Abdul Hamid, Perajin Layang-layang Asal Desa Genteng Wetan
DERETAN layang-layang terlihat berjajar di sisi timur jalan raya Dusun Krajan, Desa/Kecamatan Gambiran, tepatnya di sebelah utara kompleks RS Al-Huda. Layang–layang berbahan kain peles atau asahi itu memiliki beragam motif, mulai karakter Angry Bird, Shaun The Seep, hingga menyerupai barong Banyuwangi dengan ekor yang menjuntai.
Bentuk dan motifnya yang warna-warni menarik perhatian pengguna jalan yang melintas. Deretan layangan tersebut membentang hampir 50 meter. Di tengahnya, Abdul Hamid, tampak sibuk menghitung keuangan di buku kecil.
Sesekali berhenti dan mengubah formasi layangan yang digantung sambil melayani pembeli yang datang. Itulah usaha yang dia tekuni hampir enam tahun terakhir. Sejak lulus SMPN 1 Sempu pada tahun 2004 silam, pria yang menghabiskan masa pendidikan di sekolah dasar di Desa Genteng Wetan itu sempat bekerja serabutan.
“Ini semoga ya tetap jalan. Sebelumnya saya kerja serabutan, apa saja dilakoni,” jelasnya. Perkenalan dengan layang-layang itu saat ada tetangganya yang kebetulan membawa layangan dari Blitar. Kemudian, tetangganya itu membuat untuk dijual kembali. Dia pun akhirnya ikut membantu. Pengalaman itu berlangsung hampir setahun. Selanjutnya, dia memberanikan diri mencoba keberuntungan dengan mem produksi dan menjual sendiri.
“Awalnya ikut tetangga, kemudian bikin sendiri saya kirim ke Bali,” katanya. Pasar layang-layang itu mudah-mudah gampang. Bahan baku, semua bisa mudah didapatkan di Banyuwangi. Bambu untuk rangka dan kain tersedia di Pasar Genteng dan Rogojampi. Tantangan usaha itu, layangan tidak bisa dijual sepanjang tahun.
“Penjualannya bergantung musim. Biasanya bulan tiga (Maret) sampai Agustus,” ucapnya. Meski sedang memasuki musim jual, pada Ramadan kali ini terasa berbeda. Tingkat penjualan di Pasar Banyuwangi menurun drastis. Beruntung, kondisi itu masih terbantu dengan kiriman ke luar pulau.
“Tidak tahu ya, sekarang kok sangat menurun dibanding tahun lalu. Untungnya masih ada yang dikirim ke Bali,” katanya. Meski tidak bisa jualan sepanjang tahun, tapi perputaran uang yang di peroleh dari bisnis mainan itu, terutama hasil dari pengiriman ke Bali dan daerah lain di anggap cukup besar.
Saat musim layangan tiba, dalam seminggu dia mampu menjual setidaknya 1.000 layang-layang untuk pasar Bali. Harga layangan itu mulai Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu per layangan. “Kalau ramai per minggu bisa Rp 30 juta hingga Rp 50 juta,” ungkapnya.
Saat ramai musim layangan, Hamid mengajak 15 orang dari tetangga untuk membantu membuat layangan. Mereka diberi upah dengan sistem borongan dengan harga Rp 3.500 per layangan. “Pokoknya tidak sampai seminggu itu saya membayar Rp 400 ribu per orang,” ungkapnya.
Saat ini Hamid sedang mencoba pengiriman untuk pasar luar pulau selain Bali, seperti Kalimantan. Harapannya, dengan kegiatan itu bersama tetangga bisa memperoleh untung yang lebih banyak lagi. “Inginnya mencoba pasar selain Bali, semoga bisa,” ucapnya. (radar)