Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Jumpai Banyak Monyet di Kawasan Berbahaya

ALBINO: Monyet kuning keemasan di dekat puncak Gunung Ijen.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
ALBINO: Monyet kuning keemasan di dekat puncak Gunung Ijen.

Gunung Ijen dinyatakan kembali terbuka untuk umum sejak 1 Juni 2012 lalu. Bagaimana situasi di atas gunung setinggi 2,386 meter dari permukaan laut (dpl) itu setelah enam bulan ditutup?

-BAYU SAKSONO, Licin-

SEBELUM mulai menulis laporan ini, saya mencoba mengecek kondisi terkini Gunung Ijen. Saya pun membuka website resmi Pusat Vulkanologi, Mitigasi, dan Bencana Geologi (PVMBG) tadi malam (18/6). Oh, rupanya ada tampilan yang baru di situs yang beralamat di www. vsi.esdm.go.id tersebut.

Ada beberapa info bergambar yang berubah dengan pengaturan slideshow di bagian atas website terse- but. Barulah di bagian bawah tertera daftar gunung-gunung berapi dan status masing-masing. Rupanya, hingga saat ini status Gunung Ijen masih tetap waspada (level II).

Status waspada itu berlaku sejak 13 Mei 2012. Beberapa bulan sebelumnya, gunung tersebut malah berstatus siaga (level 3) dan dinyatakan tertutup untuk umum. Namun, sejak 1 Juni Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah III Jawa Timur membuka kembali secara terbatas kawasan Gunung Ijen untuk kegiatan wisata.

Pembukaan Ijen secara terbatas itu diperkuat Surat Edaran Bernomor SE.290/BBKSDA.JAT-5/2012. Intinya, kegiatan pariwisata alam hanya dapat dilakukan sampai radius satu kilometer (km) dari kawah, atau maksimal sampai Pondok Bunder. Mengetahui ada surat tersebut, saya penasaran dan ingin sekali mendaki Ijen.

Seperti apakah situasinya setelah tertutup untuk umum sejak 18 Desember 2011 tahun lalu. Nah, empat hari setelah kawasan itu dinyatakan dibuka lagi untuk umum, saya melakukan pendakian. Kebetulan saat itu adalah hari Minggu (4/6), yang berarti hari besar pertama setelah Ijen kembali dibuka. Ternyata, prediksi saya ada benarnya.

Pada hari Minggu itu areal parkir kawasan check point di Paltuding ramainya bukan main. Puluhan kendaraan memadati tempat pemberhentian terakhir di lereng Ijen tersebut. Sebagian besar pengunjung adalah turis asing. Mereka berasal dari Prancis, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, dan negara Asia lainnya.

Turis lokal juga lumayan banyak. Bahkan, pagi itu ada juga rombongan fotografer asal Malang yang akan melakukan pemotretan pre wedding di Gunung Ijen. Semua seolah berjalan normal seperti tak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Namun, ada satu hal yang berbeda saat kami akan mulai mendaki.

Petugas tak hanya mendata dan memungut retribusi seperti biasanya. Kali ini petugas juga detail mendata identitas dan alamat pengunjung. Bahkan, turis asing wajib menandatangani surat pernyataan yang sudah dilengkapi meterai. Saya memang belum sempat membaca detail, apa sebenarnya isi surat pernyataan bermeterai untuk turis tersebut.

Namun, asumsi saya, setiap pengunjung harus paham risiko yang harus ditanggung apabila sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak di- inginkan terkait status gunung api tersebut. Selesai dengan urusan “daftar manifes” pengunjung, kami mulai berjalan kaki mendaki di trek selebar dua meter itu menuju Pondok Bunder.

Sepanjang jalan, situasi cukup ramai dengan aktivitas para buruh angkut tambang belerang. Rupanya, ratusan penambang belerang itu sudah sepekan lebih bekerja kembali di sana. Mereka sudah mendaki ke puncak, bahkan turun ke dekat danau vulkanik untuk menambang belerang di dapur sulfatara.

Kembali ke pendakian kami. Setelah satu jam berjalan, kami pun tiba di Pondok Bunder. Puluhan penambang belerang tampak menimbang belerang yang mereka pikul. Para turis asing memanfaatkan momen tersebut sebagai objek foto. Para turis dan penambang tampak berbaur di kawasan itu untuk sekadar beristirahat melepas lelah.

Tepat di atas rumah penimbangan belerang, sebuah spanduk terpasang membentang. Rupanya, spanduk itu merupakan pengumuman sekaligus batas kawa- san berbahaya. Semua pengunjung dilarang melintasi batas danger area tersebut. Namun, batas kawasan berbahaya itu seperti tidak ada artinya.

Ratusan penambang belerang tetap berjalan melewati batas tersebut. Karena yang berjalan menuju puncak sangat banyak, para pengunjung pun melakukan hal yang sama. Semua tetap berjalan menuju puncak Gunung Ijen, dan mengabaikan banner berbahan plastik vinyl tersebut.

Dengan begitu, status waspada (level II) seperti yang masih tertera di website resmi PVMBG tersebut seolah tak ada artinya. Pengunjung tetap saja menerobos batas danger area dan berjalan menuju puncak Gunung Ijen. Setelah melewati batas kawasan berbahaya, situasi tampak biasa-biasa saja. Memang ada beberapa batang pohon yang kering tiada daun.

Mungkin dedaunan pohon tersebut kering setelah terkena gas mengandung belerang dari kawan Gunung Ijen. Yang menarik, kawanan kera banyak bergelantungan di pepohonan yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari puncak gunung tersebut. Jumlah kera tersebut lumayan banyak.

Sesekali binatang primata tersebut melakukan atraksi meloncat dari ranting pohon satu ke pohon lain. Tidak ketinggalan, beberapa jenis burung juga terlihat di kawasan tersebut. Bahkan, kami sempat menemukan burung gagak dengan jarak cukup dekat. Banyaknya satwa di dekat puncak gunung itu membuat kami sedikit lebih nyaman.

Sebab, kami menganggap satwa memiliki kepekaan yang sangat baik dalam mende- teksi bahaya terkait aktivitas gunung api. Kalau gunung itu mulai membahayakan, karena dorongan insting, yang mengungsi terlebih dahulu adalah golongan satwa. Kami pun melanjutkan perjalanan hingga ke puncak Gunung Ijen.

Kami puas-puaskan menikmati panorama kaldera yang luas dengan pemandangan danau asam sulfat berwarna hijau itu. Beberapa rekan dari mancanegara malah nekat me- nembus pekatnya asap belerang, lalu turun ke arah dapur sulfatara di dekat danau kawah tersebut. Puas mengobati kerinduan lantaran gunung ditutup selama setengah tahun, kami putuskan balik ke Banyuwangi. (RADAR)