HIDUP adalah pilihan. Mereka yang berani memilih, maka telah menjadi pemenang. Mungkin pepatah itu tepat jika disematkan kepada Enggal Purna Prahara, 29, asal Dusun Desa/Kecamatan Gambiran, yang dikenal ahli memodifikasi motor.
Sebutan jago dalam memodifikasi motor itu terlihat dari deretan piala yang dipajang di rumahnya. Tidak hanya itu, dinding ruang tamunya juga dipenuhi trofi dan liputan khusus (lipsus) seputar kemenangannya dalam menjuarai kontes modifikasi.
Sebuah motor dengan roda depan dan belakang berbentuk orbital hasil karyanya terpajang di sudut depan ruang tamu. Meski jago memodifikasi motor, tapi rumahnya tidak terkesan bahwa sang pemilik memiliki hobi otak-atik motor.
“Dari puluhan piala itu, yang cukup bergengsi adalah piala Djarum Innovation,” kata Enggal Purna Prahara. Itu karena kontes yang dilaksanakan di Malang pada 2007 itu merupakan salah satu kontes yang paling bergengsi di dunia modi fikator motor Tanah Air.
“Di Jogja itu ada orang mau bikin modifikasi, terkenal bengkelnya. Gara-gara belum pernah menang, kontrak itu batal. Ini lo nilai prestise sebuah kompetisi,” katanya. Sebelum mencapai predikat jawara di berbagai perlombaan modifikasi, perjalanan putra pasangan Eko Budi Setyono, 57, dan Khusnul Khotimah, 51, itu cukup panjang dan berliku.
Kepiawaiannya mengubah bentuk motor dimulai saat dirinya duduk di bangku SMA Muhammadiyah Genteng. Sejak itu keinginan Enggal memiliki bengkel modifikasi mulai tumbuh. Sayang, keinginannya itu berseberangan dengan kemauan orang tuanya. Orang tuanya meminta Enggal masuk ke perguruan tinggi (PT) setelah lulus SMA.
“Saya di Malang itu empat tahun. Kuliah dua tahun, yang dua tahun menggeluti modifikasi motor,” ungkapnya. Merasa tidak nyaman dengan kuliah,Enggal nekat keluar kampus. Baginya, pendidikan yang diharapkan saat itu tidak lebih agar mendapat kemudahan saat masuk ke dunia kerja. Sementara itu, sejak SMA dia sudah menemukan pas sion di bidang otomotif.
“Rugi kalau saya kuliah ambil otomotif, lha sudah bisa,” ucapnya. Enggal tidak mau menyalahkan orang tuanya. Dia menyadari semua orang tua ingin putranya menjalani kehidupan yang lebih baik. Hanya saja, apa yang diinginkan orang tuanya itu terkadang tidak sesuai keinginan anaknya.
“Kalau saya jadi orang tua, saya akan menuruti kemauan anak,” katanya. Kini Enggal sudah bersyukur karena orang tuanya mulai memahami jalan hidupnya. Meski itu dinilai sudah agak terlambat. Saat dirinya mencapai puncak kejayaan, dia terpaksa menggunakan fasilitas milik temannya, karena dirinya belum memiliki bengkel.
“Dulu saya mengerjakan di tempat teman, jadi sekarang dia (temannya) yang terkenal,” ujarnya. Selain faktor dukungan, biaya yang dikeluarkan dalam modifikasi motor itu terbilang besar. Untuk memodifikasi satu motor setidaknya dibutuhkan biaya paling kecil Rp 7 juta dan paling mahal Rp 30 juta.
Tidak hanya itu, waktu yang di perlukan juga tidak sebentar. Memodifikasi motor hingga ekstrem dengan mengubah bentuk motor asli menjadi bentuk baru diperlukan waktu hingga tiga bulan. “Semua tergantung bentuk modifikasinya,” ungkapnya.
Enggal berharap kegiatan modifikasi di Banyuwangi didukung pemerintah. Dibandingkan kota atau kabupaten lain, Banyuwangi tertinggal. Dia menyebut, salah satu bentuk dukungan pemerintah terhadap kegiatan modifikasi atau hobi otomotif itu adalah kelonggaran aturan.
Di Kabupaten Banyuwangi keberadaan ban kecil dilarang polisi. Para pemilik motor modifikasi harus berhati-hati ketika mengendarai motornya. “Sekarang banyak mana tabrakan motor standar dengan motor modifikasi? anak-anak itu eman kalau kencang-kencang karena merawatnya mahal,” ucapnya. (radar)