RadarBanyuwangi.id – Banjir yang memutus tiga jembatan menuju Kampung Mbaung, Dusun Sumberurip, Desa Barurejo, Kecamatan Siliragung pada Sabtu (14/12) lalu, akibat hujan intensitas tinggi. Tapi faktor lain rupanya juga memperparah kondisi itu.
Salah satu faktor yang paling berpengaruh pada kondisi alam saat hujan lebat terjadi di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Karangharjo, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Genteng, Perhutani KPH Banyuwangi Selatan itu karena deforestasi. Pohon-pohon hutan yang semula memenuhi kawasan tersebut, kini beralih menjadi tanaman hortikultura seperti jagung dan terong.
Dari pantauan Jawa Pos Radar Genteng, wilayah hutan yang di dalamnya diisi 233 Kepala Keluarga (KK) itu, pepohonan di kawasan tersebut sudah mulai berkurang. “Salah satu faktor penyebab banjir karena kerusakan alam. Bisa dilihat pepohonan sudah mulai berkurang berganti tanaman horti,” kata Kepala Desa Barurejo, Kecamatan Siliragung, Ahmad Zaenuri, Senin (16/12).
Menurut Zaenuri, kerusakan hutan di wilayahnya itu sejatinya sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Pembalakan liar dan alih fungsi hutan menjadi lading, sudah terjadi sejak 1996. “Sejak 90-an sudah ada, peralihan lahan ini sebenarnya sudah sejak lama,” katanya.
Baca Juga: Jalan Nakes dan Anak Sekolah, Perbaikan 1 Jembatan Dikebut Secara Swadaya
Dampak perubahan iklim akibat deforestasi itu, terang Zaenuri, mulai terasa sejak lima tahun belakangan ini. Setiap hujan lebat turun, Kali Lele selalu banjir hebat. “Saya memonitor yang lima tahun terakhir ini, sejak saya menjabat,” katanya.
Tidak adanya dedaunan pemecah air hujan, jelas dia, ditengarai menjadi penyebab utama tingginya debit air yang ikut masuk ke ke sungai. “Dulu jalur airnya tidak seperti ini, sejak sering terjadi banjir, jalur airnya berubah sampai merusak pondasi jembatan sungai,” ungkapnya.
Apa yang disampaikan Zaenuri itu benar, jembatan di Kali Lele yang putus akibat banjir itu, tidak sekali ini terjadi. Lima tahun terakhir, jembatan putus itu sudah empat kali terjadi. “Ini yang keempat (jembatan putus), jadi sebenarnya sudah sangat sering,” katanya.
Zaenuri mengaku sudah memiliki formula untuk bisa membenahi masalah tersebut. Hal ini sejalan dengan adanya legalisasi penggarapan lahan hutan oleh masyarakat melalui program dari Kementerian Lingkungan Hidup, yakni Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). “Sejak dua tahun terakhir warga kita punya SK (surat keputusan) untuk menggarap lahan,” tandasnya.
Luasan lahan yang bisa digarap warga Desa Barurejo di program tersebut, terang Zaenuri, seluas 5.200 hektare. Tidak hanya digarap, program itu juga punya tujuan untuk memperbaiki tata kelola hutan. “Ada aturannya agar warga menanam pohon hutan dan pohon buah-buahan di lahan tersebut,” cetusnya.
Setiap dua hektare lahan yang bisa digarap satu orang, Zaenuri menyebut 30 persen harus ditanami pohon hutan, dan 50 persen ditanami pohon buah. “Sisanya, 20 persen boleh ditanami hortikultura,” ucapnya.
Dengan adanya aturan tersebut, jelas dia, kerusakan lahan akibat hilangnya pohon-pohon besar bisa dikendalikan. “Dua tahun terakhir ini masih sosialisasi. Pelan-pelan kami sampaikan ke pada warga yang mendapat hak untuk menggarap lahan ini, tahun 2025 nanti insya Allah bisa mulai banyak yang alih tanaman,” pungkasnya.(sas/abi)








