Cari Data Rekam Medis, Datangi RSUD Blambangan
BANYUWANGI – Kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam peristiwa pembunuhan dukun santet yang terjadi di Banyuwangi tahun 1998-1999 silam, kembali ditelusuri komisi nasional hak asasi manusia (Komnas Ham).
Komnas HAM mengunjungi RSUD Blambangan Banyuwangi kemarin (21/9). Mereka mencari data rekam medis mengenai korban-korban kasus santet periode 1998-1999, yang sempat dibawa ke rumah sakit pelat merah tersebut. Sayangnya, data rekam medis yang mereka cari tak bisa didapatkan kemarin.
Petugas rumah sakit pun berusaha mencari data rekam medis yang menunjukkan data korban. Tetapi data tersebut sudah tidak lagi tersimpan di RSUD Blambangan. Akhirnya, Direktur RSUD Blambangan, dr Tauiq Hidayat Sp.And menghadirkan dua orang petugas yang menjadi saksi mata peristiwa pembunuhan santet tersebut.
Yang dihadirkan adalah seorang petugas penjaga kamar mayat dan seorang perawat yang menangani pasien- pasien di Unit Gawat darurat (UGD). “Saya periksa ternyata arsip di bawah tahun 2000, sudah tidak ada di sini. Kita tidak
tahu, dari manajemen lama seperti apa kebijakan saat itu, untuk masalah penyimpanan arsip. Karena jika melihat standardnya, data rekam medis hanya di simpan selama 7 tahun,” terang lelaki yang juga dokter spesialis Andrologi itu.
Meski demikian, Tauiq menyatakan bahwa pihaknya akan mencoba membantu menelusuri lokasi penyimpanan arsip. Atau setidaknya, pihak RSUD mencoba menemukan data yang ada. “Sementara kita bantu dengan keterangan dua petugas kami. Kata penjaga kamar mayatdia sempat melihat empat korban, sedangkan perawat melihat dua korban. Tapi semua korban meninggal dunia,” tambahnya.
Sementara itu, Anggota Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron mengatakan, dirinya memperoleh mandat untuk kembali menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM pembunuhan dukun santet pada 1998-1999. Penyelidikan ini menurutnya dihidupkan kembali pada tahun 2015 lalu.
Pembukaan kembali kasus ini berdasar UU nomor 26 tahun 2000, dan aduan dari masyarakat. Menurut Nurkhoiron, Banyuwangi menjadi salah satu wilayah terjadinya kasus dugaan pembunuhan bermodus dukun santet. Selain Banyuwangi, kasus serupa juga terjadi di Kabupetan Jember, Kabupaten Lumajang, dan sekitarnya.
Kasus semacam itu juga berdampak pada wilayah lain di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) hingga Tasikmalaya, Jawa Barat. “Berdasarkan data dari pengurus NU (Nahdlatul Ulama), jumlah korban di Banyuwangi sekitar 200-an orang.
Penyelidikan yang kita lakukan dari berbagai sumber, baik keluarga korban dan saksi. Tetapi yang paling otentik, kita butuhkan rekam medis dari rumah sakit,” jelas Nurkhoiron. Nurkhoiron menambahkan, Komnas HAM sudah meminta inventarisasi dari Pemkab Banyuwangi terkait data korban sejak tahun 2000 lalu.
Namun ternyata, langkah tersebut tidak dilakukan pemkab, termasuk upaya melindungi korban dan melakukan pengobatan kepadanya. Karena itu, dirinya berharap bisa memperoleh data medis korban dari RSUD Blambangan. Terlebih di lapangan, kata dia, banyak keluarga korban dan saksi yang agak sulit untuk diajak berbicara mengenai peristiwa tersebut.
Dengan alasan, mereka ketakutan akan kembali diancam oleh pihak yang tidak suka dengan apa yang mereka sampaikan. “Data dari Polres dan Kejaksaan sudah, tinggal dari Rumah Sakit dan keterangan keluarga korban. Kadang kita kesulitan melakukan BAP di lapangan karena minimnya LSM dan organisasi sipil yang mendampingi korban dan keluarganya,” ujarnya. (radar)