Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Dari Sampang Hijrah ke Banyuwangi, Jalan Kaki 17 Km

TINGGAL KENANGAN: Bupati Anas mencium tangan abah tercintanya (alm) KH. Achmad Sayyidi.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
TINGGAL KENANGAN: Bupati Anas mencium tangan abah tercintanya
(alm) KH. Achmad Sayyidi.

Genap tiga hari ini ayahanda Bupati Abdulah Azwar Anas, Kiai Musayyidi wafat. Kepergian Kiai Musayyidi masih mengundang perhatian banyak orang. Hingga kemarin, (5/8) ucapan belasungkawa masih terus mengalir.

-ABDUL AZIS, Tegalsari –

SUASANAduka masih terasa di rumah orang tua Bupati Abdullah Azwar Anas di Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari. Puluhan karangan bunga berjejer di pintu masuk menuju rumah duka. Ada dari Wagub Jatim, Sekdaprov, DPP PKB, hingga sejumlah perusahaan ternama. Di sela ramainya tamu yang datang, kalimat tahlil menggema di rumah duka. Maklum, hingga hari ketiga kepergian Kiai Sayyidi, masih berlangsung tahlilan yang dimulai pukul 16.00 hingga jelang berbuka puasa.

”Tahlilan akan terus berlangsung hingga hari ketujuh nanti,’’ ucap Bupati Anas di sela menerima tamu yang datang sore itu. Sosok Kiai Musayyidi memang cukup dikenal di desa tersebut. Ketokohannya hingga kini masih dibicarakan banyak orang. Ibarat pepatah, orang besar adalah dia yang melahirkan orang besar. Kalimat itulah yang kerap mengundang pertanyaan banyak orang tentang sosok KH. Achmad Musayyidi.

Dia adalah kiai asal Sampang, Madura yang lahir pada tahun 1939 silam. Perjalanannya ke Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari, dimulai pada tahun 1943 atau memasuki usia 4 tahun. Kala itu, Sayyidi yang sejak kecil ditinggal wafat bapaknya, almarhum Manaqib, diajak oleh sang ibu, Khorija, untuk menyeberang ke Surabaya bersama beberapa saudaranya.

Turut dalam rombongan adalah empat kakak Sayyidi. Mereka adalah Rohimah (ka-kak perempuannya), dan tiga kakak laki-laki masing-masing Mahroji, Muhlison, Abdul Aziz, dan seorang pamannya bernama Dhofir. Dari Surabaya, rombongan dari Madura, ini naik kereta api kuno atau sepur klutuk menuju arah timur dan turun ke Stasiun Kalisetail, Kecamatan Sempu.

Ketika sampai di Sempu, rombongan yang kala itu tidak memiliki sanak famili di Banyuwangi, melanjutkan perjalanan menuju arah selatan yang sekarang menjadi Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari. Perjalanan dari Stasiun Kalisetail, Keca-matan Sempu menuju arah Karangodoro, yang jaraknya sekitar 17 kilometer ini ditempuh oleh Khoiriya bersama anak-anaknya dengan cara jalan kaki.

Kala itu memang tak ada angkutan umum, karena kondisinya memang masih hutan. Nahsetelah sampai di sebuah tempat, tepatnya di Desa Karangdoro, Khoiriya dan anak-anaknya serta Dhofir, memilih berhenti di situ, lalu memutuskan bertempat tinggal dan babat hutan di tempat tersebut. Kala itu, lokasi yang menjadi tempat tinggal Sayyidi kecil berada di sebelah utara Pondok Pesantren Mabadi’ul Ihsan, yang dia asuh sampai akhir hayatnya.

Kedatangan rombongan ini juga diketahui oleh sesepuh kampung setempat, yaitu Mbah Karso Joyo. Dia juga dikenal sebagai orang kaya dan memiliki ilmu agama yang cukup mumpuni. Belakangan, Mbah Karso Joyo ini memberi perhatian lebih kepada sosok Sayyidi kecil. Melalui kelebihan yang dimiliki, sesepuh kampung tersebut mampu ”meramal” kalau Sayyidi akan menjadi orang besar.

“Sehingga saat itu, Mbah Karso Joyo memberikan perhatian tersendiri pada Abah (Kiai Musayyidi, Red), selain dididik kadang juga dibelikan baju,” tutur Murtasimah, salah satu putri almarhum Kiai Musayyidi. Nahketika memasuki usia muda, atau sekitar tahun 1959-an, Kiai Sayyidi mulai belajar ilmu agama. Dia memilih belajar ke Pondok Pesantren Bustanul Makmur, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, yang kala itu diasuh oleh almarhum KH. Djunaidi.

Selama di pesantren ini, selain belajar ilmu agama, dia juga banyak berkenalan dengan santri lain, yang kala itu sering ikut pengasuh pesantren untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bila di bandingkan santri kebanyakan, Kiai Sayyidi juga terbilang sebentar nyantridi Kebunrejo. Dua tahun kemudian, dia memutuskan untuk pulang kampung dan mengajar di musala tempat tinggalnya.

Hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti Bulan Ramadan, Sayyidi muda menghabiskan waktunya di beberapa pesantren di Pasuruan, untuk mengikuti khataman kajian kitab kuning secara kilat atau cepat. Setelah Ramadan, dia balik lagi ke kampung halaman untuk mengajar di musala yang terbuat dari bambu, sebagaimana biasanya. Tak lama kemudian, atas hasil istikharah Kiai Djunaidi, akhirnya Sayyidi muda menikah dengan Siti Aisyiah, gadis asal Pedotan, Kecamatan Bangorejo, yang kala itu masih berusia 12 tahun.

Mengenai belajarnya di pesantren yang hanya sebentar ini, almarhum pernah menyampaikan bahwa cara belajarnya memang tidak sama dengan anak-anaknya saat ini. Cerita tersebut seolah menyiratkan bahwa almarhum memiliki kelebihan tersendiri dalam menangkap materi pelajaran selama di pesantren.

“Beliau pernah bilang, Aku gak podo belajare karo awakmu, nek belajare koyok awakmu kesuwen(saya nggaksama belajarnya dengan kamu, kalau belajarnya kayak kamu terlalu lama, Red),” ujar Syukran Makmun Hidayat, salah seorang putra Kiai Musayyidi menirukan ucapan ayahandanya tersebut.

Selain mengajar ilmu agama kepada masyarakat sekitar, Sayyidi muda yang kala itu masih intens membangun komunikasi dengan Kiai Djunaidi dan rekan-rekannya di pesantren, juga dikenal sering memberikan ilmu kekebalan kepada para murid-muridnya. Sebab kala itu, situasi di Banyuwangi memang sedang kacau.

Pemberontakan demi pemberontakan termasuk yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi alasan utama mengapa dia harus memberikan ilmu kekebalan pada murid-muridnya. Bahkan hampir setiap hari juga banyak masyarakat umum yang datang ke rumahnya, untuk minta diberi ilmu kekebalan. “Dulu bapak memang sering ‘ngisi’ orang kayak gitu,” tutur Murtasimah.

Namun tanpa di sadari, sikap Sayyidi muda ini justru mengundang kemarahan pihak PKI. Suatu hari ketika menjadi imam salat di musala, mendadak ada rombongan PKI yang datang. Saat tiba di musala, rombongan PKI tersebut langsung menyeret Kiai Sayyidi yang sedang menjadi imam salat. Bukan hanya itu, tubuh Sayyidi muda juga dicincang pakai tali, lalu diseret dengan mobil menuju sebuah tempat di Desa Jajag, Kecamatan Gambiran.

Jaraknya sekitar 10 kilometer arah timur dari tempat tinggal Kiai Sayyidi. Melihat hal itu, para jamaah musala tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa bersedih menyaksikan gurunya disiksa. Bahkan mengira Sayyidi muda meninggal dunia akibat diseret dengan mobil tersebut. Namun ketika sampai di sebuah tempat di Desa Jajag, dan mobil yang menarik tersebut berhenti lalu meninggalkan tubuh Sayyidi begitu saja, ternyata yang bersangkutan masih hidup, meski dengan luka berdarah di tubuhnya.

Parahnya bekas-bekas luka tersebut tetap saja membekas sampai almarhum menghembuskan nafas terakhirnya. Bila bajunya dibuka, luka-luka bekas diseret mobil di tubuh Kiai Sayydi masih kelihatan. “Di perut abah masih ada bekas luka-luka, bahkan ada lubang di perut abah bekas luka karena diseret mobil PKI,” tutur Murtasimah. (radar)