Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Tradisi Jimpitan untuk Anak Yatim di Genteng

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

tradisiBayar Sekolah dari Urunan Satu Sendok Beras

SEBELUM menanak nasi setiap pagi, Mak Pipah, 60, warga Cangaan, terlebih dahulu menyisihkan sebagian berasnya ke dalam wadah khusus. Wadah yang ditempelkan di depan rumah tersebut rutin dia isi beras secukupnya, tidak banyak. Jika ditakar mungkin tidak lebih dari dua genggam. Kebiasaan yang disebut jimpitan itu telah dilakukan sejak kecil. Tradisi jimpitan beras itu juga dilakukan setiap warga Dusun Cangaan, Desa Genteng Wetan. Setiap Kamis seorang petugas khusus akan mengambil beras di bambu di pintu rumah warga tersebut.

“Di sini diambil oleh petugas setiap Kamis. Namanya Pak Irul,” ujarnya. Menurut salah satu pengurus harian jimpitan, Haji Hasani, 63, beras hasil swadaya masyarakat tersebut terkumpul setidaknya 2 kuintal setiap pekan.Minimal dua kuintal perolehannya,” ujarnya.Beras-beras tersebut merupakan bantuan yang diberikan langsung kepada para anak yatim di Dusun Cangaan. Saat ini jumlah anak yatim di kawasan tersebut mencapai 73 anak. 

Setiap Jumat anak yatim itu mendapat santunan tiga kilogram beras dan uang Rp. 20.000. Selain itu, di saat-saat tertentu, santunan ditambah barang lain, seperti buah, dan lain-lain. “Kamis kita ambil, kemudian Jumat kita salurkan kepada mereka (anak yatim),” jelas Hasani yang juga menjadi pengajar Madrasah Ibtidaiah (MI) Al-Ikhsan itu. Selain memberi bantuan kebutuhan pokok secara langsung, kelangsungan pendidikan anak yatim juga menjadi perhatian pengurus jimpitan.

Bahkan, saat ini pengurus telah memberikan jaminan biaya kesehatan khusus anak yatim.”Biaya sekolah anak yatim juga kita ambilkan dari jimpitan beras ini,” cetusnya. Sementara itu, Ketua Pengurus Jimpitan, Nur Wahid, 42, menuturkan, selama ini kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap anak yatim cukup tinggi. Selain memberikan jimpitan secara rutin, terkadang masyarakat juga mengundang anak yatim agar merasakan kegembiraan bersama. “Biasanya orang-orang mengundang anak yatim untuk berbagi rezeki,” ujarnya. 

Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Banyuwangi dari Ustad Bagus Al Muhajir, 30,ketua Yayasan Al-Ikhsan, yayasan yang menaungi kegiatan jimpitan itu, kegiatan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Cangaan. Konon, tradisi jimpitan berasuntuk anak yatim itu sudah berlangsung sejak tahun 1960-an. Penggagas dan perintis kegiatan itu adalah KH. Ahmad Afandi yang tidak lain putra ketiga KH. Kholil, pembabat tanah di kawasan Cangaan.

Selain itu, santunan yang diberikan kepada anak yatim itu terpisah dengan zakat. Jika ada warga yang kondisinya masih prasejahtera atau miskin tetap diperhatikan, tapi tidak diambilkan dari hasil beras jimpitan. “Santunan yang diberikan kepada anak yatim murni dari sedekah warga. Zakat ada yang mengurusi sendiri,” tegasnya. Menurut keterangan salah seorang putra almarhum KH. Usman Zahid bin Afandi, saat itu Afandi muda oleh sang ayah disuruh belajar kepada Kiai Abbas yang tidak lain adalah kakak iparnya. 

Kiai Abbas pernah memberi amanah kepada Afandi agar merawat dan menyejahterakan anak yatim di lingkungan sekitar.“ Kata Kiai Abbas dulu, Afandi kudu bisa dadi bapak e anak yatim sak Cangaan (Afandi harus bisa menjadi bapak anak yatim se-Cangaan),” kenangnya. Dia juga mengingat, usai menerima tugas tersebut, dirinya bersama para tokoh menggelar musyawarah. Pembahasan yang dilakukansaat itu adalah cara menyejahterakan anak yatim melalui masyarakat tanpa membebani masyarakat.

“Kemudian, mereka rapat membahas cara yang bisa dilakukan masyarakat tanpa membebani mereka,” ungkapnya. Kemudian, muncullah ide jimpitan tersebut. Awalnya, beras yang disisihkan hanya dianjurkan satu sendok takaran. Hal ini sengaja dilakukan agar pelaksanaan santunan ini benar-benar tanpa membebani masyarakat. “Saat itu saya disuruh memotong bambu, dan beras yang dianjurkan awalnya cuma sesendok,” tuturnya. Di samping melakukan langkah taktis, pendekatan dan persuasif di masyarakatpun dilakukan. 

Saat itu, bersama para imam masjid, Zahid mengaku mereka gencar mengajak masyarakat untuk lebih peduli kepada anak yatim.” Ibadah s alat meski rajin tapi kalau anak yatim telantar maka bisa sia-sia, begitu amanat beliau,” kenang Zahid terhadap ucapan ayahnya. Setelah berlangsung lebih setengah abad, Zahid melihat banyak kemajuan. Dia juga mengungkapkan, pernah suatu ketika ada oknum yang mengatasnamakan aktivitas santunan anak yatim ini untuk kepentinganpribadi. Beruntung, kejadian itu tidak berlangsung terus-menerus.

“Dulu pernah ada yang berkirim surat ke berbagai pihak, tapi itunya dinikmati pribadi, Alhamdulillah sudah sadar,” jelasnya. Kerja sama dan gotong royong tersebut memang dirasakan cukup membantu bagi anak yatim maupun keluarga bersangkutan. Umi Hani, 42, salah satu orang tua anak yatim yang tinggal di RT 2 RW 6 Dusun Cangaan, mengaku bersyukur dengan adanya gerakan sosial tersebut. Ibu tiga anak ini merasa sangat tertolong. Sejak ditinggal pergi sang kepala keluarga, kebutuhan ketiga buah hatinya banyak didukung oleh adanya gerakan jimpitan itu. “Sangat membantu, anak saya pernah operasi di rumah sakit, sepeser pun saya tidak keluar, saya sangat berterima kasih,” pungkasnya. (radar)