BANYUWANGI – Puluhan anggota Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Banyuwangi ngelurug kantor DPRD kemarin (29/9). Mereka datang untuk menyampailkan aspirasi soal kecilnya tunjangan anggota BPD yang diterima selama ini.
Kecilnya tunjangan anggota BPD itu salah satunya dampak Alokasi Dana Desa (ADD) yang belum diserahkan 100 persen sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2014. Dalam UU itu disebutkan, pemkab harus mengalokasikan dana ADD sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK).
Pada tahun anggaran 2016, total ADD yang seharusnya digelontorkan ke 189 desa mencapai Rp 147 miliar. Namun, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) induk tahun ini, ADD yang dicairkan hanya Rp 83 miliar. Selanjutnya, pada Perubahan APBD 2016, pemkab menambah jatah ADD sebesar Rp 10 miliar.
Anggota asosiasi BPD itu diterima Komisi I DPRD Banyuwangi. Selain BPD, rakor tersebut juga diikuti lintas instansi terkait, seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPM-PD), Badan Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah (BPKAD), serta Bagian Pemerintahan Pemkab Banyuwangi.
Koordinator Asosiasi BPD Banyuwangi, Rudi Hartono, mengatakan selama ini insentif yang diterima anggota BPD sangat kecil. Bahkan, dia mengistilahkan nominal tunjangan yang diterima BPD pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) hanya sak welase kepala desa (kades).
Selain menyinggung tunjangan, pada pertemuan tersebut para anggota BPD juga mempertanyakan sejumlah peraturan daerah (perda) turunan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 yang hingga kini belum terbit. Misalnya perda pembagian kewenangan pemkab yang diserahkan ke desa, perda tentang perangkat desa, dan perda tentang BPD.
“Perbup turunan Perda pemilihan kepala desa (pilkades) juga belum terbit. Padahal ini sudah hampir tahun anggaran 2017. Tahun depan ada 52 desa yang akan menggelar pilkades,” kata Rudi. Bukan itu saja, para anggota BPD juga kembali mendesak pemkab memberikan pembekalan dan peningkatan kapasitas bagi anggota BPD.
“Karena banyak BPD yang tidak dilibatkan dalam penyusunan anggaran di desa. Tidak bisa serta-merta BPD yang disalahkan. Karena mereka tidak pernah mendapat pembekalan untuk peningkatan kapasitas BPD,” cetusnya.
Kepala Bidang (Kabid) Pemerintahan Desa dan Lembaga Masyarakat Desa/Kelurahan BPM-PD Banyuwangi, Faishol, mengatakan soal keluhan BPD tentang insentif yang sangat kecil, sebenarnya penentuannya diserahkan kepada pemerintah desa masing-masing.
Hanya saja, penentuan besaran insentif BPD tersebut tidak boleh menabrak rambu-rambu yang telah ditetapkan. Berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2014 dan PP Nomor 47 Tahun 2014, ada empat jenis belanja yang tidak boleh lebih dari 30 persen dari total APBDes.
Empat jenis belanja tersebut antara lain, penghasilan tetap (siltap) kades, anggaran operasional rutin desa, insentif RT dan RW, dan tunjangan BPD. “Ketika dihitung-hitung, empat jenis belanja ini cukup besar,” kata dia. Dia mencontohkan, di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, jumlah RT dan RW mencapai 229 orang. Seandainya insentif per ketua RT dan RW sebesar Rp 50 ribu per bulan, maka dalam setahun anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 137 juta lebih.
“Arah pembentukan PP tersebut agar belanja pegawai tidak terlalu besar,” jelasnya. Dengan demikian, imbuh Faishol, 70 persen dana APBDes yang lain yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain, lebih besar. (radar)