Banyuwangi, Jurnalnews.com – Banyuwangi yang kesohor sebagai Indonesia Mini karena hidup berbagai suku di bumi Blambangan, mencoba menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang difasilitasi Bappeda. Hal ini digelar Forum Diskusi dengan undang tokoh adat dan etnis yang mayoritas pengurus Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) binaan Ba kesbangpol dan tokoh pelaku adat Osing serta akademisi di Pelinggihan Disbudpar pada Jumat, (15/08/2025).
Kabid Kebudayaan Disbudpar, Dewa Alit ungkapkan Banyuwangi sebagai kota budaya memandang perlu punya kerangka acuan dan data potensi adat istiadat sebagai dasar kebijakan Kebudayaan dan yang bisa dijadikan atraksi maupun destinasi pariwisata dalam jangka waktu menengah yang bisa terus digali maupun dikembangkan. Maka dalam diskusi butuh rembugan masukan dari kerangka yang telah disusun Tim PPKD.
I Kadek Yudiana dosen sejarah Untag telah merinci ada 45 adat tradisi dari suku adat dan etnis yang bersentuhan dengan insan, alam dan Tuhan. Yang harapan dari ketua FPK Miskawi yang dosen sejarah Uniba, hendaknya mocoan Osing yang telah ditulis bisa ditambah mocopat jawa dan mamaca madura. Istilah dan sebutan sesuai suku tetap perlu dipertahankan untuk kekayaan literasi dan pemetaan.
Kang Purwadi asal Kemiren mendukung apa yang disampaikan semua tokoh adat karena tak ingin ada usingisasi di Banyuwangi yang memang beragam etnis. Hanya berharap bagaimana Boso Using jadi Bahasa bukan bahasa Jawa dialek Using. Dan bagaimana soal ejaan dan istilah ada kesepahaman.
“Dan yang ndak setuju bila pejabat dan tokoh budaya pakai bahasa asing dan ganggu kesakralan adat tradisi untuk kepentingan pidato pejabat apalagi ada unsur politik, ” tutur cantrik Eyang Tojo yang pembina AMAN ini.
Dari Desa Kebangsaan dan Pancasila, Patoman, Made Widagdo sampaikan sejarah Kampung Bali yang lebih 2 abad.
“Monggo dipilah-dipilih yang unsur agama dan tradisi Bali serta yang sudah kolaborasi kreatif dengan budaya Jawa, Madura dan Osing, ” tutur tokoh religius, sejarah serta pengrajin souvenir hingga tongkat komando ini.
Banyak masukan lisan dari perwakilan Batak, Minang, Arab dan tertulis dari Tionghoa tentang kesenian maupun kuliner khas. Ketua DKB Hasan Basri juga beri masukan yang menarik dan jadi pegangan tim untuk menyempurnakan serta diskusi lagi maupun wawancara serta bagi kuisiner.
Dari Bappeda yang merekam dan mencatat arus diskusi, Datu, terpukau dan menyimak seksama aspirasi dari pelaku adat tradisi yang sering ada dinamika dengan tokoh agama atau protokoler pejabat.
“Harapannya bagaimana sering bertemu, gesah sambil ngopi untuk ungkit pemicu yang pada pertemuan ini belum semua diungkapkan. Tim memang dipacu tapi jangan terburu-buru. Perlu buat geogleform tampung inspirasi dan aspirasi yang tak banyak polah agar hindari salah. Bagaimana juga bisa jadi stimulan kesejahteraan buat pelaku adat dan Seniman. Setiap event bisa jadi atraksi dan tiap tempat bisa jadi destinasi wisata. Dan untuk jaga kesakralan bersih desa adat atau sedekah bumi atau petik laut , pelaku utama dan sutradara adalah mereka sendiri. Penonton atau tamu undangan adalah penggembira, ” tukas putra guru Bahasa Indonesia yang gemar pelajari bahasa Jawa kromo inggil ini. (Bung Aguk/AM/JN-SW)