Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Jenang Suro Dipopulerkan Eks Penjual Siomay asal Sunda

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

jenagMASAKAN jenang suro atau bubur suro bagi masyarakat suku Osing biasanya hanya ditemukan pada  bulan Suro kalender Jawa (bulan Muharram kalender Islam). Namun, belakangan ini jenang tersebut dengan mudah ditemui di beberapa sudut kota Banyuwangi. Jenang suro kini jadi makanan yang digemari warga dan sudah menjadi sajian kuliner komersial yang dijual di rombong-rombong pinggir jalan. Adalah Koko Komarudin, 20, warga asal Majalengka, Jawa Barat, yang mengaku pertama kali tertarik menjual jenang suro.

Awalnya, pemilik rombong yang berjualan jenang suro di Jalan Letjen Sutoyo, Banyuwangi, ini datang ke Kota Gandrung hanya ingin berjualan siomay.  Namum, setelah menetap di Banyuwangi, dia tergelitik menjual makanan khas Banyuwangi tersebut. “Ya, ini usaha kakak kandung saya, Asep Saiful Uyum. Awalnya kakak berjualan siomay. Sejak setahun lalu kakak berubah haluan berjualan jenang suro,” jelasnya. Menurut Koko, ide berjualan jenang suro itu berawal dari istri kakaknya yang lahir di Banyuwangi. Meski begitu, Istri Asep tersebut masih keturunan Sunda.

“Di Banyuwangi itu kan seperti wajib membuat jenang suro di bulan Muharram. Dari situ  saya memberanikan diri membuat dan menjualnya setiap hari,” terang pria yang tinggal di Jalan Brantas, Kelurahan Pengantigan, Banyuwangi, itu. Ide berjualan jenang suru sempat dianggap aneh oleh para pedagang asal Sunda yang menetap di Banyuwangi. “Dia kan orang Sunda aneh kalau kata saya, masak orang Sunda jualan jenang Suro,” canda Topan, pedagang siomay asal Sunda yang biasa mangkal di samping rombong milik Koko.

Saat ini ada dua rombong milik keluarga Koko yang berjualan jenang suro. Selain di Jalan Letjen Sutoyo, juga ada rombong jenang sum di dekat jembatan Commental, kawasan Pecinan, Kelurahan Karangrejo, Banyuwangi. “Kita mempunyai dua rombong untuk jualan jenang suro. Dulu rombang itu ya untuk jualan siomay. Sejak setahun lalu rombong kita sudah diganti dengan tulisan jenang suro. Kita sudah tidak berjualan siomay lagi, berubah total jualan jenang suro setiap pagi,” jelas Koko.

Ditanya alasan mengapa berubah total menjual jenang suro dibandingkan jualan siomay, menurutnya jenang suro lebih praktis dibandingkan siomay. “Selain itu, pendapatan kita lebih banyak saat kita jualan jenang sure dibandingkan saatjualan siomay. Membikinnya juga gampang dan praktis. Satu jam sudah jadi,” beber Koko. Meski rasanya tidak segurih jenang suro asli Banyuwangi, tapi sebagai orang Sunda yang berjualan jenang suro, sampai saat ini dia belum pernah mendapat komplain para konsumen mengenai taste (cita rasa).

“Alhamdulillah secara umum tidak banyak yang komplain mengenai rasa. Mungkin karena kakak ipar saya sudah lama di Banyuwangi, Jadi, bumbu-bumbu jenang suro ini dia sudah hafal. Ya mudah-mudahan jenang suro buatan orang Sunda ini cocok di lidah orang Banyuwangi,” ujar pria yang hijrah ke Kota Gandrung sejak lulus SMA tersebut.  Koko mengaku, semua pelanggan kritis kadang menanyakan tentang jenang suro tersebut. Misalnya, bubur berasnya kok polosoan, tidak ada campuran.

Selain itu, kelapa yang diiris kecil dan digoreng atau yang disebut serundeng juga tidak ada. “Tapi jarang orang yang tanya detail seperti itu. Namun, apabila mereka menghendaki agar jenang suro itu mendekati aslinya, kami akan usahakan demi kepuasan pelanggan,” tegas Koko.  Sementara itu, anak muda atau orang kata yang menjadi pelanggan jenang suro itu memang tidak mempermasalahkan isi bubur tersebut. Penikmat kalangan muda umumnya mengaku sudah puas.

“lsi jenang suro yang dijual ini sudah hampir sama seperti yang dibuat di keluarga saya setiap Muharram Cuma mungkin kurang sedap saja. Kalau di bandingkan dengan jenang suro di kampung saya, rasa sedapnya kurang nendang sedikit. Tapi enggak apa-apa, saya nggak harus menunggu bulan Muharram untuk menikmatinya,” terang Wulansari 24, warga Desa Benculuk, Kecamatan Cluring.  Jenang suro made in keluarga Koko hampir selalu ludes setiap hari. Pada hari-hari biasa, menghabiskan satu panci jenang suro membutuhkan waktu agak lama dibandingkan di hari libur.

“Cocok memang buat sarapan pada Minggu atau hari libur. Kalau hari biasa, dagangan habis pukul 09.00 atau pukul 10.00. Kalau hari Minggu atau hari libur, pukul 08.00  sudah habis,” jelas Koko.  Koko ntcngalat sering mendapat pesanan dari konsumen dalam jumlah banyak. Namun, pesanan jenang suro dalam jumlah banyak tersebut hampir pasti terjadi pada bulan Muharram. “Kadang ada juga yang pesan banyak selain bulan Muharram, lviasanya buat pengajian dan arisan. Tetapi, biasanya order dalam jumlah banyak itu terjadi di bulan Muharram.

Katanya digunakan selamatan dan diantar kepada tetangga. Kalau beli mungkin lebih praktis, karena enggak usah memasak di rumah,” kata pria kelahiran 17 juli 1994 tersebut.  Ditanya apakah tahu filosofi jenang suro Banyuwangi setiap bulan Muharram itu? Koko mengaku hanya tahu jenang suro itu biasa digunakan selamatan pada bulan Muharram. “Kalau filosofi saya kurang paham,” ujarnya.  Sekadar tahu setiap 10 Muharram masyarakat Suku Osing biasanya membuat jenang suro dan dibagikan kepada para tetangga.

Pembuatan jenang Suro tidak harus tepat tanggal 10 Muharram, boleh juga dilakukan pada tanggal lain sepanjang Muharram. Pembuatan jenang suro di bulan Muharram itu bertujuan mengenang pejuangan Nabi Nuh menyelamatkan umatnya dari bencana air bah. Bahan-bahan dalam jenang suro melupakan simbol perbekalan Nabi Nuh.  Jenang sum ala manga Osing itu terbuat dari belas. Tetapi, isinya ketela Jagung, kacang, talas, dan lain-lain. Konon, barang-barang itu merupakan simbol sisa bekal Nabi Nuh bersama umatnya.

Kemudian, Nabi Nuh memerintahkan umatnya memasak bekal itu menjadi satu supaya cukup  kepada umat yang selamat. Sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang di berikan atas musibah tersebut. Sebelum jenang suro dibagikan kepada tetangga, biasanya diawali pembacaaan doa khusus tentang keselamatan dan rasa syukur. Doa tersebut dibacakan sebelum jenang suro dibagikan dengan tujuan agar jenang yang dibagikan tersebut bermanfaat bagi warga yang mendapatkan dan diberi berkah oleh Tuhan dalam kehidupan. (radar)