Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Bambang Murdiono, Oemar Bakrie Banyuwangi Masa KINI

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

32 Tahun Mengajar Naik Sepeda Onthel

Sejuknya udara desa Kotan, Kecamatan Rogojampi masi terasa segar. Sang matahari pun masih baru menyingsing. Jalanan pusat kota Rogojampi pun masih belum sibuk lalu lalang kendaraan. Seorang lelaki berpakaian dinas lengkap baju coklat dengan penuh semangat mengayuh sepeda pancal.

Sepeda onthel warna hitam itu tampak kuno dan usang. Pada boncengan belakang tampak sebuah tas warna hitam yang dijapit. Dengan tenang dan santai, lelaki tua itu seolah menikmati sejuknya udara pagi dan suasana jalanan kota Rogoampi.

Lelaki paruh baya ini tampak tak terlalu tergopoh-gopoh. Maklum pagi itu jarum jam masih menunjukkan pukul 05.30. Lelaki  tua pegayuh sepeda onthel itu  tak lain adalah Bambang Murdiono, warga Kampung Candian,  Dusun Maduran RT 03/ RW 01,  Desa/Kecamatan Rogojampi.

Bapak dua anak ini sehari-harinya adalah seorang guru di  SDN 2 Kaotan, Kecamatan Rogojampi. Jarak dari rumah menuju sekolah hanya ditempuh  sekitar 20 menit perjalanan  dengan sepeda onthelnya. Meski usianya sudah setengah abad lebih, suami Munawiyah, 50, ini  tergolong guru sederhana.

Fisiknya terlihat masih sehat dibanding lelaki lain seumurnya.  Maklum, sejak kali pertama mengajar dan diangkat sebagai  PNS guru di lingkungan Pemkab  Banyuwangi tahun 1983 silam,  ayah Desy Dwi Lestari, 24, ini sudah  terbiasa mancal sepeda.

“Saya jadi guru olahraga. Apapun aktivitas yang saya lakukan harus berkaitan dengan olahraga agar menginspirasi anak didik, termasuk bersepeda ini,” ungkap Bambang ditemui  Jawa Pos Radar Banyuwangi di  SDN 2 Kaotan, kemarin.

Kali pertama diangkat menjadi guru PNS tahun 1983, Bambang ditempatkan di SDN 1 Watukebo.  Kala itu, masih belum banyak  guru yang memiliki sepeda motor, apalagi mobil. Hampir semua  guru menggunakan sepeda onthel  sebagai sarana transportasi  menuju sekolah.

Jarak rumah menuju sekolah  SDN 1 Watukebo sekitar empat  kilometer. Berangkat pagi, pulang siang hari. Sepeda onthel itulah yang setia menemani Bambang.  “Saya tujuh tahun ngajar di SDN 1 Watukebo, selanjutnya pidah-pindah  dan sampai di SDN 2  Kaotan ini,” ungkapnya.

Selama berpindah di tujuh sekolah SD, semuanya masih  dalam lingkup di Kecamatan  Rogojampi. Kendati perjalanan dari rumah menuju sekolah lumayan jauh, Bambang tak bisa lepas dari sepeda onthel kesayangannya.

“Kuncinya bangun  subuh, dan disiplin,” imbuhnya. Seiring bergulirnya waktu dan perubahan zaman yang kian  pesat, Bambang tidak silau  dengan gemerlapnya dunia. Ayah Murli Tutaheba, 22, ini masih tetap konsisten menggunakan  sepeda onthel tuanya untuk  aktivitas sehari-hari ke sekolah.

Meski kerap kali ditegur dan diiming-imingi oleh teman-teman seprofesinya untuk kredit motor  dan mobil, alumnis sekolah guru olahraga (SGO) Probolinggo tahun 1983 ini masih teguh pendiriannya naik sepeda onthel.

Sebetulnya dengan gaji guru yang didapat setiap bulan-apalagi sebagai guru yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi-bukan hal yang sulit bagi  Bambang untuk sekadar kredit motor. Baginya ke sekolah naik  motor bertentangan dengan hati  dan jiwanya sebagai seorang  pendidik.

Dengan naik sepeda pancal, Bambang harus memberi  suri teladan yang baik bagi anak  didiknya. “Guru itu kan digugu dan ditiru, bagaimana anak-anak  bisa nggugu dan niru (percaya  dan mencontoh), kalau kita sendiri sebagai guru tidak  memberi teladan,” ujarnya.

Lain dari itu, pilihan tetap menggunakan sepeda onthel adalah bagian dari cerminan hidup hemat dan sederhana yang diterapkan  dalam hidup berkeluarga. Dia selalu mengingatkan pada  kedua anaknya dan anak didiknya akan pentingnya mensyukuri nikmat.

“Kalau kita punya sepeda onthel, bagaimana kita bisa mensyukuri nikmat itu dengan memanfaatkan sebaik-baiknya,” terangnya. Lebih dari itu, gaji yang diterima setiap bulan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara sisa gaji  dan tunjangannya ditabung guna mempersiapkan kebutuhan biaya kuliah kedua anaknya.

“Alhamdulillah, kedua anak saya bisa kuliah. Anak pertama sudah lulus sarjana dan kerja. Anak kedua masih semester tujuh di Universitas  Brawijaya Malang,” ujarnya bangga. Meski kini sudah banyak guru yang naik motor dan mobil,  Bambang tetap hidup sebagai  guru yang sederhana dan apa adanya.

Bahkan, Bambang kerap bertemu dengan alumni siswa yang pernah diajarnya dengan mengenali sepeda onthelnya. “Jadi anak-anak itu tahu dan mengenali saya dari sepeda onthel ini,” kenangnya terkekeh-kekeh. Sementara itu, di lingkungan  sekolah tempatnya mengajar, kehadiran Bambang dikenal sebagai  sosok guru yang bersahaja,  sederhana, taat beribadah dan displin.

Tak jarang, juga sering dipanggil sebagai “Oemar Bakrie” masa kini. Meski harus ngonthel, Bambang terkenal guru yang  rajin datang lebih awal dan pulang  paling akhir dibanding guru  lainnya. Tidak itu saja, Bambang juga  rutin berpuasa hari Senin dan  Kamis.

“Saya salut dengan Pak  Bambang, panas menyengat seperti ini masih bersepeda dalam  kondisi berpuasa,” tutur Wahyudi, 50, salah satu dewan guru. Bahkan, berkat ketekunan dan kedisiplinannya, Bambang pernah  dua kali ditawari untuk dipromosikan menjabat sebagai kepala  sekolah SD.

Namun, kesempatan  itu tidak pernah diambil karena  hanya ingin menjadi guru biasa. Jika dari segi umur dan kepemimpinan, Bambang tergolong  guru senior di Kecamatan Rogojampi. “Mungkin karena rajin puasa Senin, Kamis, dan bersepeda Pak Bambang ini sehat dan masuk terus ke sekolah, jarang absen,” tandasnya. (radar)