Sekkab Slamet: Saya Tinggal Tiga Kali Pakai
BANYUWANGI – Aroma Oseng terasa lebih kental di seantero penjuru Banyuwangi kemarin (6/10). Untuk melestarikan adat dan budaya, belasan ribu pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Banyuwangi kompak mengenakan pakaian adat Bumi Blambangan mulai kemarin.
Seperti terlihat di kompleks kantor Pemkab Banyuwangi. Para karyawan laki-laki mengenakan baju adat Banyuwangi berwarna hitam lengkap udheng di kepala. Karyawan perempuan mengenakan kebaya hitam yang dipadu bawahan jaret bermotif batik khas Banyuwangi.
Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Slamet Kariyono mengatakan kemarin merupakan hari pertama Pemkab Banyuwangi memberlakukan pakaian dinas baru, yakni pakaian adat Banyuwangi. Kebijakan tersebut didasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Banyuwangi Nomor 27 Tahun 2016 tentang pakaian dinas di lingkungan Kabupaten Banyuwangi.
Perbup tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Edaran (SE) Sekkab Nomor 065/236/429.013/2016 tentang penggunaan pakaian adat Banyuwangi sebagai pakaian dinas harian (PDH). “Dalam SE itu disebutkan pedoman pakaian adat, baik untuk pria maupun wanita. Pakaian ini akan digunakan sepekan sekali, yakni setiap Kamis,” ujarnya.
Sekkab Slamet menambahkan, pemakaian adat sebagai pakaian dinas merupakan salah satu upaya melestarikan budaya Banyuwangi. “Pariwisata kita telah dikenal luas. Itu menunjukkan bahwa tradisi dan budaya kita dikagumi oleh pihak luar. Maka kita harus bangga dan terus berupaya melestarikan tradisi kita, termasuk mengenakan pakaian adat di kalangan birokrasi,” cetusnya.
Selain menumbuhkan cinta budaya Banyuwangi, imbuh Slamet, pemakaian pakaian adat Banyuwangi juga bertujuan agar industri kecil menengah (IKM) bordir di Banyuwangi semakin menggeliat. Sebab, salah satu kriteria seragam untuk karyawati adalah kebaya bordir.
“Bayangkan jika seluruh PNS yang jumlahnya sekitar 14 ribu orang akan meng- gunakan pakaian dinas bordir, sudah berapa pesanan bordir yang diterima IKM tersebut,” cetusnya. Slamet berpesan, meski mengenakan pakaian adat, seluruh pegawai diharapkan tetap menjalankan pelayanan pub lik secara optimal, termasuk karyawan perempuan yang mengenakan kebaya.
“Harapan kami, meski mengenakan kebaya, pelayanan publik terus dilakukan dengan sebaik-baiknya, bahkan ditingkatkan,” harapnya. Sementara itu, Slamet mengaku dirinya hanya memiliki kesempatan mengenakan baju adat Banyuwangi itu tiga kali lagi dalam kapasitas sebagai sekkab.
Namun demikian, dia berjanji meski telah purna tugas, pakaian adat Banyuwangi tersebut akan tetap dia kenakan. Pengadaan pakaian adat Banyuwangi itu dilakukan secara swadaya oleh masing-masing pegawai. “Hari ini saya lihat masih ada yang pakai batik. Itu masih dimaklumi. Tetapi, ke depan, setiap Kamis kami harap semua pegawai mengenakan baju adat Banyuwangi,” cetusnya.
Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), Samsudin Adlawi, menyampaikan pakaian adat yang digunakan kalangan pegawai tersebut, dalam suratnya, berbunyi pakaian adat Banyuwangi bukan pakaian adat suku tertentu di kabupaten berjuluk The Sunrise of Java ini.
“Secara kebatinan yang dipakai pakaian adat Oseng, tapi keputusannya adalah Pakaian Adat Banyuwangi. Oleh karena itu, seharusnya semua memakai pakaian adat tersebut pada momen-momen tertentu, baik pada kegiatan ritual maupun hari kenegaraan di Banyuwangi,” kata dia.
Samsudin menuturkan, berdasar hasil rapat dengan pihak pemkab, disepakati model udheng yang digunakan para pegawai adalah udheng berbentuk lembaran, bukan udheng yang siap pakai. Selain itu, model pakaian yang disepakati terdiri atas dua jenis.
Untuk acara formal, baju yang dikenakan adalah baju berkerah, sedangkan pada acara santai baju adat yang dikenakan adalah baju tidak berkerah. “Untuk PNS, terutama guru, celananya dibebaskan, asal warnanya hitam Aslinya celana adat Banyuwangi model celana kampuang. Tapi jika merasa risi, bisa pakai celana biasa asal berwarna hitam,” pungkasnya. (radar)