sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Isu deforestasi kembali menjadi sorotan setelah rangkaian banjir bandang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera.
Rekam citra satelit dari 2016 hingga 2025 menunjukkan pembukaan lahan secara masif, terutama di Sumatera Utara.
Temuan ini memunculkan dugaan bahwa kerusakan hutan berperan besar dalam memperparah bencana hydrometeorologi tersebut.
Baca Juga: Prediksi Brest vs Monaco: Duel Panas Berebut Zona Eropa! Siapa yang Unggul?
Dugaan Kerusakan Hutan sebagai Pemicu Utama
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara mencatat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, sekitar 2.000 hektare hutan di provinsi tersebut mengalami kerusakan.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, menekankan bahwa banjir bandang tidak semata-mata dipicu cuaca ekstrem.
Ia menyebut sejumlah perusahaan sebagai pihak yang diduga mendorong alih fungsi hutan menjadi lahan non-hutan.
Pandangan serupa disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta YLBHI Regional Barat.
Mereka menilai bencana banjir dan longsor terkait erat dengan krisis iklim yang diperparah oleh deforestasi, pembukaan konsesi pertambangan, dan ekspansi perkebunan.
Dalam periode 2020–2024, ratusan ribu hektare hutan di Sumatera Barat tercatat mengalami kerusakan, termasuk di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Kerinci Seblat.
Aktivitas tambang ilegal dan pembalakan liar turut memperburuk keadaan, terutama di Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan.
Baca Juga: Zulkifli Hasan Bantah Tudingan Kerusakan Hutan di Sumatera Penyebab Banjir dan Longsor, Ini Faktanya
Temuan Pemerintah dan Dugaan Keterlibatan Perusahaan
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengonfirmasi adanya delapan perusahaan yang diduga terlibat dalam memperparah bencana di Sumatera Utara.
Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di sektor tanaman industri, pertambangan emas, dan perkebunan sawit, dengan lokasi operasional di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru.
Page 2
Kementerian Lingkungan Hidup telah memanggil pihak-pihak terkait untuk memberikan keterangan termasuk data citra satelit resolusi tinggi guna menelusuri asal kayu yang hanyut saat banjir.
Ketua MPR RI Ahmad Muzani turut menyoroti beredarnya kayu gelondongan besar yang terseret arus, yang menurutnya lebih mungkin merupakan hasil penebangan lama, bukan pohon yang tumbang akibat badai.
Ia meminta pemerintah memberikan perhatian serius terhadap dugaan pembalakan liar.
Baca Juga: 17 Tahun Bersama, Ini Hal yang Paling Dirindukan Richa dari Gary Iskak
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi memastikan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mencukupi untuk penanganan bencana.
Dana Siap Pakai yang disediakan pemerintah berada di kisaran Rp500 miliar, dan Presiden telah memberi arahan bahwa jumlah tersebut dapat ditambah bila diperlukan.
Pemerintah juga menyatakan belum menerima bantuan internasional karena Indonesia masih mampu menangani bencana secara mandiri, meski tetap mengapresiasi simpati dari negara sahabat.
Di lapangan, TNI melaporkan bahwa sejumlah fasilitas militer, termasuk perumahan TNI AU dan Satuan Radar 103 Sibolga, sempat terdampak banjir.
Namun, kondisi terkini menunjukkan air telah surut dan proses pembersihan berlangsung untuk memastikan operasional kembali normal.
Baca Juga: Siapa Pemilik PT Toba Pulp Lestari? Ini Struktur Saham dan Polemik Lingkungannya
Dampak Korban dan Kerusakan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa hingga 3 Desember 2025, jumlah korban meninggal akibat banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai 770 jiwa, sementara 463 orang masih dinyatakan hilang.
Selain korban jiwa, kerusakan infrastruktur juga signifikan, sebanyak 3.300 rumah rusak berat, 2.100 rumah rusak sedang, dan 4.900 rumah rusak ringan.
Rangkaian data dan pernyataan berbagai lembaga menunjukkan adanya pola kerusakan hutan yang sistemik di wilayah Sumatera.
Deforestasi, alih fungsi lahan, serta aktivitas tambang dan perkebunan intensif berpotensi memperlemah daya dukung lingkungan, sehingga meningkatkan risiko banjir bandang dan longsor.
Respons pemerintah, penegakan hukum, serta penguatan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan menjadi langkah penting untuk mencegah bencana serupa di masa mendatang.
Page 3
sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Isu deforestasi kembali menjadi sorotan setelah rangkaian banjir bandang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera.
Rekam citra satelit dari 2016 hingga 2025 menunjukkan pembukaan lahan secara masif, terutama di Sumatera Utara.
Temuan ini memunculkan dugaan bahwa kerusakan hutan berperan besar dalam memperparah bencana hydrometeorologi tersebut.
Baca Juga: Prediksi Brest vs Monaco: Duel Panas Berebut Zona Eropa! Siapa yang Unggul?
Dugaan Kerusakan Hutan sebagai Pemicu Utama
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara mencatat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, sekitar 2.000 hektare hutan di provinsi tersebut mengalami kerusakan.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, menekankan bahwa banjir bandang tidak semata-mata dipicu cuaca ekstrem.
Ia menyebut sejumlah perusahaan sebagai pihak yang diduga mendorong alih fungsi hutan menjadi lahan non-hutan.
Pandangan serupa disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta YLBHI Regional Barat.
Mereka menilai bencana banjir dan longsor terkait erat dengan krisis iklim yang diperparah oleh deforestasi, pembukaan konsesi pertambangan, dan ekspansi perkebunan.
Dalam periode 2020–2024, ratusan ribu hektare hutan di Sumatera Barat tercatat mengalami kerusakan, termasuk di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Kerinci Seblat.
Aktivitas tambang ilegal dan pembalakan liar turut memperburuk keadaan, terutama di Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan.
Baca Juga: Zulkifli Hasan Bantah Tudingan Kerusakan Hutan di Sumatera Penyebab Banjir dan Longsor, Ini Faktanya
Temuan Pemerintah dan Dugaan Keterlibatan Perusahaan
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengonfirmasi adanya delapan perusahaan yang diduga terlibat dalam memperparah bencana di Sumatera Utara.
Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di sektor tanaman industri, pertambangan emas, dan perkebunan sawit, dengan lokasi operasional di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru.








