Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Warisan Pendidikan Era Gus Dur – TIMES Banyuwangi

warisan-pendidikan-era-gus-dur-–-times-banyuwangi
Warisan Pendidikan Era Gus Dur – TIMES Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Pendidikan di era Gus Dur (1999–2001) sering dianggap singkat dan “tidak meninggalkan banyak kebijakan teknis”. Namun, justru pada periode inilah terjadi pergeseran sosial yang penting: dari pendidikan yang cenderung otoriter dan seragam menuju pendidikan yang lebih terbuka, humanis, dan menghargai perbedaan. Meski hasilnya tidak instan, dampak sosialnya terasa hingga hari ini.

Warisan pendidikan Gus Dur tidak hadir dalam bentuk kebijakan teknokratis yang rapi atau capaian statistik yang spektakuler. Ia justru hidup dalam perubahan cara pandang, tentang bagaimana pendidikan seharusnya memanusiakan manusia. 

Di tengah dunia pendidikan hari ini yang kian dikuasai angka, peringkat, dan logika administratif, warisan itu terasa semakin relevan bahkan mendesak untuk diingat kembali.

Data BPS menunjukkan angka partisipasi pendidikan menengah saat itu masih berkisar 45–50 persen, sementara angka putus sekolah SMP di sejumlah daerah pascakrisis 1998 masih berada di atas 3 persen. 

Anggaran pendidikan dalam APBN pun belum mencapai 10 persen. Dalam keterbatasan ini, Gus Dur tidak menjadikan pendidikan semata proyek angka, melainkan proyek kemanusiaan.

Inilah perbedaan mendasar pendidikan di era Gus Dur. Ia tidak memulai dari pertanyaan “seberapa efisien sistem bekerja”, melainkan “manusia seperti apa yang ingin dibentuk”. 

Pendidikan baginya bukan mesin pencetak tenaga kerja, tetapi ruang pembebasan nalar, keberanian berpikir, dan pembentukan etika sosial. Sekolah dan kampus harus menjadi tempat dialog, bukan ruang penjinakan.

Perubahan sosial paling nyata di era Gus Dur adalah menguatnya iklim kebebasan berpikir. Setelah puluhan tahun pendidikan berada dalam kendali ideologis Orde Baru, era ini membuka ruang bagi otonomi kampus, kebebasan akademik, dan kebangkitan kembali gerakan mahasiswa. 

Pendidikan tidak lagi sepenuhnya menjadi alat stabilitas politik, melainkan mulai berfungsi sebagai ruang kritik dan refleksi sosial. Dalam konteks demokrasi yang baru tumbuh, ini adalah fondasi yang sangat penting.

Warisan lain yang tak kalah kuat terlihat dalam dunia pesantren dan pendidikan Islam. Pada awal 2000-an, tercatat lebih dari 14 ribu pesantren dengan sekitar 3 juta santri di seluruh Indonesia. Gus Dur mendorong pesantren untuk terbuka pada sains, teknologi, dan wacana kebangsaan tanpa kehilangan akar spiritualnya. 

Modernisasi pesantren, dalam pandangannya, bukan soal meninggalkan tradisi, melainkan membangun cara berpikir terbuka dan adaptif. Pendekatan ini menggeser persepsi sosial pesantren: dari lembaga tradisional tertutup menjadi aktor penting dalam pendidikan masyarakat sipil.

Namun, warisan pendidikan Gus Dur tidak luput dari sisi positif dan negatif. Di satu sisi, banyak akademisi dan pendidik menilai pendekatannya berhasil memperkuat pendidikan yang inklusif, pluralis, dan humanis. 

Pendidikan menjadi lebih ramah terhadap perbedaan agama, etnis, dan pandangan politik. Sebuah kebutuhan mendesak di masyarakat pascareformasi yang rentan konflik.

Di sisi lain, kritik muncul karena pendekatan Gus Dur dianggap terlalu normatif dan kurang memberikan terobosan struktural. Tidak adanya lonjakan signifikan dalam anggaran pendidikan, belum tertatanya kesejahteraan guru, serta lemahnya konsolidasi kebijakan membuat banyak persoalan pendidikan berjalan lambat. 

Sebagian pihak juga menilai kebebasan yang luas berpotensi menciptakan ketidakpastian arah, terutama di kampus-kampus yang sarat perdebatan ideologis. Negara dianggap kurang hadir sebagai pengarah kebijakan yang tegas.

Ketegangan antara kebebasan dan stabilitas inilah yang menjadi ciri khas pendidikan di era Gus Dur. Namun menurut saya, menilai era tersebut hanya dari capaian kebijakan adalah kekeliruan. 

Kontribusi terbesarnya justru terletak pada perubahan paradigma sosial: pendidikan sebagai ruang pembentukan warga kritis, bukan sekadar lulusan siap kerja; sebagai proses pemanusiaan, bukan sekadar pengelolaan sistem.

Di tengah pendidikan hari ini yang kembali terjebak pada akreditasi, peringkat, dan beban administratif guru, warisan Gus Dur terasa seperti pengingat moral. Bahwa pendidikan tidak boleh kehilangan ruhnya hanya demi efisiensi. Bahwa manusia harus tetap ditempatkan di atas sistem, nilai di atas angka, dan kemanusiaan di atas kepentingan sesaat.

Warisan pendidikan Gus Dur mungkin tidak menawarkan jalan pintas menuju mutu instan. Namun ia memberi arah yang jelas: pendidikan yang berani bebas, menghargai keberagaman, dan berpihak pada martabat manusia. Dalam situasi pendidikan yang kian kehilangan makna, warisan inilah yang seharusnya tidak sekadar dikenang, tetapi diperjuangkan kembali.

***

*) Oleh : Zainul Ma’arif Assahrowardi, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman