasahi punggungnya. Tak lama, salah seorang pawang memecahkan telur ayam di atasnya.

Terakhir, air bunga diguyurkan dari atas kain yang membasahi seluruh tubuh Wisnu. Merasa ritual sudah selesai, Wisnu pun langsung berlari diikuti teman-temannya menuju sungai. Di singai Wisnu kembali didoakan para tema sambil dilarungi bunga.

Berkali-kali anak berusia delapan tahun itu mendengarkan doa sambil menceburkan diri dan mengusap tubuhnya yang dialiri air sungai. Setelah itu, Wisnu kembali memakai baju rapi dan diajak kedua orang tuanya nyekar ke makam kakek dan neneknya. Itu menandakan akhir dari ritual kalo secara keseluruhan.

Sanusi, salah satu tokoh adat di Desa Glagah menjelaskan, ada banyak filosofi yang terkandung dalam ritual kolo. Meskipun masyarakat sudah modern, tapi suku Oseng Glagah masih memegang adat itu dan tidak berani meninggalkan. Ada banyak perlambang dalam ritual tersebut.

Ritual kolo yang menggunakan ayam berbulu merah dan disembelih itu mirip kurban yang dilakukan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim yang dianggap terlalu menyayangi anaknya diuji Allah dengan perintah menyembelih Nabi Ismail.

Meski awalnya berat, tapi kemudian Nabi Ibrahim berhasil melaksanakannya.  Itulah pelajaran yang juga bisa diambil dari ritual kalo. Sang ayah harus rela mengorbankan anaknya untuk dikhitan.

“Ayam juga perlambang sebagai media pemindah rasa sakit, sakitnya sunat tadi sudah ditanggung ayam. Si anak tidak merasa sakit. itu kepercayaan orang dulu, tapi sekarang banyak obat bius di tukang sunat. Iadi banyak yang tidakmelakukan ritual ini,” terang Sanusi. (radar)

Kata kunci yang digunakan :