TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Transformasi digital telah menempatkan media sosial sebagai ruang sosial dominan dalam kehidupan anak-anak kontemporer. Pergeseran ini tidak sekadar mengubah medium interaksi, melainkan juga menggeser mekanisme pembentukan karakter.
Jika sebelumnya keluarga, sekolah, dan komunitas berfungsi sebagai agen sosialisasi utama, kini algoritma media sosial tampil sebagai kekuatan struktural baru yang secara sistematis mengarahkan pengalaman kognitif dan afektif anak.
Algoritma bekerja senyap namun efektif, membingkai realitas sosial yang dikonsumsi anak setiap hari dan, pada saat yang sama, menginternalisasi nilai-nilai tertentu dalam proses perkembangan karakter mereka.
Secara epistemik, algoritma media sosial tidak bersifat netral. Ia dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna melalui seleksi dan pengulangan konten yang dianggap paling mampu mempertahankan atensi.
Bagi anak, mekanisme ini menghasilkan pola konsumsi yang repetitif dan homogen. Konten yang menonjolkan sensasi, hiburan instan, serta pengakuan berbasis metrik digital seperti jumlah tayangan, suka, dan pengikut mendominasi ruang belajar informal mereka. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi membentuk karakter yang pragmatis, berorientasi performa, dan miskin refleksi kritis.
Fakta sosial di Indonesia memperlihatkan penetrasi media sosial yang semakin dini. Anak-anak usia sekolah dasar bahkan prasekolah telah menjadi pengguna aktif platform digital, sering kali tanpa pendampingan memadai.
Dalam konteks ini, algoritma berfungsi sebagai “kurikulum tersembunyi” yang mengajarkan apa yang layak diperhatikan, ditiru, dan diinginkan. Anak belajar bahwa visibilitas adalah nilai, viralitas adalah prestasi, dan popularitas digital adalah sumber legitimasi sosial. Proses ini menggeser orientasi karakter dari nilai intrinsik menuju pengakuan eksternal yang rapuh.
Implikasi terhadap pembentukan karakter anak tidak dapat diremehkan. Paparan konten berformat pendek dan serba cepat mendorong terbentuknya disposisi impulsif serta menurunnya kapasitas konsentrasi dan ketekunan. Selain itu, algoritma cenderung menciptakan ruang gema (echo chamber) yang membatasi keragaman perspektif.
Anak tumbuh dalam lanskap informasi yang terfragmentasi, di mana empati, dialog, dan kemampuan memahami perbedaan berisiko tereduksi. Dalam situasi ekstrem, algoritma dapat menjadi medium reproduksi bias, stereotip, bahkan kekerasan simbolik.
Namun demikian, reduksi algoritma sebagai semata-mata ancaman juga berpotensi menutup peluang transformasi. Media sosial dapat menjadi arena pedagogis alternatif yang memperkaya pengalaman belajar anak, sepanjang disertai literasi digital yang kritis.
Algoritma, jika diarahkan secara etis, mampu mempertemukan anak dengan konten edukatif, praktik kewargaan digital, dan narasi kebajikan sosial. Masalah utamanya bukan pada keberadaan algoritma, melainkan pada absennya kesadaran kolektif dalam mengelola dampaknya terhadap pembentukan karakter.
Di sinilah urgensi peran orang tua dan pendidik sebagai mediator nilai. Pendidikan karakter di era digital menuntut perluasan paradigma, dari sekadar penanaman moral normatif menuju pembentukan subjek digital yang reflektif dan otonom.
Anak perlu dibekali kemampuan memahami cara kerja algoritma, mengelola atensi, serta membaca relasi kuasa di balik produksi konten. Pendekatan represif berupa pembatasan semata justru berisiko meminggirkan anak dari proses belajar yang substantif.
Lebih luas lagi, tanggung jawab tidak dapat dibebankan sepenuhnya pada keluarga dan sekolah. Negara dan platform digital memiliki kewajiban struktural untuk memastikan ekosistem digital yang ramah anak.
Regulasi perlindungan anak, transparansi algoritma, serta akuntabilitas platform harus menjadi agenda kebijakan yang serius. Tanpa intervensi institusional, algoritma akan terus beroperasi sebagai aktor dominan yang membentuk karakter anak berdasarkan logika ekonomi perhatian.
Algoritma media sosial telah menjadi bagian integral dari proses sosialisasi anak di era digital. Tantangan utamanya bukan meniadakan teknologi, melainkan menegaskan kembali peran manusia dalam membingkai nilai dan makna.
Pembentukan karakter anak harus tetap berlandaskan kesadaran kritis, empati, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai yang tidak dapat dihasilkan oleh mesin, tetapi hanya dapat ditumbuhkan melalui pendampingan, pendidikan, dan kebijakan yang berpihak pada masa depan generasi muda.
***
*) Oleh : Elok Dian Firdaus, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas KH. Mukhtar Syafa’at, Blokagung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |







