Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Tiga Tahun Hidup dengan Tangan Terikat

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Tiga-Tahun-Hidup-dengan-Tangan-Te

KALIPURO – Sungguh malang nasib Muhammad Efendi. Tangan bocah berumur 11 tahun ini sejak tiga tahun lalu terpaksa diikat di dalam rumah agar tidak berontak. Maklum, bocah tersebut memiliki keterbelakangan mental dan jika sewaktu-waktu kambuh bisa mengamuk dan tak jarang merusak rumahnya sendiri.

Bocah kelahiran Banyuwangi 30 Juli 2003 itu lebih akrab disapa Fendi. Sehari-hari Fendi menghabiskan waktu di dalam rumahnya bertembok gedheg  berukuran 5×7 meter. Rumah anak pasangan Miskari, 55 dan Riskia, 33, itu sangat tidak layak.

Dinding gedheg di dalam rumah yang beralamat di Lingkungan Kampung Baru, RT01/RW03,  Kelurahan Bulusan, Kalipuro, itu banyak yang berlubang. Ternyata  dinding gedheg tersebut berlubang  karena aksi Fendi. Fendi yang memang mengalami keterbelakangan mental sejak lahir itu sering mengamuk dan meronta-ronta entah apa penyebabnya.

Bapaknya, Miskari, juga tidak luput dari  amukan. Kadang dia ditampar entah apa penyebabnya. Atas dasar itulah orang tua Fendi mengikat tangan bocah malang itu di sebuah tiang yang terbuat  dari kayu menggunakan tali  berbahan kain.

”Saya ikat kalau saya sedang bekerja. Kadang kalau lepas dia lari dan sulit saya kejar. Itu dinding rumah bolong semua, ya dirusak anak saya itu,” ujar Miskari, bapak kandung Fendi,  yang bekerja sebagai buruh ngarit.  Terlebih sejak tiga bulan lalu ibu Fendi pergi ke Situbondo karena yang bersangkutan baru  saja melahirkan anak.

Otomatis dengan ditinggal ibunya, Fendi di rumah hanya tinggal dengan bapaknya dan seorang nenek perempuan bernama Muiyah, 80. Tangan Fendi pun diikat lebih  lama. Jika saat masih ada ibunya  Fendi bisa dijaga dan tidak perlu diikat tangannya, saat ini Fendi harus diikat tangannya saat bapak  Fendi sedang bekerja.

Karena tangan diikat ke kayu sejak tiga tahun lalu, Fendi pun  tidak bisa leluasa melakukan  aktivitas. Mulai makan, buang air kecil, sampai buang air besar,  ya dilakukan di dalam rumahnya  tersebut. Orang tua tidak bisa berbuat banyak, selain karena  akibat kemiskinan, dari segi sumber daya manusia (SDM)  juga sangat kurang. Akhirnya mereka terlihat pasrah atas apa  yang terjadi pada Fendi.

”Saya hanya seorang buruh ngarit. Sehari pendapatan Rp 50 ribu, itu  kalau a da garapan,” jelas Miskari dengan bahasa Madura. Sahwito, ketua RT setempat,  mengatakan dia dulu sempat  menegur ibunya yang mengikat  Fendi di sebuah kursi.

Saat itu umur Fendi masih 4 tahunan.  Namun, karena Fendi memiliki  keterbelakangan mental dan  sering marah, tidak ada pilihan  lain, ibunya pun mengikat anaknya  tersebut di sebuah kursi agar tidak banyak bergerak.

”Seingat  saya dulu waktu Fendi masih  baru bisa jalan, saya tegur ibunya. Meski memiliki keterbelakangan mental, tapi dia juga manusia. Ya mungkin karena ketidaktahuan  ibunya itu. Ibunya juga kadang tidak nyambung kalau diajak bicara,” ujar Sahwito.

Dia menambahkan, Fendi juga pernah mengenyam pendidikan di TKLB ABCD PGRI Kalipuro, Kelurahan Bulusan. Namun, dia tidak bisa melanjutkan ke jenjang  sekolah dasar (SD) lantaran  kesibukan orang tua Fendi. Biasanya untuk pergi ke sekolah, ibu Fendi-lah yang mengantar  ke sekolah. Namun, saat ditinggal ke Situbondo, Fendi sudah tidak ada yang mengantar ke sekolah  lagi.

”Nilainya bagus-bagus di  raportnya, rata-rata nilainya 8 semua. Kemiskinan juga menjadi  alasan saya kira. Untuk makan  saja sudah apalagi untuk berobat, Mas” kata Sahwito kepada Jawa  Pos Radar Banyuwangi kemarin. Kepala Kelurahan Bulusan, Achmad Yani, mengatakan pihaknya sudah melakukan langkah-langkah.

Dia juga sudah membuat surat permohonan bantuan kepada pihak-pihak terkait, seperti Dinsosnakertrans, Dinkes, Dispendik, camat, dan pihak ter kait lain, ditem buskan ke bupati Banyuwangi,  agar bisa membantu beban keluarga Fendi ini.

”SDM-nya kurang. Mereka juga miskin. Perlu  ada petunjuk mau di sekolahkan  ke mana anak itu dan harus berobat kemana. Dia tidak gila, hanya  keterbe lakangan mental,” jelas Yani.  Dia juga menyayangkan warga Kelurahan Bulusan yang tidak  respect terhadap kejadian yang  menimpa keluarga Fendi.

Sebab, dari segi ekonomi tampaknya warga Bulusan yang lain sebenarnya mampu untuk membantu meringankan beban keluarga  Fendi. ”Orang sini ini (Bulusan)  kalau ada pengajian akbar atau  kiai datang urunannya besar-besaran, tapi ada tetangganya sakit begini tidak ada yang melirik sama sekali,” pungkas mantan  guru olahraga SMAN 1 Giri itu. (radar)