Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Karakter dan Rias Jaranan Buto Terinspirasi Cerita Prabu Minak Jinggo

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Mbah-Darni-di-gudang-penyimpanan-perlengkapan-jaranan-buto-yang-dimiliki-sejak-tahun-1965-kemarin

JARANAN buto kini telah menyebar di telatah Bumi Blambangan. Hampir di setiap kecamatan kini telah ada  paguyuban jaranan buto. Bahkan, di Desa Galekan, Kecamatan Wongsorejo, ada tiga paguyuban jaranan buto.

Perkembangan jaranan buto itu tidak bisa lepas dari para pencetusnya, Darni Wiyono, 76, warga Dusun Cemetuk,  Desa/Kecamatan Cluring; Setro Asnawi  dan Usik asal Dusun Tanjungrejo, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo.

“Dulu bersama (membuat jaranan buto)  Mbah Setro. Dia sering ke sini, kita bikin kreasi dan akhirnya jadi jaranan buto hingga seperti saat ini,” kata Darni saat ditemui di rumahnya kemarin (26/8).  Jaranan buto hasil kreasinya bersama  Setro itu digagas pada 1964. Tetapi, setelah  tahun 1965 kesenian itu banyak mengalami   penambahan, terutama pada gerakan tari.

“Kalau riasnya tetap sama, cuma tariannya ada penambahan,” katanya. Kreasi jaranan menjadi jaranan buto itu  terinspirasi cerita legenda Prabu Minak  Jinggo. Hampir semua rias dan gerakan  itu berasal dari cerita raja di Kerajaan Blambangan itu.

“Buto di jaranan ini  mewakili karakter kesatria. Prabu Minak Jinggo itu kesatria Blambangan,” ungkapnya. Berdasar gerakan, jaranan buto beda  dengan jaranan songkler atau kuda  lumping. Perbedaan itu terletak padapostur pemain yang lebih gagah dan sangar. Tata rias lebih mengutamakan  dominasi warna hitam, merah, dan putih.

“Gendingnya juga banyak, ada glangsaran saat prajurit keluar,” jelasnya. Dominasi warna merah, putih, dan hitam, pada wajah penari jaranan buto itu asli  sejak awal dibuat bersama Setro. Corak  yang dipakai setiap penari berbeda karena menyesuaikan wajah dan postur tubuh masing-masing.

Jika pertunjukan dilangsungkan malam hari, penari biasanya akan mengurangi warna hitam karena  tidak terlalu tampak dan kalah dengan sorot lampu. “Kalau main malam hari  banyak memakai warna merah,” jelasnya.

Suka-duka memimpin jaranan buto tidak hanya terkait faktor seni semata. Yang tidak kalah penting, bagaimana mengatur hubungan paguyuban dengan penonton. Pertunjukan malam maupun siang tidak bisa lepas dari penonton.

Di antara penonton banyak yang tertarik dan seolah-olah ikut kesurupan seperti penari jaranan. Satu sisi itu menjadi kesenangan tersendiri karena jaranan diminati dan mendapat perhatian.  Tetapi, sisi lain, sering kali merugikan per tunjukan karena adanya penari dari penonton  yang kesurupan itu mengganggu durasi.

“Saya kurang suka kalau ada penonton ikut ndadi.  Itu mengganggu jadwal urutan penari,” ucapnya. Hingga kini Darni tetap memilah kelompok  jaranan dan penonton yang ingin terlibat dalam tarian jaranan. Jika penonton itu memiliki latar belakang seni, maka akan diberi jatah  waktu ikut menari.

“Saya lihat dia itu memang seniman, saya beri jatah lima menit,” jelasnya.  Tetapi, jika penonton itu hanya ingin tampil untuk gaya-gayaan, maka terpaksa ditolak dengan cara yang halus. “Kita membedakan penonton yang serius dan anak gunggungan. Yang demikian itu akhir-akhirnya cuma cari kisruh,” ucapnya.

Jauh hari sebelum pertunjukan jaranan di suatu  tempat, dirinya terlebih dahulu me me takan karakter masyarakat, terutama para pemuda terhadap kesenian jaranan. Dia memilih mengantisipasi dengan cara menjalin komunikasi dengan tokoh pemuda dan ma syarakat. “Merawat kesenian itu  harus ramah demi menambah saudara,” jelasnya.

Darni merasa bersyukur melihat perkembangan jaranan buto yang kini telah menyebar di Banyuwangi. Yang dia ketahui, saat ini ada  sekitar 126 paguyuban jaranan buto yang  masih eksis. Tetapi, dalam daftar yang ada,  jumlahnya malah mencapai 150 kelompok  lebih.

“Yang terdaftar 150 kelompok, tapi yang  aktif sekitar 126 kelompok,” ungkapnya.    Ketidaksesuaian data itu berkaitan dengan penari yang bergabung dengan dua paguyuban  berbeda. Hal itu di kalangan seniman lumrah.   Tapi, untuk kepentingan festival menyulitkan.

“Dalam festival itu penari tidak boleh ikut di dua   kelompok,” terangnya. Darni mengaku, festival jaranan buto itu sudah lama tidak ada. Pihaknya berharap ada yang bisa menggelar lagi demi kelangsungan kesenian tersebut.

“Bila ada festival, semua  paguyuban jaranan buto bisa tampil,” harapnya. Hanya saja, sebelum festival itu dilaksanakan,  undangan harus disampaikan jauh hari. Sehingga, kegiatan itu bisa berlangsung  maksimal. “Juga penarinya tidak ikut dua  kelompok,” ujarnya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :