Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Siswi Kelas 2 SMP Terkena Lupus

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Tirta-Andini-Maulida-Siswi-Kelas-2-SMP-Al-Anwari-Terkena-Lupus

BANYUWANGI – Tirta Andini Maulida, 15, siswi kelas 2 SMP, sepertinya harus mengubur impiannya menjadi seorang polisi wanita (polwan). Diagnosis dokter RS dr. Soetomo tiga tahun silam mengatakan di tubuhnya ada penyakit  autoimun (lupus).

Itu membuat anak kedua pasangan Pramadi, 43, dan Tirtasari, 40, itu nyaris tak bisa banyak beraktivitas. Ditambah lagi, penyakit yang menyerang kekebalan tubuh itu membuat anak yang akrab disapa Dini itu menderita glukoma dan osteoporosis.

Dini kini harus menjaga dirinya agar tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Jika terpapar matahari, kulit bocah berkacamata itu akan langsung mengelupas dan mengeluarkan cairan. Berbagai pengobatan sudah dilakukan Pramadi,  ayah Dini, demi kesembuhan  putri keduanya itu.

Namun, penyakit yang dianggap kalangan medis cukup sulit disembuhkan itu justru menggerogoti tulang belakang dan mata kirinya. Mata kirinya kini kian sulit digunakan melihat. Kondisi Dini, menurut Tirtasari, ibu kandung korban, mulai terlihat  memburuk pada tahun 2011.

Ketika itu anaknya demam berdarah dan sempat tidak sadarkan diri selama 4 hari. Setelah itu dokter di RSUD Blambangan mendiagnosis siswi SMP Al-Anwari itu menderita tubercolusis (TB) dada. Tirtasari pun mengupayakan perawatan berkali-kali hingga 9 bulan lamanya.

Belum juga dinyatakan sembuh dari TB dada, tiba-tiba kondisi  tubuh Dini berubah. Anaknya tersebut tiba-tiba kejang dan membiru hingga tangannya  menekuk dan bola matanya tertarik ke atas. Tirtasari pun langsung memeriksakan anaknya itu. Putrinya didiagnosis dengan penyakit berbeda, yaitu TB otak.

“Setelah itu kita bawa ke Surabaya. Sekitar tiga bulan kemudian baru bisa sembuh dari TB otak,” kata Tirtasari.  Baru saja lega dengan penyakitnya  yang terlihat membaik,  Dini kembali kejang dan tidak sadarkan diri. Setelah berminggu-minggu dirawat di ruang anak  RSUD Blambangan, kondisi Dini tak kunjung membaik. Dokter  hanya mendiagnosis anaknya  menderita penyakit tifus.

Karena berkali-kali dirawat inap, saya akhirnya tanya apa perlu anak saya dibawa ke Surabaya. Baru setelah itu dokter Sri menyuruh saya ke Surabaya. Karena sudah berkali-kali rawat inap tidak ada  perubahan,” ujar Tirtasari.

Setelah dibawa kembali ke RS  dr. Soetomo, Surabaya, barulah  Tirtasari mengetahui kondisi anaknya yang sebenarnya.  B erdasar pemeriksaan darah C3 yang dilakukan dokter, baru diketahui Dini positif menderita lupus. “Waktu itu saya melakukan pemeriksaan dengan biaya sendiri. Karena Surat Pernyataan  Miskin (SPM) dan Jamkesmas  yang saya miliki tidak menjangkau  pemeriksaan darah. Beberapa  obat anak saya yang khusus untuk  menangani penyakit yang  dideritanya setelah itu juga tidak  bisa ditanggung,” kisah Tirtasari.

Pasca dinyatakan menderita lupus, Tirtasari mengakui banyak organ tubuh anaknya yang tidak sehat seperti biasa. Karena penyakit lupus yang menyerang kekebalan tubuh itu hampir menjalar ke seluruh tubuhnya.

Kulit tubuh Dini juga tak bisa lagi terkena sinar matahari langsung. Sehingga dia harus menghindari cahaya matahari dan  menggunakan salep, sabun, dan sampo khusus, agar kulitnya tidak terkelupas. Kemudian, menurut dokter,  akibat beberapa jenis obat yang diminum, tulang belakang bagian atas Dini keropos.

Dini pun tak  bisa lagi menggunakan tas atau memikul beban. Ditambah lagi mata kiri Dini saat ini juga menderita katarak dan tak bisa lagi melihat dengan jelas. “Dulu waktu baru pulang dari rumah sakit, wajahnya banyak mengelupas. Orang sini banyak yang tidak suka melihat, jadi saya kasih masker.

Kasihan sempat kehilangan  semangat hidup. Kiai di Al-Anwari mau memberikan fasilitas sekolah gratis agar ada  aktivitas,” ujar Tirtasari.  Sementara itu, Nurul Qomaria, pendamping dari lembaga kesehatan anak Banyuwangi, mengatakan  penyakit lupus tergolong langka.

Namun, memiliki tingkat keseriusan  mirip virus HIV yang menyerang kekebalan tubuh. Wanita yang juga bekerja sebagai peer education di  Komisi Penanggulangan AIDS itu berharap ada solusi demi membantu keluarga Dini.

Memang, seluruh biaya perawatan, menurut Nurul, sudah di-cover BPJS. Namun, seperti  yang diketahui, beberapa obat untuk penyakit langka masih tidak menjadi tanggungan asuransi kesehatan nasional tersebut.

“Kita khawatir karena kondisi  ekonomi, mereka nanti berhenti  di tengah jalan. Saat ini saja  mereka harus tes DNA beberapa bulan sekali untuk menentukan  kondisi Dini,” jelas Nurul.  Saat diwawancarai Jawa Pos Radar Banyuwangi, Dini banyak  diam.

Tetapi, siswi yang menyukai pelajaran agama itu tampak lugas menjawab ketika diberi beberapa pertanyaan. “Saya ingin ikut study tour. Main ke luar kota seperti teman-teman,” kata Dini sambil meringkuk di rumah kontrakan orang tuanya.(radar)