Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Tiban, Tradisi Minta Hujan Warga Curah Pecak

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

tibanMeski Berdarah, Petarung Tetap Asyik Berjoget Tradisi tiban rutin digelar tiap tahun oleh warga Dusun Curah Pecak, Kecamatan Purwoharjo. Tiban digelar bersamaan musim kemarau. Warga meyakini dengan menggelar tiban, hujan segera turun LAPANGAN berdebu di area persawahan Dusun Curah Pecak dipenuhi pengunjung siang itu. Mereka rela berpanas-panasan hanya untuk menyaksikan tradisi tiban (saling cambuk). Sesekali para penonton memberikan semangat ke pada pemain tiban yang tengah bertarung di lapangan berdebu.

Di arena tiban, terlihat dua petarung saling pukul dengan ujung (lidi dari pohon aren). Satu pemain dapat jatah tiga sabetan. Mereka bergantian melecutkan ujung ke arah tubuh lawan. Tidak ada pemenang dalam tradisi tiban Siapa yang piawai me ma sukkan sabetan ke tubuh lawan, dia lah yang dinyatakan jawara. Tradisi tiban memang rutin di gelar warga Curah Pecak. Momennya bersamaan de nganmusim kemarau yang berkepanjangan. Peserta tiban bu kan hanya warga setempat.

Warga dari desa tetangga juga berdatangan. Sejatinya, tradisi tiban ini berasal dari daerah Tulungagung dan Trenggalek. Di dua kabupaten itu, tradisi tiban juga rutin digelar tiap ta hun. Entah siapa yang menularkan tradisi tiban hingga ”membumi” di wilayah Purwoharjo dan sekitarnya. Yang jelas, sebagian ne nek moyang mereka ada yang berasal dari Tulungagung dan Trenggalek. Puluhan tahun lalu, warga dua kabupaten itu ada yang ”hijrah” ke Purwoharjo dan sekitarnya.

Makanya tak salah, budaya tiban itu juga memasyarakat di daerah tersebut. Tradisi tiban di Tulungagung dan Purwoharjo sama. Para pemain tiban tersebut saling pukul menggunakan pecut atau cambuk yang terbuat dari lidi daun aren. Hebatnya, para petarung tiban itu tidak menggunakan pelindung sama sekali. Dada mereka dibiarkan terbuka tanpa sehelai kain alias telanjang dada. Meski berdarah-darah, para petarung hanya mesam-mesem sembari berjoget mengikuti irama khas musik tiban.

Ada aturan main yang ditetapkan dalam permainan ter sebut. Masing-masing petarung hanya diperbolehkan melayangkan tiga cambukan secara bergantian. Demi menghindari permainan kotor, ada seorang landang (wasit) yang tugasnya mengatur pertandingan. Bagian wajah dan kepala dilarang dipukul. Sunaryo, warga setempat mengatakan, jumlah peserta dalam tiban tidak dibatasi. Panitia juga tidak menentukan siapa pemenangnya.

“Karena acara ini bertujuan melestarikan tradisi leluhur setiap musim kemarau,” jelas Sunaryo yang juga dedengkot tiban tersebut. Para pemain tiban tak di batasi hanya warga Dusun Curah Pecak. Para petarung juga banyak yang datang dari luar Desa Purwoharjo. Bah kan, ada yang datang dari luar Kecamatan Purwoharjo. Untuk usia, kebanyakan adalah remaja dan orang tua. ”Mereka bertarung adu ketangkasan dengan iringan musik khas. Ada kendang, kenong, dan kentungan,’’ kata Sunaryo.

Bagi yang tak pernah melihat, tentu tontonan itu sangat mengerikan. Apalagi, bagi para pengunjung perempuan. Mereka terlihat takut dan ngeri menyaksikan ritual itu. Meski begitu, pengunjung tersebut tetap saja tak mau beranjak dari tempatnya. Mereka tetap menyaksikan ritual tiban itu hingga selesai. Bahkan karena penasaran, besoknya mereka kembali lagi untuk menyaksikan ritual tiban yang digelar selama beberapa hari tersebut.

“Kegiatan ini untuk melestarikan peninggalan leluhur dan kita lakukan se tiap musim kemarau,” tutur Sunaryo. Masyarakat setempat yang dimotori kelompok tani juga terlihat kompak menyelenggarakan acara tersebut. Salah satunya bisa dilihat dari lahan yang ditempati acara. Se tiap tahun, warga selalu menyediakan lahan untuk dijadikan tempat menggelar ritual tiban. (radar)