Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Perayaan Maulid Nabi dengan Tradisi Endog-Endogan; Khasnya Suku Osing di Banyuwangi

BANYUWANGI, Jurnalnews – Tradisi endog – endogan suku Osing dalam memperingati maulid Nabi, di Banyuwangi merupakan suatu keunikan yang tak tertandingi di Indonesia. Warga suku Osing di Banyuwangi merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw dengan cara yang khas dan identik bagi mereka.

Tradisi endog – endogan adalah bagian tak terpisahkan dalam acara peringatan maulid Nabi. Bagi suku Osing, tradisi endog – endogan yang disatukan dengan membaca kitab suci adalah warisan budaya dari leluhur yang tetap dijaga kelestariannya. Acara tersebut dijalankan di wilayah penduduk suku Osing, salah satunya di dusun Krajan, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur.

Salah satu warga Osing, Masduki, menceritakan bahwa tradisi endog – endogan telah dilaksanakan secara turun temurun sejak dirinya masih kecil. Bahkan, tradisi ini dapat ditelusuri sejak zaman nenek moyang pada abad ke-20. Meskipun tidak terdapat catatan sejarah resmi, endog – endogan dianggap sebagai lambang dan filosofi yang menggambarkan kelahiran dan kemenangan serta berbagi rezeki walau pun hanya membagikan telor yang di hias dan nasi dalam takir.

foto : Telor hias yang setelah diarak dan ditempatkan di halaman masjid. (Doc.Ron).
foto : Telor hias setelah diarak dan ditempatkan di halaman masjid. (Doc.Ron).

Tradisi ini melibatkan penghiasan telur dengan bunga kertas yang memukau. Telur hias yang indah tersebut kemudian ditempatkan di pohon pisang yang juga dihiasi dengan indah. Puncaknya, hiasan tersebut diarak keliling kampung menggunakan becak, dan di arak dengan terbangan. sambil sebagian lainnya dihias di masjid. Tidak lupa, selama acara berlangsung, masyarakat membaca syair pujian pada Nabi Muhammad yang terdapat dalam kitab Al-Barjanzi.

“Tradisi ini mencerminkan ekspresi kecintaan mendalam masyarakat Banyuwangi kepada Nabi Muhammad. Sebagai bentuk rasa syukur, kami menyisihkan sebagian rezeki kami untuk berbagi dengan tetangga, walaupun hanya dengan telur dan takir isi nasi serta lauk,” jelasnya.

Telur yang dihias dengan indah dan ditancapkan di pohon pisang diarak keliling kampung, dibagikan satu per satu kepada anak-anak, dan sisanya dibawa ke masjid. Prosesi pengarakan telur ini meriah diadakan di sekitar kampung Krajan, ditemani oleh iringan tiga perangkat terbangan music kas suku osing. Sambil berkeliling, masyarakat menyanyikan lagu-lagu daerah.

Menurut Masduki, tradisi ini patut dilestarikan. Tak hanya sebagai wujud ekspresi nilai-nilai keagamaan, melainkan juga sebagai penguat solidaritas sosial dan persatuan di tengah masyarakat.

“Ini adalah manifestasi nyata dari salah satu nilai utama Pancasila, yaitu gotong royong. Seluruh masyarakat terlibat secara aktif dalam menjalankan kegiatan ini,”ungkapnya.

Dalam cerita lisan masyarakat Banyuwangi, tradisi ini pertama kali diinisiasi oleh KH. Abdullah Faqih dari Cemoro, Songgon. Setiap elemen dari Endog-Endogan ini mengandung nilai filosofis yang mencerminkan ajaran Islam. Misalnya, telur yang memiliki tiga lapisan mewakili dimensi spiritual, meliputi iman, Islam (syariat), dan ihsan. (Ron//JN).

source