Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Sumiati, Penjual Durian Berhati Emas Asal Desa Pesucen

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

sumiatiAdopsi Lima Anak, Empat Yatim Piatu Keterbatasan ekonomi tak membuat jiwa sosial Sumiati redup. Meski berpenghasilan pas-pasan, dia mengadopsi lima anak, empat di antaranya berstatus yatim piatu. Dia memperlakukan anak-anak adopsi itu layaknya anak sendiri.

GERIMIS membuat udara terasa begitu dingin malam itu (6/2). Dalam kondisi demikian, perempuan berjilbab tampak duduk termangu di atas trotoar Jalan Kartini, depan Makodim 0825 Banyuwangi. Di depan perempuan tua berperawakan kurus yang duduk di bawah pohon naungan jalan itu terlihat seonggok sesuatu yang ditutupi semacam terpal.

Cukup lama perempuan yang belakangan diketahui bernama Sumiati, 80, tersebut duduk termangu seraya me natap kendaraan yang berlalu-lalang di hadapannya. Hingga ketika gerimis reda sekitar pukul 21.40, dia beranjak. Tangannya bergegas membuka terpal tersebut. Terpal itu rupanya sengaja dia pasang untuk melindungi durian dagangannya dari gerimis.

Walau malam mulai larut, Sumiati masih bersemangat menawarkan daga ngannya kepada setiap pengguna jalan yang melintas. Apalagi, ma lam itu masih banyak durian da ga ngannya yang belum terjual Jumlahnya mencapai 59 butir. “Biasanya saya pulang pukul 22.00, tapi malam ini masih banyak durian yang belum terjual. Mungkin saya akan berjualan sampai subuh, karena saya kesulitan menitipkan durian-durian ini.

Sebab, pagi hari trotoar ini harus bersih,” ujarnya. Sudah bertahun-tahun perempuan asal Dusun Padangbaru, Desa Pesucen, Kecamatan Kalipuro, itu melakoni pekerjaan sebagai penjual durian dadakan. Di saat tidak musim durian, dia membantu sang suami, yakni Arifin, membuat anyaman bam bu tempat menjemur kerupuk. “Saya orang tidak punya. Makanya saya harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari dan memberi uang jajan dua cucu yang tinggal bersama saya karena orang tuanya bekerja sebagai buruh ngarit di Bali,” kata dia.

Usut punya usut, Sumiati dan Arifin tidak me miliki anak kandung. Dua cucu yang kini tinggal bersama dia adalah anak salah satu dari lima anak yang dia adopsi. “Saya tidak punya anak kandung. Saya hanya me ngadopsi lima anak; satu perempuan, empat laki-laki,” ungkapnya. Anak perempuan bernama Fatimah dia adopsi dari salah satu kerabatnya. Empat anak laki-laki dia adopsi karena berstatus yatim-piatu.

Empat anak laki-laki bersaudara itu ditinggal pergi kedua orang tuanya saat mereka masih kecil. Bukan hanya karena alasan tidak memiliki anak kandung, Sumiati mengaku mengadopsi empat anak laki-laki itu karena sebelum meninggal akibat terjatuh dari pohon kelapa, ayah anak-anak tersebut pernah berpesan kepada dia agar merawat anak-anaknya dengan baik. Ibu anak-anak tersebut meninggal sekitar seratus hari se belum kematian sang ayah.

“Rawat anak-anak saya dengan baik. Jangan dibuang-buang. Kelak anak-anak ini akan mampu membantu bekerja,” kata dia menirukan pesan ayah empat anak laki-laki yang dia adopsi tersebut. Ketika ayah anak laki-laki itu meninggal, Sumiati pun benar-benar mengadopsi empat anak laki-laki bersaudara tersebut. Kala itu, Isnaini, Safri, Zainul Abidin, dan Rianto, empat anak yang dia adopsi itu, masih duduk di bangku SD.

“Tetapi, karena saya orang tidak mampu, saya hanya bisa menyekolahkan anak-anak yang saya adopsi sampai lulus SD. Hanya Safri yang sekolah sampai SMP,” terang perempuan yang karib disapa Mbah Ati tersebut. Kini, Fatimah, Isnaini, dan Safri, sudah berumah tangga. Dua cucu yang kini tinggal bersama Mbah Ati adalah anak Fatimah. Se bab, Fatimah dan suaminya bekerja di Bali sebagai buruh ngarit. Zainul Abidin dan Rianto hingga kini masih bujang.

“Rianto saat ini berusia 17 tahun, dan Zainul be rusia sekitar 20 tahun lebih,” tuturnya. Ditanya mengapa dia begitu bersemangat kerja hingga larut malam, Mbah Ati mengaku, itu dia jalani demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, sebagian penghasilan yang dia peroleh di berikan kepada cucu-cucunya untuk uang jajan. Mbah Ati menambahkan, kadang terbersit penyesalan di dalam hatinya.

Bukan me nyesali keputusan mengadopsi lima anak, dia hanya merasa ngenes tidak bisa memberikan bekal hidup yang cukup kepada anak-anak adopsi yang sangat dia cintai layaknya anak kandung tersebut. “Saya punya lima anak, tapi saya hanya punya satu rumah. Itu pun rumah yang lebih layak disebut kandang. Seandainya saya orang mampu, mungkin saya bisa membelikan mereka rumah satu per satu,” sesalnya.

Mbah Ati menambahkan, meski menyayangi lima anak adopsi itu dengan sepenuh hati, tapi sejak awal dia memberi tahu kelima anak tersebut bahwa mereka bukanlah anak kandungnya. Itu dilakukan agar anak-anak tersebut tidak kaget ketika mengetahui bahwa dia bukanlah orang tua kandungnya. “Meskipun mereka tahu saya orang tua angkat mereka, tapi kelima anak saya tersebut sangat berbakti kepada saya dan suami saya. Ketika mereka mendapat rezeki, sebagian mereka berikan kepada saya dan suami,” pungkasnya. (radar)