Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Burung Hantu, Predator Alami Hama Tikus yang Kian Populer

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

burungTahun Lalu hanya 6 Ekor, Kini 60 Ekor tidak ada yang berbeda di persawahan di Dusun Tamanrejo, Desa Wringinrejo, Kecamatan Gambiran, ini. Namun, jika diperhatikan secara sek sama, terlihat dengan jelas pagu pon (kandang burung) yang dipasang setiap jarak seratus meter di persawahan tersebut. Pagupon itu sebagai tempat burungber teduh. Namun, bukan bu rung mer pati yang tinggal di ru mah mu ngil tersebut.

Sangkar yang berdiri setinggi empat meter itu di tengah areal sawah tersebut, khusus di sediakan untuk burung hantu jenis Serak Jawa. Hampir setahun ini masyarakat Dusun Tamanarejo mengembangkan penangkaran burung nocturnal (beraktivitas di malam hari) tersebut. Burung yang aktif melakukan perburuan pada malam hari itu kini menjadi sahabat petani setempat. Sekadar diketahui, burung dengan nama latin Tyto alba tersebut berada pada posisi puncak dalam rantai makanan. Makanan utamanya adalah musuh utama pe tani, yakni tikus. 

Meski tidak memiliki suara emas, tapi burung hantu memiliki tempat tersendiri di hati para petani. Kelincahannya memburu tikus merupakan simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan) bagi para petani. Pengembangbiakan burung hantu sebagai pembasmi hama alami itu bermula setahun lalu. Melalui musyawarah panjang kelompok tani Pelita dan Brantas di Desa Wringinrejo, mereka mencari jalan keluar untuk memecahkan problem hama tikus dalam jangka panjang.

Dari sini cerita dimulai. Seperti dituturkan Kastowi, 40, salah satu inisiator gerakan pembasmi hama alami tersebut. Lelaki yang juga kepala Dusun (Kadus) Tamanrejo bercerita, saat itu para petani menginginkan sistem yang bisa mengurangi jumlah tikus secara alami. Se lain itu, mereka ingin pembasmian itu bisa berlangsung dalam waktu lama secara terus-menerus. “Waktu itu berpikir bagaimana bisa mengendalikan tikus secara alami,” ujarnya. Melalui mulut ke mulut serta browsing di internet, akhirnya dia kenal burung bermuka monyet itu. 

Dari situ, Kastowi melanjutkan perburuan informasi mengenai tem pat yang telah menggunakan burung se bagai predator alami tikus. “Waktu itu kita tahu burung ini. Kita sampai belajar ke Demak,” tuturnya. Dia juga masih ingat awal proses pengem bangbiakan burung tersebut. Saat itu Kastowi bersama anggota ‘’Lintas Les tari’’ mencari burung di sekitar tem pat tinggalnya. Kemudian, burung itu di karantina bersama kelompok tani tersebut. Hal itu untuk mengetahui perilaku alami bu rung yang menjadi simbol Densus 88 Antiteror tersebut dengan teori yang sudah dia pelajari.

“Setelah belajar kita cari bu rung di sini, kita pelajari perilakunya,” tuturnya. Dari jumlah awal enam ekor saat pertama pe ngembangbiakan, kini populasi burung itu telah menjadi sekitar 60 ekor lebih. Menurut Kastowi, kesulitan saat awal menangkar burung bermata simetris itu ada lah penyediaan pakan. Anakan burung ha rus disediakan pakan berupa tikus. Saat itu dia dan kelompoknya pernah mencari tikus sampai di Kecamatan Muncar. 

Sebab, mereka mengalami kesulitan mencari tikus di sekitar tempat tinggalnya. “Yang agak sulit awalnya ya mencari pakan berupa tikus,” keluhnya. Menurut Kastowi, satu burung dalam semalam bisa memakan sekitar empat ekor tikus. Yang menarik dan menguntungkan bagi petani dari pola makan tersebut, ternyata naluri berburu satwa itu lebih besar. Meski kekuatan memakan hanya empat ekor tikus, tapi binatang itu bisa membunuh lebih dari itu.

Kesimpulan itu diambil dari percobaanyang pernah dilakukan. Saat itu Kastowi bersama kelompoknya memasukkan sekitar 200 ekor tikus ke dalam sangkar penangkaran.Dari jumlah tersebut, diketahui yang tinggal kepala hanya empat ekor. Sisanya mati tapi hanya terluka di bagian tubuh tertentu. “Dua ratus ekor tikus mati semua, tapi yang dimakan hanya empat,” tegasnya. Kini, setelah setahun lebih berjalan, burung-burung itu telah mandiri. 

Mereka menempati pagupon yang telah di sediakan di persawahan. Guna menjaga perkembangbiakan di alam. Setiap pagi dan sore, Kastowi dan kawan-kawan selalu memeriksa bagian bawah pagupon. Pengecekan itu dilakukan untuk me ngantisipasi jika ada anakan burung yang ter jatuh. Sebab, selain posisi pagupon lumayan tinggi, tidak jarang apabila tidak ter sedia mangsa, indukan akan kanibal dan memakan anak sendiri. “Setiap pagi dan sore kita periksa sekitar pagupon.

Kalau ada anak burung yang jatuh, kita rawat di sangkar karantina,” jelasnya. Sementara itu, pengembangan burung hantu itu mendapat sambutan hangat pemerintah desa. Pemerintah desa telah mengeluarkan peraturan desa (perdes) untuk melindungi burung hantu. Papan–papan peringatan mengenai larangan berburu burung pun dipasang di sawah dan gang-gang desa. Hal itu dilakukan demi melindungi kelangsungan hidup burung hantu. 

Kades Wringinrejo, Muadim Damiri mengatakan, pihak desa sengaja menerbitkan per des tentang larangan berburu burung. Se lain untuk melindungi habitat satwa se cara umum, Kades Muadim mengaku penerbitan perdes tersebut memang untukmembantu kelangsungan hidup burung hantu ini. “ Kita terbitkan perdes biar ke beradaan burung ini terjaga,” tegasnya. Kini, masyarakat sudah mulai melirik keampuhan burung hantu sebagai predator tikus yang ramah lingkungan.

Beberapa pagupon juga sudah mulai didirikan di per sawahan di luar Dusun Tamanrejo. Tidak hanya itu, masyarakat di luar DesaWringinrejo juga mulai melirik ini untuk dikembangkan di desanya. Menurut Kades Muadim, burung hantu pembasmi tikus sudah banyak mengundang perhatian berbagai pihak. Namun sampai saat ini, pengelolaannya masih mandiri oleh masyarakat. Selain itu, pihak kelompok Lintas Lestari juga tidak berniat menjual burung tersebut. 

Namun jika ada kelompok tani yang ingin menangkarkan burung secara serius di tempatnya, maka pihaknya siap membantu. “Burungnya gratis, tapi untuk pakan harap dibantu, soalnya cari tikus untuk pakan lumayan sulit,” jelasnya. Kendala di lapangan yang saat ini masih ter jadi yakni keinginan mereka membuat pagupon permanen. Rumah permanen burung itu, tiangnya terbuat dari beton dengan bentuk sangkar lebih bagus. Hal ini sangat penting karena pagupon yang ada saat ini masih disangga tiang bambu.

Padahal jika terkena terpaan angin, tiang bambu akan bergoyang. Padahal untuk proses penetasan dan perkembangbiakan, kurang bagus jika sarang sering bergoyang.Se lain itu, sarang yang goyang mengganggu proses pembiakan dan telur rawan jatuh. Baik Kastowi maupun Kades Muadim berharap, ada bantuan dari pemerintah dalam pembiakan burung hantu pembasmi hama tersebut. “Bantuan yang kami inginkan sederhana, bantu bikinkan pagupon,” pungkasnya. (radar)