Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Usia 75 Tahun masih Lincah Bermain Trisula dan Toya

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

RUMAH almarhum Djanoto Dulhaji, 75, masih tampak ramai siang itu. Beberapa sanak keluarga dan rekan-rekan semasa hidupnya terlihat bercengkerama  sambil duduk bersila di sekitar rumahnya yang beralamat di Kelurahan Temenggungan.

Di dalam rumah tampak lukisan  wajah pendekar berkumis tebal itu terpajang di tembok. Umumnya suasana duka dipenuhi isak tangis keluarga. Tetapi, suasana  di rumah yang berada di tengah gang itu tidak demikian. Semua yang datang cukup  tenang dan semringah, pertanda  keluarga sudah mengikhlaskan sosok almarhum.

Nila Swita  Djanoto, 40, putri kedua almarhum Djanoto, pun tampak tenang dan bersahabat saat melihat Jawa Pos Radar Banyuwangi masuk ke rumahnya. Nila menceritakan, bapaknya meninggal tanpa menunjukkan tanda-tanda penyakit berat. Bahkan, nyaris tanpa sakit. Hanya sehari merasakan demam lalu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

“Sebelumnya sehat- sehat saja, tidak ada masalah. Sempat mengeluh nggereges, kemudian malam hari (7/3) kita  bawa ke Rumah Sakit Yasmin.  Begitu sampai di sana pukul 00.00,   Bapak sudah dinyatakan meninggal,” kata Nila. Nila mengaku masih teringat sosok bapaknya itu.

Meski tampak tegas, karena seorang pendekar silat, tapi bapaknya adalah orang  yang gemar mengajak keluarganya bercanda. Bahkan, di mata keluarga dan tetangga, bapaknya itu juga dikenal sebagai orang yang ringan tangan.  Jika ada orang yang kesulitan  dan meminta bantuan kepadanya, dipastikan bapaknya akan membantu semampunya.

“Kalau ada pasti Bapak membantu. Sesekali waktu juga masih rutin mengirim beras ke panti asuhan. Meskipun terlihat tegas dan galak, tapi kalau  disambati orang tidak bisa menolak dia,” jelasnya. Sambil terus menceritakan  sosok Djanoto, Nila membuka  sebuah kotak berisi kumpulan foto almarhum bapaknya.

Dia  menceritakan, ayahnya sangat  mencintai dunia pencak silat.  Meski sudah berusia lanjut,bapaknya tidak pernah absen  jika ada kegiatan yang berhubungan dengan silat. Terutama saat perguruan Suaka Pasung Laksa (SPL) sedang berlatih atau  menyelenggarakan kejuaraan.

“Murid-murid Bapak juga banyak. Meskipun mereka sudah di Jakarta atau di Bali, kalau pas  pulang pasti mampir ke sini. Kadang Bapak juga ngajari anak-  anak yang ingin latihan ke sini   meskipun sudah tua,” kisahnya.Tak hanya itu, sering kali Djanoto menurut putrinya itu menunjukkan  kebolehannya dalam memainkan senjata, seperti trisula dan toya, di hadapan anak-anaknya.

Sayang, meski sudah sering melihat bapaknya unjuk kebolehan, belum ada satu pun keturunannya yang meneruskan jejaknya.  Nila berharap suatu hari nanti salah satu anaknya, terutama yang masih kecil, dapat meneruskan pencak silat yang dikembangkan kakeknya.

“Sering Bapak unjuk kebolehan. Pernah waktu itu anak saya kehilangan kunci di Pantai Boom. Dua hari kemudian bapak saya mengajak anak saya ke sana, kunci yang ada di  dalam pasir tiba-tiba naik ke atas seperti ditarik magnet. Padahal, sebelumnya anak saya mencari tidak ketemu-ketemu. Banyak   kenangan tentang Bapak, kalau cerita begini saya jadi rindu,”kata Nila sambil matanya menerawang ke barisan foto bapaknya.

Selain dikenal cukup mencintai silat, Djanoto juga dikenal sebagai orang yang sangat disiplin.   Amirudin Sukur, 68, salah seorang  kolega Djanoto di perguruan SPL, menganggap Djanoto sebagai pewaris ilmu pencak silat   dari guru besar SPL, yaitu Supolo.

Hal tersebut, lanjut Amir, tampak dari ilmu yang dikuasai Djanoto   dan kecintaannya kepada perguruan dan pencak silat. Perguruan SPL yang berdiri sejak   tahun 1925  itu sebelumnya tidak ada namanya.  Baru diberi nama Suaka Pasung Laksa oleh Djanoto dan Sidik Mulyo  pada tahun 1970. Suaka artinya adalah tempat, pasung artinya perlindungan, dan laksa artinya satu juta.

“Maknanya kira-kira   sejuta tempat perlindungan. Namanya juga singkatan dari  Supolo,” terang pria yang tinggal di Kampung Ujung itu. Di bawah tangan Djanoto dan  Sidik SPL berubah menjadi perguruan yang berprestasi. Hampir   setiap kejuaraan di Banyuwangi,  SPL selalu menjadi juara umum. Bahkan, dia mengaku pernah menjadi atlet dengan arahan  Djanoto.

“Sampai sudah umur   75 kemarin, dia masih merasa muda. Kalau berbicara selalu   optimistis. Senang sekali kalau   dia dibilang masih kuat meskipun  sudah kepala tujuh. Keahliannya adalah bermain trisula dan toya   di malam hari tanpa menggunakan  penerangan,” cetus Amir.

Abdus Salam, ketua harian SPL, yang juga hadir di rumah Djanoto siang itu menambahkan bahwa almarhum adalah murid kesayangan guru besar SPL. Hal itu  yang membuat Djanoto seolah  sangat bertanggung jawab untuk terus mengawasi perkembangan perguruan SPL.

“Kalau ada waktu,  dia ini selalu keliling ke tempat- tempat latihan kita. Ada sekitar10 titik lokasi latihan. Di sana dia datangi semua,” terang Salam. Bahkan, Djanoto juga dikenang  tak pernah lupa mengenakan seragam silat kebesarannya di mana pun ada acara silat berlangsung.

“Kadang orang kalau diundang ke acara resmi lebih  memilih menggunakan baju  biasa, seperti kemeja. Tapi Pak Djanoto ini lain. Senang sekali dia menggunakan pakaian silatnya. Sakral kalau kata beliau, jadi harus sering digunakan,”  terang Arief, sekretaris  SPL.

Pada tahun 1972-1973 SPL merajai dunia pencak silat di Jawa Timur. Sampai hari ini pencak silat SPL masih eksis sebagai kelompok pencak silatterbesar di Banyuwangi. “Semoga penerus-penerus pencak silat SPL selalu menjaga dan melestarikan ilmu seni bela diri asli  Banyuwangi seperti yang telah dicontohkan Pak Djanoto selama puluhan tahun sampai akhir  hayatnya,’’ kata Arief.

Di mata pengurus IPSI Banyuwangi, almarhum Djanoto juga dikenang sebagai seorang pendekar yang sangat tinggi loyalitasnya, baik kepada perguruan maupun IPSI. Dia pun dianggap salah satu pendiri organisasi induk cabor silat di Banyuwangi itu.

“Yang jelas kita merasa kehilangan. Karena beliau  ini seolah menjadi sejarah hidup dalam dunia pencak silat di Banyu wangi. Apalagi, SPL ini bisa disebut sebagai perguruan   asli Banyuwangi,” kata Hidayatur Rohman, sekretaris IPSI Banyuwangi. (radar)