Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Karyanya Bakal Tayang di Jaringan Televisi NHK Jepang

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Wisnu (kiri) bersama kru fim dokumenter Songbird usai pengambilan gambar di kawasan Kalibata sebelum Lebaran kemarin.

TAK berlebihan jika nama Banyuwangi dalam kancah perfilman kerap menjadi perbincangan nasional. Beberapa tahun belakangan, dunia perfilman Banyuwangi mulai bergeliat.

Banyuwangi kerap menjadi lokasi syuting film serta munculnya berbagai komunitas  film yang lahir dari kampus- kampus hingga berbasis komunitas seperti satnic screen hingga munculnya sineas-sineas muda dalam setiap festival film.

Jauh sebelum itu, Wisnu Surya Pratama, Sineas asli Banyuwangi yang lahir dari pasangan Yoyok Waluyo dan Siti Kamsiyah telah mengawali karir secara profesional di Jakarta. Namanya cukup dikenal di kalangan pemerhati dan pelaku perfilman, khususnya dokumenter.

Belakangan, Wisnu bolak-balik Jakarta-Banyuwangi untuk keperluan syuting Film berjudul Songbird (Burung Berkicau) di kawasan Kalibaru. Alumnus Universitas Indonesia pada program studi Sastra Belanda ini masih menyempatkan bertukar sapa dengan wartawan Jawa Pos Radar Genteng.

Dari perkenalan ini, capaian Wisnu dalam perfilman cukup membanggakan, termasuk keterlibatannya dalam produksi film burung berkicau tersebut. Keterlibatannya dalam film ini bermula saat ada tawaran agar mengajukan cerita mengenai kompetisi kicau ke program Colors of Asia di Tokyo Docs 2016.

Program ini merupakan sebuah ajang forum film dokumenter yang cukup bergensi di tingkat Asia yang berbasis di Tokyo, Jepang. Ide yang dia ajukan pun bisa terpilih oleh panitia. Sejak saat itu hingga sekarang proses produksi film masih berlangsung.

“Kebetulan project ini terpilih untuk diproduksi dengan funding dari NHK,” ucapnya. Ide cerita terkait hobi burung berkicau yang diusung Wisnu bisa menggaet perhatian juri. Konten yang sangat lokal ternyata menjadi poin tersendiri.

“Tema yang diusung adalah bagaimana remaja mengaktualisasikan dirinya dan mencari pengakuan dari lingkungan sekitar lewat hobinya,” ujar sineas yang kini menetap di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan tersebut.

Ide pemilihan tema pun muncul tidak lepas dari kecerdikannya menerjemahkan tema besar Colors of Asia itu sendiri. Tahun ini, tema yang diusung panitia adalan anak-anak. Keberadaan hobi kicau burung di tengah anak-anak, terlebih kalangan putus sekolah, membuamya tersentuh sekaligus memunculkan ide untuk di tuangkan ke dalam sebuah gambar.

“Saya tertarik dengan bagaimana remaja dari keluarga miskin dan putus sekolah menggunakan hobinya untuk mendukung finansial keluarga,” tandasnya. Yang cukup membanggakan, film yang proses produksinya banyak dilakukan di Kalibaru ini nantinya akan ditayangkan secara internasional melalui jaringan NHK. Sementara untuk di Indonesia hak tayang ada di pihak Two Island Digital.

“Akan diputar melalui jarangan NHK,” imbuhnya. Meski terkesan manis, bukan berarti tak ada kendala dalam membuat karya film. Wisnu menyebutkan, sejumlah kendala selalu saja muncul. Di antaranya waktu yang cukup mepet. Film ini harus tuntas hingga bulan September nanti.

Persoalan lain yang kerap muncul selama produksi tidak lain mengenai kendala bahasa yang dialami sejumlah kru film di lapangan. “Bahasa yang dipakai adalah bahasa Madura, sementara semua kru saya tidak bisa berdialog dengan bahasa Madura,” ucapnya sembari terkekeh.

Karir Wisnu dalam dunia sinematografi tidak datang begitu saja melejit. Profesionalitas yang diraih saat ini tak lepas dari kebiasaan dia ketika masih kecil. Wisnu kecil masuk anak bandel karena suka menyelonong masuk ke dalam bioskop untuk menonton film tanpa membayar.

“Dulu di Kalibaru ada satu bioskop, GNI. Saya suka nyelip di antara orang-orang besar untuk bisa nonton gratis,” kenangnya. Kenangan saat masih anak-anak itu berlanjut ketika dia menjadi mahasiswa di UI.

Secara langsung dia bersentuhan dengan materi kuliah yang berhubungan dengan dunia perfilman seperti pengantar kajian sinema, kritik sastra dan film. Di luar kampus, dia juga mulai menyukai pemutaran film baik yang dilakukan secara komersial di bioskop maupun yang diputar di pusat-pusat kebudayaan di Jakarta.

Kemunculan beberapa festival film menggugah Wisnu untuk secara langsung terlibat. Seperti festival film dan video independen yang digelar Konfiden pada tahun 1999 dan Jakarta International Film Festival.

“Dari situ mulai tertarik dan 2003 bergabung dengan Konfiden,” ungkapnya. Sembari menyelesaikan garapan film, Wisnu memiliki rencana yang tidak kalah besar. Yakni memfilmkan tradisi orang-orang Madura yang hidup di tapal kuda.

“Saya ingin membuat film cerita panjang tentang orang Madura di tapal kuda dan tradisinya. Semoga tahun depan bisa diproduksi,” harapnya. Berkat capaian manis itu, Wisnu ingin berbagi dengan generasi muda di Banyuwangi.

Saat ini semua potensi cukup terbuka. Terlebih untuk film, Banyuwangi dengan segala aneka keindahan dan kehebatan budaya masyrakatnya sangat bagus untuk diangkat dalam sebuah film. “Untuk yang muda-muda ayo jika ada minat bikin film, Banyuwangi ini keren,” ajaknya. (radar)