Aksi dua bocah membobol Toko Emas Sumber Rezeki, Pasar Curah Jati, Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo bikin geger warga. Setelah ditelusuri, orang tua kedua bocah itu ternyata sama-sama bermasalah.
-ALI NURFATONI, Purwoharjo-
KURANG kasih sayang orang tua bisa memicu masalah bagi anak. Minimnya perhatian keluarga terhadap bocah tersebut, bisa juga berakibat sangat fatal. Bila itu dibiarkan, anak tersebut bisa bertingkah melewati batas kewajaran. Bahkan, mereka nekat melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Ujung-ujungnya harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Beragam alasan yang menjadikan anak bisa berbuat nekat yang melebihi sikap orang dewasa. Tentu saja, orang tua adalah orang pertama yang harus mengasuh, merawat, dan melakukan pengawasan terhadap anak. Namun, apa daya persoalan orang tua yang tidak karuan, membuat sang anak menjadi nakal. Seperti yang dialami JP,9, asal Dusun Purwosari, Desa Buluangung, Kecamatan Siliragung; dan AH, 14, asal Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo.
Dua bocah tersebut ditangkap polisi gara-gara mencuri perhiasan di toko emas. Keduanya resmi dijadikan tersangka dalam kasus pembobolan toko emas milik Sugiyanto, 45, warga Dusun Dam Buntung, Desa Kedungasri, Kecamatan Purwoharjo beberapa pekan lalu. Selama di sel tahanan mapolsek setempat, nyaris tidak ada yang membedakan dengan anak-anak se-usianya. Justru, kedua bocah tersebut tampak sering guyon di ruang prodeo tersebut. Mereka juga jingkrak-jingkrak sambil bermain perang-perangan. Kedua seakan-akan tidak peduli sedang menginap di mana.
Ya, kedua bocah tersebut memang sejak kecil harus menjalani hidup susah. Desakan ekonomi dan problem keluarga, menjadikan mereka harus hidup penuh keterbatasan. Kasih sayang yang mereka terima, tidak sama dengan orang-orang yang mampu. Bahkan, mereka sering pindah tempat karena mengikuti orang tua.
Seperti yang dialami oleh AH. Sejak SD, sulung dari empat bersaudara tersebut dua kali pindah sekolah. Pertama, orang tuanya menyekolahkan di Bali. Sebab, bapak kandungnya bernama I Ketut Kerta itu adalah asal Pulau Dewata. Setelah berlangsung dua tahun, dia harus pindah sekolah ke rumah ibunya. ‘’Saya kelas dua D pindah dari Bali ke SD sini (Banyuwangi, Red),’’ kata AH.
AH mengisahkan, sejak saat itu kedua orang tuanya itu sama-sama bekerja di Sumatera. Praktis, sepeninggal orang tuanya tersebut dirinya harus tinggal bersama neneknya. Ironisnya, dalam masa sekolah SD tersebut, kedua orang tuanya bercerai. ‘’Saya kelas enam, bapak ibu saya pisah-pisahan. Sekarang bapak saya katanya sudah punya istri lagi. Kalau ibu ada di rumah,’’ katanya.
Nah, menginjak sekolah SMP, neneknya berinisiatif menaruh dirinya ke panti asuhan di desa tersebut. Itu dilakukan, sebab segala kebutuhan sudah ditanggung panti asuhan tersebut. ‘’Mulai makan, dan semua biaya sekolah ditanggung panti asuhan. Kalau jajan enggak,’’ kata anak Emiwati itu.
Selama ini, AH mengaku sudah sering berurusan dengan guru lantaran kasus pemerasan sesama siswa di sekolah. Tetapi, perbuatan memeras siswa lain tersebut sengaja dilakukan lantaran dirinya memang tidak punya uang saku. Tetapi, minta uang kepada temannya itu dilakukan karena dijanjikan akan diberi.
‘’Teman saya selalu janji mau kasih uang. Katanya besok saya dikasih uang. Tetapi cuma janji saja,’’ katanya. Mengenai kasus pencurian perhiasan yang menimpa kali ini, siswa kelas VIII SMP itu mengaku sangat menyesal. Sebab, tindakan kriminal yang dilakukan bersama JP itu di luar prediksi. Selain itu, ide mencuri tersebut muncul lantaran ngobrol sesama teman di panti asuhan.
‘’Cuma dapat cerita dari teman, katanya mudah mencuri emas. Emas itu juga saya bingung mau saya jual ke mana,’’ katanya. Meski begitu, dia mengaku sangat menyesal atas perbuatannya. Apalagi, dalam beberapa hari ini, dia teringat orang tuanya selama di sel. ‘’Ya saya menyesal. Saya tak tahu, apakah orang tua saya tak mengerti kasus ini atau tidak,’’ katanya.
Sementara itu, JP, tercatat sebagai anak yang juga kehilangan kasih sayang. Pengawasan orang tua terhadap anak yang mempunyai tiga saudara itu juga minim. Sebab, saat masih balita ibu kandungnya sudah tidak normal pada umumnya. Karena itu, dirinya semasa masih balita harus diasuh oleh neneknya. ‘’Mulai kecil ikut nenek,’’ katanya.
Beranjak usia masuk SD, bocah berperawakan kurus itu harus rela pindah sekolah. Sebab, impitan ekonomi yang membuat keluarga terpaksa menyekolahkan dirinya ke sekolah murah. ‘’Bapak saya kerja, gak tahu kerja di mana. Kalau di rumah saya dengan nenek. Kakak saya yang perempuan juga ada di panti,’’ katanya.
Meski begitu, keluarga sudah berusaha dengan maksimal, agar kedua bocah tersebut bisa lebih baik sehingga tidak meniru kedua orang tuanya. Namun ternyata, di tempat barunya itu, mereka masih bertingkah nekat. Itu lantaran, pengawasan di tempat barunya itu juga tidak terlalu ketat. Sehingga, mereka bisa keluar meski waktu tengah malam. ‘’Tidak ada penjaganya kok, ya bisa keluar,’’ pungkas AH. (radar)