CUACA di sekitar Pasar Genteng, Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, cukup panas siang itu (14/1). Lalu-lalang warga yang akan belanja ke pasar terlihat cukup ramai. Sejumlah pedagang juga banyak yang melakukan bongkar barang dari mobil dan motor.
Di tengah hiruk-pikuk keramaian di Pasar Genteng itu, di jalan kecil di barat pasar tampak dokar sedang parkir. Angkutan tradisional yang ditarik kuda itu sudah beberapa jam menunggu penumpang. Hingga awal 1990-an, dokar menjadi salah satu alat transportasi utama warga yang akan bepergian atau berdagang.
Memasuki tahun 2.000, popularitas angkutan itu mulai meredup seiring membeludaknya motor dan angkutan umum. Dokar yang biasa parkir di Pasar Genteng kini jumlahnya tinggal hitungan jari. Giroh alias Rohadi, 54, dan Slamet Aff andi, 33, dua warga dari Desa/Kecamatan Tegalsari, merupakan yang tersisa dari pemilik dokar yang masih bertahan.
“Saya hanya melayani pelanggan,” terang Rohadi. Rohadi mengaku setiap pagi membawa dokar ke Pasar Genteng untuk mengangkut kelapa atau barang dagangan lain milik pelanggan. “Selain barang dagangan, juga mengangkut orang,” katanya.
Untuk mencari penumpang, saat ini sangat sulit. Dalam sehari, biasanya hanya membawa tiga penumpang dan barang dagangan milik pelanggan. “Tarif dari Tegalsari ke Genteng Rp 10 ribu,” ungkapnya. Rohadi yang telah dikaruniai satu cucu itu, mulai kerja menjadi kusir dokar sejak awal 1990-an. Hingga saat ini, bertahan karena pekerjaannya ini dianggap sudah menjadi darah dagingnya.
“Perawatan relatif mudah dan murah, pakan bisa mencari sendiri,” terangnya. Satu-satunya hambatan dalam menekuni usaha sebagai kusir dokar, ayah dari Nita Fatmawati, 23; Toni Hermanto, 16; dan Luluk Apsari, 11, itu menyebut saat musim hujan. Bila sering kena air hujan, kuda sering terkena penyakit.
“Kalau cuaca panas baik,” jelasnya. Kusir dokar lainnya, Slamet Affandi, 33, menyampaikan peminat dokar makin sedikit. Warga yang menekuni usaha dokar, juga menyusut. “Sekarang mencari penumpang sangat sulit,” katanya.
Merasa pendapatannya menyusut, Slamet pernah mencoba melakukan terobosan dengan menyewakan kuda di sekitar wisata Pantai Pulau Merah, di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Dalam usaha barunya itu, ternyata pendapatannya cukup lumayan.
“Sehari bisa mendapat Rp 100 ribu,” ujarnya. Meski penghasilannya dianggap cukup lumayan, Slamet tidak bisa melanjutkan usaha baru itu. Itu diantaranya karena jarak rumah dan lokasi yang cukup jauh. Untuk makanan, di tempat wisata juga tergolong mahal. “Saya akan beli makan harganya mahal,” dalihnya. (radar)