BANYUWANGI, KOMPAS.com – Peserta Banyuwangi Blue Fire Ijen KOM 2025 berlomba-lomba menaklukkan tanjakan Gunung Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (27/9/2025).
Salah satu yang menarik perhatian yakni peserta nomor 919 bernama Dwi Soetjipto, peserta tertua yang usianya hampir menyentuh tujuh dekade, tetapi masih menantang dirinya di gelaran balap sepeda tanjakan paling bergengsi di Indonesia itu.
Dwi adalah pebisnis Indonesia yang pernah menduduki posisi sebagai Direktur Utama PT Semen Indonesia, Direktur Utama Pertamina, dan Kepala SKK Migas.
Kini, di pedal sepedanya, Dwi mengayuh lembaran hidup yang lebih menantang dengan menaklukkan berbagai tantangan, seperti Bromo KOM hingga Kediri Dholo KOM dengan gradien 24 persen juga ia taklukkan.
Baca juga: Juara Tour de Banyuwangi Ijen 2025, Pebalap Spanyol Benjamin Reverte Prades Batal Pensiun
Kini, Dwi kembali menantang dirinya untuk menaklukkan tantangan terbesarnya di Banyuwangi Blue Fire Ijen KOM berjarak 86,9 kilometer dan berhasil finis pada dua seri sebelumnya. “Ini jalur terberat dari trilogi Mainsepeda,” kata Dwi.
Pria kelahiran 1956 tersebut turun di kategori Man Age 60+ mengenakan nomor 919 dengan roadbike Bastion berbahan karbon dan titanium yang disebutnya selalu menjadi andalannya.
Mengayuh sepedanya, dia mengerahkan seluruh upayanya untuk menaklukkan tanjakan super ekstrem jalur Hors Categorie (HC) dengan gradien puncaknya 34 persen, dengan total elevasi mencapai 1.708 meter yang ada pada rute Banyuwangi Blue Fire Ijen KOM.
Dwi mengakui dengan gradien mencapai 34 persen, jalur tersebut menguji tidak hanya kekuatan fisik, tetapi juga mental. “Apalagi ini pengalaman pertama saya juga menjajal track Banyuwangi,” tuturnya.
Sadar seri terakhir ini adalah medan yang paling berat, Dwi mengaku telah melakukan persiapan serius dengan berlatih di rute menanjak Bogor seperti Kebo, Cipanas, hingga Puncak, sejak sebulan penuh sebelum berangkat ke Banyuwangi.
Ia dan enam rekannya juga sudah menjajal jalur menuju Djawatan Banyuwangi sebagai pemanasan.
Dwi mengatakan, sejak awal memang tidak menargetkan podium. Baginya, garis finis hanyalah simbol.
Baca juga: Sepatu Lepas Sebabkan Kecelakaan di Tour de Banyuwangi Ijen Etape 4
Sementara yang terpenting adalah menjaga konsistensi, menaklukkan diri sendiri, dan membagi semangat bersepeda kepada orang lain.
“Usia memang handicap, tapi kalau keinginan sudah kuat, saya yakin bisa. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal menang atau kalah, melainkan bagaimana kita tetap bergerak maju,” ucap pria kelahiran 1956 tersebut.
Namun, tidak sangka, berangkat tanpa target, upayanya justru berakhir manis dengan prestasi yang membanggakan.
Dwi berhasil finis sekitar pukul 13.00 WIB atau setengah jam sebelum cut-off time.
Page 2
Dengan hasil tersebut, Dwi memperoleh medali Banyuwangi Blue Fire Ijen KOM untuk melengkapi medali dari dua seri sebelumnya yang bisa dirangkai menjadi piramida prestisius dan menjadi bukti keberhasilannya dalam Mainsepeda Trilogy.
Babak baru hidup
Bagi Dwi Soetjipto, ini bukan hanya lomba, melainkan babak baru dalam menulis ulang kisah hidupnya, satu kilometer demi satu kilometer.
Baginya, bersepeda seolah menjadi jalan baginya untuk kembali merasa muda.
Awalnya, sekitar tahun 2005, Dwi hanya mengayuh sepeda gunung untuk sekadar menjajal medan ekstrem Bukit Kapur Gresik.
Lama kelamaan, rutinitas itu berubah menjadi kebiasaan yang lebih serius.
Dari sekadar menempuh jalan menuju kantor bersama karyawan sambil berbagi kegiatan sosial, hobinya bertransformasi menjadi sebuah kebiasaan baru untuk menjaga kesehatan, membangun disiplin, dan menemukan kedekatan batin dengan orang-orang terdekat.
Baca juga: Menpora Puji Konsistensi Tour de Banyuwangi Ijen: Daerah Lain Harus Ikuti
Tahun 2020, ia beralih ke roadbike. Sejak itu, intensitasnya makin teratur.
Tiga kali dalam sepekan, Dwi memutar pedal, dengan jarak tempuh rata-rata 60 kilometer setiap kali berlatih.
Baginya, tantangan sesungguhnya bukan hanya di lintasan menanjak, melainkan di dalam diri sendiri.
“Yang terberat itu bukan melawan usia, tapi membiasakan diri bangun pagi. Makanya saya selalu minta teman untuk menjemput, agar saya terdorong keluar rumah. Setelah itu, tubuh justru merasa lebih segar,” ujarnya.
Filosofi ini ia wujudkan dalam komunitas yang ia dirikan, yakni MOBCC-mind over body cycling club, dengan keyakinan bahwa tubuh sesungguhnya digerakkan oleh kekuatan pikiran.
Keseriusannya bersepeda membuat namanya tercatat dalam berbagai ajang, dari Gran Fondo New York (GFNY) Bali, hingga masuk dalam jajaran 110 pesepeda tercepat dunia di event internasional.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini