Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Tumpeng Sewu, Rawat Kearifan Lokal

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

rawatBANYUWAGI – Masyarakat Dasa Kemiren, Kecamatan Glagah, menggelar tradisi Tumpeng Sevau tadi malam (25/9). Ritual selamatan masal yang di gelar masyarakat Desa  Adat Banyuwangi tersebut merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas berkah yang mereka terima.  Tumpeng Sewu diyakini merupakan selamatan tolakbala alias menghindarkan dari segala bencana dan penyakit.

“Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk terhadap masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun-temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul. Dalam ritual tersebut, setiap keluarga membuat nasi dalam bentukkexucutdenganlauk-pauk khas Osing, yakni pecel pitik (ayam panggang dicampur parutan kelapa). Makanan itu ditaruh di depan rumah masing-masing warga, lalu disantap bersama-sama.   

Nasi yang dibentuk mengerucut memiliki makna khusus, petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta sekaligus kewajiban menyayangi sesama manusia dan lingkungan. Pecel pitik mengandung pesan moral, yakni “ngucel-ucel barang sitik”yang dapat diartikan mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.  Dengan diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat, Red),  Ritual Tumpeng Sewu itu menjadi sebuah ritual yang khas dan  sakral.

Sebelum makan bersama,  warga Desa Kemiren mengawali dengan salat Magrib berjamaah dan doa bersama. Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam. Pembacaan Lontar Yusuf dilakukan di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Pembacaan Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual itu menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf. 

Kegiatan lain yang juga dilaksanakan dalam  tradisi Tumpeng Sewu adalah selamatan desa di makam leluhur masyarakat Desa Kemiren, yakni Buyut  Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menambahkan, tradisi Tumpeng Sewu itu bagian dari upaya merawat tradisi. “Kearifan lokal harus terus dirawat. Kearifan lokal sejatinya menyangga dan mendukung kehidupan ini,” pungkasnya. (radar)