Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Kiprah Jagal Legendaris Sugeng, Taklukkan Sapi Ngamuk Dengan Bacaan Selawat

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Kundo warso ilang gondone kari roso. Kalimat tersebut keluar dari mulut Sugeng, 58, menyertai sejumlah urutan doa berbahasa Arab. Bagi Sugeng dan teman seprofesinya, kalimat tersebut lazim diucapkan untuk memungkasi prosesi penyembelihan hewan kurban.

Dalam dunia perjagalan, kalimat itu merupakan bentuk kearifan lokal bagi para tukang jagal. Seperti halnya kalimat penutup dalam setiap kegiatan. Sebagai bentuk penghormatan atas hewan ternak yang disembelih.

Menghilangkan nyawa seekor sapi atau kambing tidak lantas menjadikan seorang jagal melakukan eksekusi itu dengan emosi amarah. ”Kita tidak boleh emosi, harus menyembelih dengan kasih sayang,” kata Sugeng ditemui di rumahnya di Dusun Watu Gong, Desa Wonosobo, Kecamatan Srono.

Siang itu, selepas menunaikan salat Id, Sugeng langsung kembali ke rumahnya. Tahun ini, dia absen dari panggilan menyembelih hewan kurban. Keputusan ini dia ambil lantaran untuk menghormati mendiang istrinya. ”Tahun ini saya libur, ini bareng 40 hari istri saya meninggal,” ucapnya.

Padahal, jika mengingat Idul Adha tahun lalu, setidaknya ada 75 ekor kambing dan enam ekor sapi yang dia sembelih dalam sehari. Tidak butuh banyak waktu bagi orang seperti Sugeng untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Upah yang dia terima pun cukup lumayan, mulai Rp 50 ribu untuk kambing dan Rp 300 ribu untuk sapi. ”Sapi biasanya dikerjakan dua orang, rata-rata 30 menit,” terangnya.

Dunia perjagalan seperti sudah mendarah daging bagi bapak empat anak ini. Aktivitas ini sudah dia tekuni sejak 21 tahun silam. Tidak hanya di Banyuwangi, reputasinya sebagai tukang jagal juga dikenal di bumi Papua, tepatnya di daerah Manokwari. ”Saya belum lama di sini, saya baru pulang dari Papua,” ujarnya.

Selama di Papua, tidak hanya sapi dan kambing yang dia sembelih. Kearifan lokal masyarakat setempat membuat dirinya memiliki pengalaman menyembelih rusa. ”Di sana banyak rusa,” imbuh Sugeng.

Menyembelih hewan kurban, menurut Sugeng, tidak cukup hanya mengucap basmalah. Baginya, serangkaian doa harus diucapkan agar prosesi berjalan khidmat. Mulai dari syahadat, selawat, takbir, doa khusus, dilanjutkan doa berbahasa Jawa. Semua itu dilakukan untuk menghargai kehidupan setiap makhluk yang bernyawa.

”Insya Allah kalau doanya lengkap dagingnya tidak amis dan baik,” kata Sugeng.

Keampuhan selawat juga dia buktikan pada 1990 silam. Saat itu ada keluarga TNI di daerah Bongkoran yang mengadakan hajatan. Tanpa diduga, sapi yang akan disembelih mengamuk, kandang berukuran empat kali empat roboh diterjang. Banyak orang kewalahan.

Hingga akhirnya tuan rumah mengeluarkan semacam sayembara. Kabar itu pun sampai ke telinga Sugeng. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia pun memutuskan untuk ambil bagian. Berbekal pengalaman dan keyakinan, Sugeng pun mencoba menenangkan sapi yang akan disembelih.

Saat itu, dia ingat wejangan dari para orang tua untuk menjinakkan hewan yang mengamuk. Cara yang paling ampuh bisa dilakukan dengan mengucap selawat. Ditambahi dengan menyelipkan lidi seukuran panjang tanduk binatang tersebut di pinggang.

”Setelah saya lakukan itu, tiba-tiba sapinya ndeprok di depan saya, ya ini ilmunya dari beberapa kiai,” kenangnya.

Atas keberhasilan tersebut, nama Sugeng semakin dikenal. Pihak tuan rumah pun memberinya hadiah uang senilai Rp 50 ribu. ”Saat itu saya mendapat upah cukup banyak, beras saja masih Rp 10 rupiah per kilogramnya,” tandas Sugeng.

Kata kunci yang digunakan :