Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Angkat Kuliner Lokal Lewat Sego Lemeng

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Wakil Bupati Yusuf Widyatmoko (dua dari kiri) mengaduk gula aren bersama warga di Desa Banjar, Kecamatan Licin, Banyuwangi, kemarin (8/7).

BANYUWANGI – Ajang promosi wisata tahunan Pemkab Banyuwangi, yakni Banyuwangi Festival (B-Fest) terus konsisten mengangkat seni dan tradisi lokal masyarakat Bumi Blambangan. Kali ini, pemkab menghadirkan Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek yang diselenggarakan di Desa Banjar, Kecamatan Licin.

Festival makanan dan minuman khas Desa Banjar tersebut berlangsung meriah kemarin (8/7). Hujan yang mengguyur Kecamatan licin dan sekitarnya tidak menyurutkan langkah ratusan warga untuk berbondong-bondong memadati lokasi acara.

Sego lemeng adalah nasi berisi lauk pauk seperti daging ayam, ikan tuna, dan lain-lain– yang dibungkus daun pisang layaknya kue lemper. Untuk menambah cita rasa, nasi lemeng dimasukkan ke batang bambu dan lantas dibakar di tungku dengan memanfaatkan kayu bakar.

Sedangkan yang dimaksud Kopi Uthek adalah seduhan kopi tanpa gula yang disajikan bersama dengan gula aren merah. Ada beberapa cara menikmati kopi uthek tersebut. Ada yang meminum kopi tanpa gula dan lantas menggigit gula aren merah. Ada pula yang terlebih dahulu memakan gula merah lantas meminum kopi.

“Saat digigit, gula merah itu mengeluarkan bunyi tek. Karena itu, kopi yang diminum bersama gula merah itu disebut kopi uthek,” ujar Siti Maswiyah, salah satu peserta Festival Sego  Lemeng dan Kopi Uthek.

Seremoni pembukaan Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek dilakukan oleh Wakil Bupati (Wabup) Yusuf Widyatmoko di panggung yang didirikan di  kawasan persawahan Desa Banjar.  “Festival ini digelar agar wisatawan tahu dan bisa mencicipi keragaman kuliner khas Banyuwangi. Festival ini tumbuh dari bawah dan diprakarsai masyarakat,” ujarnya.

Selain untuk memperkenalkan keragaman kuliner kepada wisatawan, imbuh Yusuf, Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek  itu bertujuan untuk menjaga kelestarian kuliner khas masyarakat Banyuwangi.

“Festival yang  berangkat dari bawah seperti ini  sengaja digelar di tempat aslinya. Tidak diboyong ke pusat Kota Banyuwangi,” kata dia. Konon, sego lemeng adalah makanan yang menjadi bekal para gerilyawan yang sedang melakukan perlawanan terhadap penjajah Kolonial Belanda.

Saat  berjuang merebut kemerdekaan, banyak warga yang berjuang dan bersembunyi di hutan. Disanalah, mereka membuat sego lemeng untuk bertahan hidup. “Ini menarik. Kalau kita padukan antara cita rasa kulinernya yang khas, kisah historis, dan potensi alamnya Banjar yang indah, ini akan menjadi paket wisata komplet. Kami optimistis akan banyak wisatawan yang berkunjung ke  Desa Banjar,” cetus Wabup Yusuf.

Sekadar diketahui, Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek digelar selama dua hari, yakni mulai kemarin hingga hari ini (9/7). Selain bisa menikmati wisata kuliner, pengunjung bisa menikmati keindahan Desa Banjar.

Beragam hiburan pun disuguhkan, seperti barong, kuntulan, musik  akustik, dan gandrung. Haini, 50, warga sekitar mengatakan, cara memasak yang unik membuat daya tarik sendiri terhadap para pengunjung yang belum mengetahui.

Di Desa  Banjar, sego lemeng terbungkus daun pisang yang dimasak dengan cara dibakar tersebut berubah warna menjadi hitam. “Banyak masyarakat yang heran dengan  teknik atau cara pengolahan tersebut. Karena tidak semua warga yang bisa memasak dengan cara seperti ini,” katanya.

Haini membeberkan, setiap orang yang memasak sego lemeng tersebut rasa dan bentuknya akan  berbeda-beda. Ini ditimbulkan  karena setiap orang yang memasak pasti mempunyai resep atau  cara masak yang berbeda pula.

“Sego lemeng menjadi makanan khas warga Desa Banjar, karena sego lemeng ini sudah turun  menurun dari nenek moyang kita,” bebernya. Kades Banjar, Nur Hariri mengatakan, sego lemeng sudah menjadi warisan budaya dari leluhur.

Nasi yang dibungkus dengan daun pisang itu biasanya dibuat bekal oleh warga Desa Banjar saat pergi ke kebun. “Sego lemeng mulai zaman penjajahan Belanda sampai sekarang di Desa  Banjar tetap ada. Sekarang bukan  hanya warga sekitar yang dapat menikmati sego lemeng, warga  masyarakat lain juga dapat bisa  memesan kepada para warga sini,” katanya.

Nur Hariri menambahkan, kopi “uthek” bukannya kopi yang terbuat dari otak. Biasanya orang  beranggapan “uthek” adalah “otak”. Tetapi di sini bukan seperti itu. Kopi uthek yaitu kopi yang  kopi yang cara meminumnya dengan menggunakan gula aren atau biasa disebut gula merah.

“Saat minum kopi dengan menggunakan gula aren itulah, kita menggigit gula tersebut berbunyi “thek”, itulah mengapa disebut kopi uthek,” tegasnya. (radar)