Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Cuaca Ekstrem di Laut Selatan, Nelayan Grajagan Beralih Jadi Pemburu Belalang

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Angin berembus kencang di Hutan Karetan, Desa Karetan, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, siang itu. Pohon-pohon seolah menari bak penari gandrung. Namun, ada pemandangan yang menyita perhatian. Dedaunan di pohon jati penuh lubang, bukti ada hama yang menggerogoti.

Tampak sejumlah orang berlarian, beradu cepat. Mereka serentak berhenti di dekat pohon jati yang tumbuh menjulang. Kemudian mereka menyiapkan amunisi berupa galah dan jaring. Ya, ternyata mereka sedang memburu belalang, serangga pengganggu pohon jati di hutan tersebut.

Belalang jati menjadi momok karena dianggap mengganggu pertumbuhan pohon jati. Dalam sekejap, sekumpulan belalang mampu menghabiskan dedaunan di pohon jati. Usut punya usut, para pemburu ini tak lain adalah nelayan yang sedang ”cuti” melaut.

”Saya tidak berani melaut, ombak besar dan membahayakan,” ungkap Devander Kevin, 30, warga Dusun Kampung Baru, Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo.

Kevin yang hanya lulusan SMP itu sehari-harinya bekerja sebagai nelayan. Dia terpaksa mengalihkan aktivitasnya akibat cuaca ekstrem yang melanda perairan Banyuwangi dalam kurun waktu terakhir ini. Selama cuaca tidak bersahabat, dia memilih untuk menjadi pemburu belalang.

”Sambil menunggu cuaca normal, saya mencari belalang,” katanya.

Sejatinya, mencari belalang di hutan jati merupakan pekerjaan sampingan. Namun, bagi Kevin dan nelayan lainnya yang kini harus lempar jangkar, penghasilan hasil menjual belalang dianggap dapat mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. ”Hasilnya ya lumayan,” ujarnya.

Kevin mengatakan, menjadi pemburu belalang lebih mudah karena tidak ada risiko. Berbeda halnya jika harus berhadapan dengan ombak di laut. ”Di laut lebih berbahaya. Mencari belalang di hutan risikonya cuma takut sama ular,” terangnya.

Bahkan, Kevin mengaku jika dirinya lebih suka mencari belalang ketimbang harus pergi melaut. Hanya saja, belalang tidak muncul setiap waktu. Belalang tersebut hanya datang saat awal musim penghujan hingga peralihan musim.

”Belalang hanya muncul saat musim hujan saja, antara Januari hingga Maret,” ungkapnya.

Saat musim belalang seperti ini, para pemburu belalang bisa dengan mudah menangkapnya. Biasanya, belalang banyak ditemukan hinggap di batang pohon dan daun pohon jati. Meski sudah membawa alat bantu berupa tongkat dan jaring, ia juga cukup terampil menangkap belalang dengan tangan kosong.

Dalam sehari, para pemburu bisa mengumpulkan belalang 600 hingga 700 ekor. Mereka kemudian menjual hasil tangkapannya ke pengepul. Untuk 100 ekor belalang jati dibanderol dengan harga Rp 10 ribu.

”Dalam satu hari tangkapan belalangnya mampu menghasilkan uang Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu,” aku Kevin.

Di tangan pengepul, belalang tersebut diolah dengan cara digoreng. Bahan-bahan yang digunakan untuk mengoreng belalang sederhana saja. Cukup menambahkan tepung serba guna, bawang, dan sedikit penyedap rasa. Setelah diolah, gorengan belalang itu dikemas dan siap dipasarkan.

”Biasanya belalang yang sudah digoreng dijual dengan harga Rp 5.000 per bungkus,” terang Kevin.

Meskipun olahan belalang bagi sebagian orang dianggap tidak biasa dan terkesan menyeramkan, namun cukup banyak orang yang menggandrungi kuliner ini. Rasa belalang dianggap mirip dengan udang goreng, tapi terasa lebih crispy.

”Rasanya enak dan cocok untuk dijadikan camilan,” lanjut Kevin.

Dan seiring dengan musim belalang, para penjaja belalang pun tampak menjamur di pinggir hutan jati. Biasanya, para penjual belalang musiman di hutan jati itu mematok dengan harga yang lebih mahal. Untuk 100 ekor belalang dijual dengan harga Rp 25 ribu.

”Kalau beli di penjual pinggir hutan memang lebih mahal,” pungkasnya.