BANYUWANGI, KOMPAS.com – Seorang pria sedang sibuk wara-wiri di area Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karang Baru yang lokasinya tepat di sebelah Kantor Bupati Banyuwangi, Jawa Timur.
Pria itu mengenakan topi berwarna hitam yang tampak lusuh serta mengenakan baju berwarna oranye yang warna terangnya telah memudar. Meski begitu, langkahnya tenang dan wajahnya teduh.
Dia adalah Supriyanto, juru kunci atau penjaga makam TPU Karang Baru yang bertanggung pada proses penggalian makam hingga perawatan ratusan makam yang ada di area tersebut.
“Saya sudah tujuh tahun mengurus makam ini,” kata Supriyanto.
Baca juga: Cerita Para Penjaga Makam di Kediri, Tak Bisa Tidur di Hari Pertama Bertugas
Pria 62 tahun itu memiliki kepribadian yang hangat. Sesekali dia menceritakan bagaimana suka duka menjalani rutinitas yang disebutnya kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Namun demikian, ia meyakini bahwa apa yang ia kerjakan saat ini adalah sebagai bentuk pengabdiannya kepada Sang Pencipta serta masyarakat. Ia ingin bermanfaat bagi orang banyak.
Baca juga: Sholikan, Setia Merawat Makam meski Tanpa Gaji dari Pemerintah
Setiap bulan, Supriyanto mendapatkan honor Rp 500.000 yang ia terima setiap awal bulan. Meski diakui tak cukup, ia memilih untuk mensyukuri rezeki yang ia dapatkan.
“Daripada tidak ada kesibukan, Alhamdulillah bisa menambah penghasilan,” tuturnya.
Sebab, uang yang tak besar bagi sebagian orang itu ia dapatkan melalui perjuangan. Honor itu baru ia dapatkan setahun belakangan setelah insiden tak terduga. Sebelumnya, selama 6 tahun menjadi juru kunci makam, ia tak dibayar sama sekali.
Supriyanto yang tengah bersama anaknya, Yesi Risnawati, mengatakan, suatu hari air mata bapak tiga anak itu jatuh setelah harga dirinya direndahkan oleh orang lain.
Warga yang merasa telah membayar secara kolektif ke pihak RT merasa tak terima karena makam keluarga dianggap kotor, sementara dana tersebut sejatinya tak pernah sampai ke Supriyanto.
Dibantu sang anak dan ditengahi oleh pihak yayasan, warga tersebut akhirnya meminta maaf kepadanya. Namun, hati Supriyanto kala itu kepalang kecewa karena hinaan dan ancaman yang ia terima. Pengabdiannya seperti tak dihargai.
“Kemudian Pak Lurah mengusulkan, sama yayasan dipanggil dan saya diberitahu bahwa saya akan dapat sedikit honor katanya. Saya syukuri itu,” ujarnya.
Enam bulan setelah insiden itu, honor pertamanya akhirnya cair, meringankan sedikit beban di pundaknya yang kala itu tak bisa lagi bekerja serabutan karena usianya yang telah menua.
Dulu ia melakoni berbagai macam pekerjaan, mulai dari berjualan ikan asin, buka bengkel kecil-kecilan hingga jual beli burung. Namun, seiring usia dan musibah yang sempat menimpa, ia kini hanya mengandalkan pendapatan dari makam.
Page 2
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app







